Nurcholish Madjid
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktivis & kemudian Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi satu-satunya tokoh yang pernah menjabat sebagai ketua Umum HMI selama dua periode.[1] Ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat.[2] Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Riwayat HidupMasa kecil dan pendidikanNurcholish Madjid dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358 H). Nurcholish Madjid diberi nama oleh orang tuanya dengan nama Abdul Malik. Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun, karena Abdul Malik kecil sering sakit. Dalam tradisi jawa, anak yang sering sakit dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nama) dan karena itu perlu diganti. Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Dusun Mojoanyar, Desa Mojotengah, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.[3] Ayahnya adalah KH. Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi;[4] sedangkan ibunya bernama Fatonah, putri Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri.[3][5] Ia mempunyai tiga orang adik.[3] Nurcholish Madjid menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Mojoanyar dan Bareng. Selain belajar di Sekolah Rakyat, dia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri di Mojoanyar Jombang.[6] Melihat latar pendidikannya ini, maka dapat diketahui bahwa sejak kecil Nurcholish Madjid telah menerima dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum (SR) dan pendidikan agama (Madrasah). Dengan sistem pendidikan seperti ini, Nurcholish Madjid memperoleh keuntungan karena dia menerima dua macam bidang keilmuan sekaligus, yaitu pengetahuan umum dan agama. Sistem pendidikan seperti ini sangat membantunya dalam perkembangan pemikirannya selanjutnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada usia 14 tahun, Nurcholish Madjid kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren (tingkat menengah SMP) Darul Ulum Rejoso Jombang. dan di pesantren ini, Nurcholish Madjid berprestasi secara mengagumkan.[7] Di Darul ‘Ulum, Nurcholish hanya bertahan sekitar 2 tahun yakni sampai dengan tahun 1954. Penyebab ia hanya bertahan dalam durasi waktu singkat tersebut, bukan karena persoalan akademik, tetapi karena dua alasan: alasan kesehatan dan ideologi politik11 dan alasan terakhir inilah yang tampaknya sedemikian signifikan.[8] Di pesantren Darul Ulum ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya selama dua tahun. Sehingga dia pun meminta dipindahkan ke pesantren yang modernis, dan atas izin ayahnya kemudian beliau memilih masuk di KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo pada tahun 1995. Pesantren Darus Salam sendiri tidak mementingkan masalah politik dan tergolong pesantren yang sangat modern pada masa itu. Di tempat inilah Nurcholish Madjid lebih lanjut menimba berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam. Di pesantren ini dia juga menerima pelajaran bahasa Arab dan Inggris secara intensif.[9] Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3.[10] Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan Pesantren Gontor, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke Universitas Al-Azhar, Kairo, ketika dia telah menamatkan belajarnya. Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish Madjid mengalami penundaan. Sambil menunggu keberangkatan ke Mesir itulah, Nurcholish Madjid mengajar di Gontor selama satu tahun lebih. Namun, waktu yang ditunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba. Belakangan terbetik kabar bahwa kala itu di Mesir sulit memperoleh visa.[6] Tetapi, KH. Zarkasyi bisa menghiburnya dan rupanya dia tidak kehilangan akal. Lalu dia mengirim surat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan meminta agar Nurcholish Madjid bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut. Maka, berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang ada di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana, meskipun tanpa menyandang ijazah negeri.[6] Nurcholish Madjid semasa kuliah aktif di organisasi HMI, sampai pada menjabat di posisi Ketua Umum di HMI, serta merumuskan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, yang kemudian menjadi buku pegangan ideologis HMI. Alasannya merumuskan NDP karena organisasi mahasiswa seperti Central Gerakan Actie Mahasiswa (CGMI) yang beraliran komunis memiliki buku pegangan ideologis & Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pun memiliki hal serupa. NDP ditulis olehnya tatkala sedang melanjutkan kuliahnya di Amerika Serikat. Pada saat itu Ia berkesempatan untuk melakukan perjalanan keliling Timur Tengah. Dari pengalamannya dalam melihat kondisi Islam secara global itulah yang membuatnya tergerak untuk menulis NDP yang kemudian hari jadi buku pegangan ideologis HMI dan membuatnya terpilih menjadi ketua umum untuk dua periode.[11] Selama menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid sempat bergaul dengan Buya Hamka. Hal ini bisa terjadi disebabkan dia tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar di mana Buya Hamka berada dan biasa menjadi imam di masjid itu. Di samping itu, Nurcholish Madjid pernah beberapa tahun menjadi staf editor Panji Masyarakat yang didirikan dan diasuh oleh Buya Hamka.[12] Pada tahun 1968, Nurcholish Madjid menyelesaikan Sarjana Lengkap (Drs.), dengan judul skripsi: al-Qur’an: ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun Ma’nan, yang maksudnya adalah Alquran dilihat secara bahasa bersifat lokal (ditulis dengan bahasa Arab), sedangkan dari segi makna mengandung sifat universal.[13] Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid beberapa tahun sempat mengajar di almamaternya itu. Pada Maret 1978, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu tingkat doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat,[3] dengan mendalami ilmu politik dan filsafat Islam. Pada tahun 1984, Nurcholish Madjid mendapat gelar Ph.D. dengan nilai cumlaude dalam bidang Filsafat Islam (Islamic Thought) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah, yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).[4][14] Riwayat KeorganisasianSelama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen ke-KMIannya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya. Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai ketua umum PB HMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966 sampai 1969 dan periode 1969 sampai 1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya untuk menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization/ Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun 1967-1971.[11] Reformasi 1998Namun, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah. Ia juga menjadi salah satu pendiri Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berusaha mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia secara berkelanjutan.[15] ![]() KontroversiIde dan gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme banyak diterima dengan baik di kalangan masyarakat Indonesia. Meskipun di sebagian kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Alquran dan As-sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1970-an.[16] Ide pembaharuan IslamCak Nur dianggap sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Sebagai tokoh pembaruan dan cendekiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai mendorong pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam di Indonesia, terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam. Konsep Neo-modernis Islam Nurcholish Madjid1. SekulerisasiGagasan ini muncul pertama kali ketika Nurcholish Madjid diundang untuk menggantikan Dr. Alfian yang sedang sakit sebagai pembicara pengganti dalam acara silaturahim antar empat organisasi Islam, yaitu Persami, HMI, GPI, dan PII. Dalam acara ini, Nurcholish menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Kemudian memunculkan perdebatan besar tentang sekularisasi dan sekularisme. Ahmad Wahib dalam bukunya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib” mengatakan bahwa pandangan Nurcholish pada artikel yang ditulis tersebut telah mengalami pergeseran arah dan tujuan yang semulanya berpandangan “konservatif” menuju “liberal”, terutama dalam persoalan sekularisasi.[17] Menurut Nurcholish Madjid, sekularisasi bukanlah sebagaimana yang dipikirkan oleh banyak orang, yaitu terntang penerapan sekularisme. Sebab, “secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion“ (Sekularisme merupakan nama untuk ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup berfungsi sangat mirip dengan agama baru). Nurcholish menekankan sekularisasi sebagai “liberating development” (proses pembebasan) yang dibutuhkan umat Islam. Proses ini diperlukan karena umat Islam tidak mampu lagi untuk menyeleksi nilai-nilai diduga Islami, yaitu antara transendental dan temporal. Bahkan dalam perjalanannya, hierarki nilai tersebut sering terbalik, hanya aspek transendental yang bernilai ukhrawi, tanpa terkecuali. Sekalipun kemungkinan tidak terucap dari lisannya, bahkan tidak membenarkannya, sikap tersebut dapat dilihat dari tindakan aktivitas mereka dalam kesehariannya. Alhasil, hal tersebut dapat memberikan efek negatif, Islam hanya menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis.[18] Dikarenakan membela Islam sama dengan membela tradisi, hal tersebut dapat memunculkan anggapan bahwa kekuatan Islam merupakan kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Persepsi inilah yang telah membuat ketidaksanggupan umat Islam dalam merespon perkembangan pemikiran yang ada di dunia.[18] 2. Islam Inklusif/PluralismePada realitasnya, seluruh dunia Islam, kecuali Mekkah dan Madinah, mengenal dan bercengkrama dengan kelompok-kelompok minoritas; bukan mereka yang memeluk agama Islam. Hidup berdampingan dengan kaum tersebut menjadikan sebuah kebenaran tentang adanya keterbukaan, sikap saling menghargai, dan toleransi yang dilakukan oleh umat Islam sejak periode klasik hingga kini. Sebagaimana terlihat jelas dalam ajarannya; Islam yang murni, adalah pengemban tugas sebagai “mediator” atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia, dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antarkelompok tersebut. Hal inilah yang memotivasi kaum muslimin pada periode klasik untuk bersikap terbuka dan inklusif, sehingga dalam bertindak selaku pemegang kekuasaan, mereka selalu bersikap “ngemong” (menjaga, memelihara) terhadap golongan-golongan lain.[19] Pemahaman umat terhadap Islam merupakan pemahaman yang inklusif, bersifat terbuka dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Disebut agama yang inklusif karena Islam mengakui keberadaan agama agama lain, bahkan menyiratkan bahwa setiap penganut agama selain Islam masih dapat mendapat kebahagiaan. Selain itu, watak agama Islam ialah inklusif, bukan eksklusif. Islam bersifat menjaga dan melindungi golongan-golongan lain. Hal tersebut dibuktikan dalam perjalanan sejarah dan semangat itu yang akan dibangun kembali.[20] Dalam wacana kebangsaan, tepatnya dalam masalah pluralisme, berdasarkan kenyataannya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki pemahaman yang dangkal dan kurang sejati. Istilah “pluralisme” telah menjadi barang harian dalam wacana umum nasional. Namun dalam masyarakat, terdapat tanda-tanda bahwa memahami pluralisme hanya sepintas saja; tanpa mendalami makna dan tidak berakar pada ajaran yang benar.[21] Di dalam usaha untuk melestarikan kebhinekaan dan menjaga kerukunan, Nurcholish Madjid tampil dengan khazanah pemikirannya mengenai pluralisme. Nurcholish sendiri dikenal sebagai salah satu tokoh sekaligus ikon pembaharuan pemikiran di Indonesia. Buah pikirannya tentang cara-cara berislam dan bernegara dengan baik dan benar menjadikannya aktor intelektual Muslim yang berada di garda terdepan. Terlebih, kini Indonesia sedang berada dalam posisi yang memprihatinkan, degradasi eksistensi yang dapat menimbulkan stagnasi hingga kemerosotan serta dapat mengancam keutuhan negara. Menurut Nurcholish Madjid, paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, karena dapat memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Paham ini juga merupakan suatu perangkat untuk mendorong pemerkayaan budaya bangsa. Maka budaya Indonesia, atau keindonesiaan, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya dan dinamis antara para pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu peleburan (melting pot) yang efektif. Contohnya seperti yang diperankan oleh kota-kota besar di Indonesia, khususnya DKI Jakarta.[21] 3. Islam HumanisTerdapat banyak pandangan mengenai pengertian dari humanisme itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), humanisme merupakan aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik; paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting. Sedangkan Mangunhardjana dalam bukunya yang berjudul “Isme-Isme dalam Etika: dari A sampai Z”, yang mengatakan bahwa humanisme secara etimologis berasal dari latin, humanis; manusia, dan isme berarti paham atau aliran. Humanus bersifat manusiawi sesuai dengan kodrat manusia. Sedangkan secara terminologis, humanisme merupakan martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan kemampuan alamiahnya (fisik dan nonfisik) secara penuh. Berdasarkan perkembangannya, humanisme dapat dipahami dengan ditinjau dari dua sisi historis dan sisi aliran filsafat. Dari sisi historis, humanisme merupakan gerakan intelektual dan kesusasteraan yang awalnya muncul di Italia sekitar abad ke-14 Masehi. Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa.[22] Sementara itu, dari sisi aliran filsafat, humanisme diartikan sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat tinggi, sentral, penting, baik dalam perenungan teoretis-filsafati maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari. Humanisme dalam pandangan Nurcholish Madjid merupakan humanisme religius atau humanisme Islam, yang bertujuan untuk menyatukan nilai-nilai yang melembaga dari segi agama dan kemanusiaan seperti di Eropa dan Amerika. Nurcholish Madjid memberikan atensi dominasi barat dalam tatanan dunia; khususnya Amerika, banyak orang yang mengagumi demokrasi. Demokrasi adalah kelanjutan dari humanisme yang dirintis dan dipahami oleh kalangan para pemikir Yunani kuno. Demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, dan ide tentang demokrasi, menurut pandangan orang-orang Barat juga berasal dari pemikiran orang-orang Yunani. Tambah Nurcholish, humanisme Yunani kini telah padam dan mati hampir dua ribu tahun lalu. Setelah itu, terindikasi bahwa orang orang Barat menjadi sadar kembali tentang humanisme itu semenjak berkenalan dengan Islam. Pembuktiannya melalui orasi ilmiah yang dibuat oleh Giovanni Pico della Mirandola, seorang filsuf humanis zaman Renaissance Eropa, di depan para pemimpin gereja163. Dalam kutipannya, dapat ditelaah bahwa Mirandolla membandingkan apa yang dibacanya dalam buku-buku umat Islam dengan ucapan seorang filsuf Yunani kuno, Hermes Trimegistus, kepada Asclepius. Kedua-duanya menyatakan terdapat harkat dan martabat yang sangat tinggi pada manusia. Nurcholish Madjid membingkai humanisme religius dalam bentuk humanisme Islam yang bersumber pada ketauhidan. Nurcholish memberikan pandangan bahwa pertama-tama, kita haruslah beriman pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Iman dapat melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Rabbaniyah); semangat berketuhanan, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa kehidupan berasal dari dan menuju Tuhan (Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un), maka Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) hidup (hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi). 4. DemokrasiDemokrasi adalah salah satu konsep atau sistem politik yang berasal dari Eropa (Barat). Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalan organisasi karena hal tersebut dijamin oleh negara. Hingga kini, demokrasi merupakan terminologi politik yang populer dan sering dipakai beberapa negara termasuk di dunia muslim.[23] Namun, menurut Nurcholish Madjid, Islam sendiri telah memiliki konsep tentang demokrasi; sama, atau dekat dengan ajaran demokrasi dari Barat, yang diberi nama “syura” atau “musyawarah”.[18] Dalam Islam, pelaksanaan sistem kemasyarakatan haruslah dijalankan secara adil dan demokratis. Segala permasalahan antarmanusia (horizontal) dapat diselesaikan dengan jalannya musyawarah; yang didalamnya terdapat proses timbal balik dan adanya kesepakatan yang mengikat. Ketentuan-ketentuan umum tentang bermusyawarah diatur oleh Allah dalam al-Qur’an, tepatnya di surat al Syura atau yang memiliki arti “musyawarah”. Nurcholish Madjid mengartikan demokrasi merupakan proses demokratisasi. Masyarakat dapat dikatakan demokratis apabila di dalamnya terjadi proses menuju ke arah demokratisasi, yaitu pemberian hak dan kebebasan yang semakin besar kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan atau kedaulatan yang sebenarnya.[24] Nurcholish Madjid memberi saran kepada para “penghayat demokrasi” untuk terus mempelajari pandangan teoritis yang lebih “absah” mengenai kekuasaan politik di kalangan rakyat. Seperti menjadi sasaran kritik pedas para sarjana Syi’ah, teori politik kaum Sunnah sangat berat berorientasi kepada keamanan dan kestabilan, sehingga menjadi konservatif dan anti perubahan, sebab suatu perubahan dapat membawa kekacauan (fawdla).[20] Teori politik ini menimbulkan stagnasi pemikiran dan hilangnya prinsip tajdid yang harus dimiliki setiap muslim sebagai usaha dalam mengembangkan peradaban. Tidaklah heran jika kaum Sunnah kebanyakan yang berorientasi hanya pada akhirat semata, tanpa memperdulikan dunianya. Bertolak belakang dengan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia; sebagai hamba Nya dan khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi, yang mengharuskan beribadah secara individu (kepada Tuhan) dan sosial (kepada masyarakat). Nurcholish Madjid mengutip perkataan Ibnu Taimiyah mengenai pemimpin dan kepemimpinan. Ibnu Taimiyah berkata, “Tuhan mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang zhalim meskipun Islam!” Dia juga berkata, “Dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezhaliman sekalipun Islam!”.[20] Bagi Ibnu Taimiyah, ideatum Islam mengenai kekuasaan dan negara adalah keadilan.195 Senada dengan pandangan Ibnu Taimiyah, terdapat beberapa negara yang mayoritas muslim dan pernah dipimpin oleh seorang non-muslim. Contohnya, Michel Sulaiman (mantan presiden Lebanon) yang beragama Kristen Maronite dan memimpin sekitar 96,4% penduduk muslim. Selain itu, ada Leopold Sedar Senghor (mantan presiden Senegal) yang beragama Kristen Katolik dan memimpin sekitar 95,4% penduduk muslim. Bahkan, tidak jarang dari mereka sering mendapat respon positif dan mendulang kesuksesan dalam periode pemerintahannya. MeninggalCak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara, sebagai penerima Bintang Mahaputera. Pendidikan
Pekerjaan
Karier (lain-lain)
Penerbitan (sebagian)
Kegiatan
Catatan kaki
Referensi
Pranala luar
|