Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal
Error: tidak ada parameter tanggal yang diberikan
, sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.
Orang Indo (singkatan dari nama dalam bahasa Belanda, Indo-Europeanen, "Eropa-Hindia") adalah kelompok etnikMestizo yang ada (atau pernah ada) di Indonesia—dulu Hindia Belanda—dan sekarang menjadi kelompok etnik minoritas terbesar di Belanda. Kelompok etnis ini dicirikan dari kesamaan asal usul rasial, status legal, dan kultural. Kaum Indo merupakan keturunan campuran antara orang dari etnik tertentu di Eropa (terutama Belanda, tetapi juga Portugal, Spanyol, Jerman, Belgia, dan Prancis/Huguenot) dengan fenotipe Eropa dan orang dari etnik non-Eropa tertentu di Hindia Belanda/Indonesia. Secara hukum, sebagian besar berstatus sebagai warga Eropa di Hindia Belanda (Europeanen). Mereka menjunjung nilai-nilai budaya Eropa (terutama Belanda) dengan banyak pengaruh lokal Indonesia pada derajat tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Meskipun demikian, ke dalam kelompok etnik ini dimasukkan pula orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia atau yang lahir di Indonesia, karena di antara kalangan kaum keturunan campuran sendiri terdapat rentang fenotipe yang luas, sehingga faktor penampilan tidak bisa dijadikan satu-satunya pembatas untuk kelompok etnik ini. Kelompok berdarah campuran adalah mereka yang biasa dikenal sebagai orang Indo, Mesties (Bld.), atau Mestizos (Port.), sedangkan mereka yang "berdarah murni" Eropa dikenal sebagai totok (Mel.), blijvers (Bld.), atau kreol. Semenjak dibukanya keran investasi asing besar-besaran pada era Orde Baru dan juga meningkatnya arus kunjungan wisatawan asing ke Indonesia, kaum Indo juga mencakup mereka yang terlahir dari darah Denmark, Norwegia, Finlandia, Rusia, Italia, Amerika Latin, Serbia ataupun yang salah satu orangtuanya berasal dari Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat.
Perang Dunia Kedua dan sesudahnya menjadi titik awal diaspora bagi kaum Indo, sehingga saat ini keturunan mereka banyak dijumpai di Belanda, Indonesia, Amerika Serikat (AS), Australia, Selandia Baru, Kanada, serta beberapa negara lain. Di Belanda, kaum Indo sekarang dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti Indisch Nederlander atau Indisch saja. Secara budaya mereka berhubungan dekat dengan kelompok etnik Maluku di Belanda. Di AS mereka dikenal sebagai Dutch Indonesian atau Indonesian Dutch dan kebanyakan bermukim di California. Di Indonesia sendiri jumlah mereka sedikit dan kebanyakan keturunannya terintegrasi/melebur dengan berbagai kelompok etnis lain walaupun kebiasaan berbahasa Belanda masih dijalankan di dalam keluarga.
Istilah "orang Indo" dalam penggunaan bahasa Indonesia masa kini mengalami pergeseran arti dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal usul non-Indonesianya, yang tidak harus Eropa.
Sejarah
Kaum Indo terbentuk hampir seusia dengan kedatangan saudagar-saudagar Eropa, diawali oleh orang Portugis, lalu Spanyol, Inggris, dan kemudian Belanda. Bangsa-bangsa Eropa lain, seperti Belgia, Jerman, Prancis, dan Denmark berdatangan sesudahnya.
Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600)
Penjelajah dari Eropa mulai ramai datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, sebagai konsekuensi dari Zaman Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropa.[1] Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang Portugis dan Spanyol beserta budak-budak mereka dari India, Sri Lanka, Malaka, atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di Malaya, keturunan mereka saat ini disebut sebagai Melayu Eropa. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu (Cilincing, Jakarta Utara) serta Kampung Lamno Jaya, Aceh Barat. Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana Tsunami Aceh 2004.[2]
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia pada abad ke-20.[3]
Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah VOC (1600-1799)
Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.[4] Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di Batavia dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).
Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini disebut ekspatriat) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[5]
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[6]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (miesling) ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: Indisch Nederlands, dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai bahasa Pecok. Pada masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.
Masa keemasan : Hindia Belanda (1800-1942)
Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 (perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membuat orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian Sumatra, terutama untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan Inggris. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, Europeanen (orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Regeringsreglement, "Undang-undang Administrasi Hindia") yang mempertegas pemisahan orang Eropa-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kelompok orang Eropa, tetapi mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Ini terjadi karena mulai berdatangannya orang-orang dari Eropa (terutama Belanda) untuk berusaha. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropa-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) sering kali dianggap lebih rendah oleh orang Eropa totok meskipun mereka dapat memiliki hak, privilese, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropa.[7] Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo menurut aturan dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.
Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan pada abad ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Secara politis, orang Eropa-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropa dan Indo jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, organisasi pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo maupun "totok" pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk Indische Partij (IP) oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropa dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia Belanda. Organisasi radikal ini dibungkam setahun kemudian oleh pemerintahan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg karena dianggap membahayakan koloni. Kalangan orang Indo mayoritas yang pro-Belanda kemudian mendirikan pula organisasi untuk menandingi radikalisme IP, yaitu Indo-Europees Verbond (IEV) pada tahun 1919 oleh Karel Zaalberg. IEV sangat didukung oleh pemerintah koloni dan segera menjadi fraksi dominan dalam Volksraad yang sudah berdiri pada tahun 1916.
Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246.000 orang Eropa-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.[8]
Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950)
Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.
Pada Perang Dunia Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di Eropa maupun Asia. Di Eropa, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli).[butuh rujukan] Selama Perang Dunia II, Koloni Eropa di Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda, diserang dan dianeksasi oleh Kekaisaran Jepang.[9] Tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, terlebih-lebih orang-orang dari Eropa (termasuk Indo). Semua orang Eropa asli dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi Jepang,[10] sementara orang Indo yang dapat membuktikan hubungan kekerabatan dengan pribumi dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu.[11] Anak laki-laki berusia 15 tahun ke atas dipisahkan dari ibunya dan dimasukkan ke dalam kamp bersama dengan laki-laki dewasa. Sementara itu, perempuan diasingkan bersama anak-anak di kamp perempuan.[12] Semua laki-laki usia kerja dipaksa kerja tanpa dibayar.[13]
Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. Walter Spies, seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau Prancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.
Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965)
Perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang mencoba menguasai Indonesia kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropa (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo yang kebanyakan ingin kembali ke Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan Inggris di Malaysia dan Singapura. Pada periode 1945-1946, terjadi gelombang kekerasan kepada orang Indo oleh kelompok pemuda yang dikenal sebagai periode Bersiap. Diperkirakan sekitar 20.000 orang Indo tewas dalam kejadian ini, dan menurut beberapa sejarawan, dapat dikatakan sebagai genosida.[14] Setelah 1949, Belanda membuka gelombang "repatriasi" warga Eropa-Indonesia ke Belanda. Pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949 memicu peningkatan jumlah repatriat. Tidak mudah bagi banyak orang Eropa-Indonesia untuk hidup di Belanda karena terjadi penolakan oleh sebagai warga Belanda yang merasa tersaingi dalam pencarian lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian kembali beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, atau Kanada.
Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.
Paling tidak terjadi migrasi dalam lima tahap:
Tahap pertama, 1945-1950: setelah penyerahan Jepang, sekitar 100.000 orang tawanan dibebaskan Jepang dan dipulangkan ke Belanda, meskipun sejumlah orang memilih bertahan di Indonesia dan mengalami masa sulit selama Perang Kemerdekaan.
Tahap kedua, 1950-1957: Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, sejumlah tentara dan pegawai pemerintahan Belanda dipulangkan, setelah diminta memilih. Di antara mereka banyak orang-orang bekas KNIL: 4000 orang Maluku dan juga tentara Belanda asal Afrika. Jumlah total tidak diketahui. Proses ini menyulut terjadinya Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Tahap ketiga, 1957-1958: Setelah "Nieuw-Guinea-kwestie", sekitar 20.000 orang dipulangkan dari Papua ke Belanda.
Tahap keempat, 1962: setelah Belanda diharuskan meninggalkan Papua dan Papua diserahkan kepada UNTEA, sekitar 14.000 personal Belanda dipulangkan. Pada masa UNTEA pula terjadi emigrasi sekitar 500 orang Papua ke Belanda.
Tahap kelima, 1957-1964: Setelah Indonesia memberlakukan undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Eropa-Indonesia harus memilih kewarganegaraan. Jika ingin menetap mereka harus melalui proses naturalisasi dan jika ingin tetap sebagai orang Belanda (Europeens) mereka harus meninggalkan Indonesia. Pada masa ini juga banyak terjadi emigrasi dari orang-orang keturunan asing yang tidak ingin menjadi warga negara Indonesia.
Kiprah budaya kaum Indo sebelum diaspora
Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari kebudayaan Barat (Eropa) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi Perang Pasifik dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Kaum Eurasia (Mesties) mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa totok ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.[8] Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang fenotipe (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan trekkers (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti koffie met melk ("kopi susu"), kwart over zes (pukul enam kurang seperempat), half zeven ("pukul setengah tujuh"), bijna zeven uur ("hampir pukul tujuh"), hingga zo zwart als mijn schoen ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam".[15] Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.
Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.[16] Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar".[16] Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan pergundikan meluas di kalangan pria Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropa. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.
Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum Tionghoa-Indonesia, yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari indolent (pemalas).[16] Orang Eropa totok secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan estetik) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi diaspora orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, atau Selandia Baru.[17]
Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada status quo: mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, ada sebagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. Indische Bond (1899) dan Insulinde dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, Indo-Europeesch Verbond (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.[18]Partai Hindia (Indische Partij, 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk Indiers). Sayang sekali bahwa organisasi ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.
Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo.[15] Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain layang-layang laga.
Kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Kristen, namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga mempraktikkan selamatan/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo pauper (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal guna-guna.
Bahasa yang digunakan oleh kalangan Indo pada masa VOC adalah bahasa pijin Portugis yang bercampur dengan bahasa Melayu Pasar. Hal ini diketahui dari suatu catatan seminari dari paruh kedua abad ke-18. Masuknya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada abad ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau struktur bahasa Melayu, dan pengabaian gender kata. Meningkatnya kesadaran politik akan etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk menjadikan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam kehidupan budaya sehari-hari".
Di bidang seni lukisJan Toorop adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung aliran lukisan Mooi Indië/Indonesië yang menggambarkan romantisme alam dan kehidupan sehari-hari Indonesia. Walter Spies (walaupun ia adalah totok namun amat menyukai budaya Bali) dikenal sebagai pengembang aliran lukisan dekoratif Bali yang khas.
Orang Indo dikenal berbakat di bidang seni musik dan seni pertunjukan. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropa di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik keroncong, berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara komedi stambul. Komedi stambul diperkenalkan oleh August Mahieu, seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropa tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik jazz di Hindia Belanda. Jack Lesmana (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Pada masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kebijakan anti-Barat Sukarno membuat musik ini berhenti berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropa, seiring dengan diaspora kaum Indo. The Tielman Brothers adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropa.
Dari segi boga, seni masak Eropa di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak.[16]Rijsttafel, suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti klappertart, kue lapis legit, dan bika ambon, selain juga kue bolu. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan kegemaran orang Indo untuk berpesta.
Dari sisi busana, muncul pada abad ke-19 kebaya yang khas dipakai perempuan Eropa; bahkan kemudian muncul batik Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropa.[19] Kebaya Belanda ini mengalami revivalisasi pada masyarakat Indonesia modern.
Orang Indo masa kini
Semenjak Orde Baru, orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat, praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.
Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.[20] Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia yang pernah menetap di Indonesia mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.[21]
Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia ataupun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris. Beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.
Masa depan
Banyak kalangan memperkirakan bahwa Eropa-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri akan menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling jelas adalah karena tidak ada lagi dorongan untuk menjaga warisan gaya hidup mereka. Kalangan muda pada umumnya cenderung menyerap budaya barat, yang memang sejak awal menjadi orientasi mayoritas orang Indo.[17] Di Indonesia, kultur Indo memudar karena kalangan generasi muda telah menjadi bagian utuh dari masyarakat modern Indonesia bahkan dapat dikatakan sedikit banyak turut membentuk budaya khas Indonesia. Tokoh kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir, pernah menyinggung nasib orang Indo di Indonesia pascakemerdekaan:
"...posisi kaum Indo ... dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikatakan bahwa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berdasarkan hukum, mereka tetap akan sejajar dengan orang Indonesia, karena semakin lama akan lebih banyak orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu akan lenyap." (Sutan Sjahrir, 1937)[22]
^van der Veur, PW 2006. The lion and the gadfly. Dutch colonialism and thes spirit of E.F.E. Douwes Dekker. KITLV Press. Leiden. Penulis buku ini pun adalah seorang Indo yang bermukim di Amerika Serikat.
^ abCentraal Bureau voor de Statistiek 2003. Bevolkingstrends. Statistisch kwartaalblad over de demografie van Nederland. Jaargang 51 – 1e kwartaal 2003. Heerlen/Voorburg. Nederland. hal. 58
Konrad Adenauer Kanselir JermanMasa jabatan15 September 1949 – 16 Oktober 1963PresidenTheodor Heuss (1949-1959)Heinrich Lübke (1959-1969)WakilFranz Blücher (1949-1957)Ludwig Erhard (1957-1963) PendahuluDia sendiriPendudukan militer Lutz Graf Schwerin von Krosigk (1945)PenggantiLudwig ErhardMenteri Luar Negeri JermanMasa jabatan15 Maret 1951 – 6 Juni 1955Kanselirdia sendiri PendahuluCount Lutz Schwerin von Krosigk (1945)PenggantiHeinrich von BrentanoWali kota CologneMas...
Nama ini menggunakan cara penamaan Spanyol: nama keluarga pertama atau paternalnya adalah Lecuona dan nama keluarga kedua atau maternalnya adalah Gascón. Iker LecuonaLecuona di Grand Prix Australia 2018Kebangsaan SpanyolLahir06 Januari 2000 (umur 24)Valencia, SpanyolTim saat iniTeam HRCNo. motor7Situs webIkerLecuona.com Catatan statistik Karier Kejuaraan Dunia MotoGP Tahun aktif2019–2021 PabrikanKTM Juara dunia0Klasemen 2021ke-20 (39 poin) Start Menang Podium Pole F. lap Poi...
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini.Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala.Tag ini diberikan pada Desember 2022. Moe Amatsuka Moe Amatsuka (lahir 10 Juli 1994) adalah seorang pemeran video dewasa asal Jepang. Ia memulai kariernya sejak 2014. Selain itu, ia juga tergabung dalam grup Ebisu Muscats pada 24 September 2015[1] dan SEXY-J. Referensi ^ 2代目�...
Artikel ini perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Artikel ini ditulis atau diterjemahkan secara buruk dari Wikipedia bahasa selain Indonesia. Jika halaman ini ditujukan untuk komunitas berbahasa tersebut, halaman itu harus dikontribusikan ke Wikipedia bahasa tersebut. Lihat daftar bahasa Wikipedia. Artikel yang tidak diterjemahkan dapat dihapus secara cepat sesuai kriteria A2. Jika Anda ingin memeriksa artikel ini, Anda boleh menggunakan mesin penerjemah. Namun ingat, mohon tidak menyalin ...
Cet article est une ébauche concernant une localité italienne et le Trentin-Haut-Adige. Vous pouvez partager vos connaissances en l’améliorant (comment ?) selon les recommandations des projets correspondants. Sarnonico Administration Pays Italie Région Trentin-Haut-Adige Province Trentin Code postal 38010 Code ISTAT 022170 Code cadastral I439 Préfixe tel. 0463 Démographie Gentilé sorsi Population 788 hab. (1er janvier 2023[1]) Densité 66 hab./km2 Géogra...
Cet article est une ébauche concernant une localité italienne et le Trentin-Haut-Adige. Vous pouvez partager vos connaissances en l’améliorant (comment ?) selon les recommandations des projets correspondants. Valdaora Armoiries Noms Nom allemand Olang Administration Pays Italie Région Trentin-Haut-Adige Province Bolzano Code postal 39030 Code ISTAT 021106 Code cadastral L552 Préfixe tel. 0474 Démographie Gentilé valdaorini Population 3 177 hab. (1er janvi...
Bulgarian footballer (born 1946) In this Bulgarian name, the patronymic is Lozanov and the family name is Ivkov. Kiril Ivkov Ivkov at the age of 28 in 1974Personal informationFull name Kiril Lozanov IvkovDate of birth (1946-06-21) 21 June 1946 (age 77)Place of birth Pernik, BulgariaHeight 1.79 m (5 ft 10 in)Position(s) DefenderSenior career*Years Team Apps (Gls)1962–1965 Metalurg Pernik 1965–1967 Minyor Pernik 63 (1)1967–1978 Levski Sofia 293 (9)1978–1979 Etar ...
У этого термина существуют и другие значения, см. Чайки (значения). Чайки Доминиканская чайкаЗападная чайкаКалифорнийская чайкаМорская чайка Научная классификация Домен:ЭукариотыЦарство:ЖивотныеПодцарство:ЭуметазоиБез ранга:Двусторонне-симметричныеБез ранга:Вторич...
Culinary traditions of Belize This article needs additional citations for verification. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed.Find sources: Belizean cuisine – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (August 2017) (Learn how and when to remove this message) Part of a series on theCulture of Belize History People Languages Cuisine Religion Art Literature Music and pe...
Франц Саксен-Кобург-Заальфельдскийнем. Franz von Sachsen-Coburg-Saalfeld герцог Саксен-Кобург-Заальфельдский 8 сентября 1800 — 9 декабря 1806 Предшественник Эрнст Фридрих Саксен-Кобург-Заальфельдский Преемник Эрнст I Саксен-Кобург-Заальфельдский Рождение 15 июля 1750(1750-07-15)Кобург, Сакс...
Si ce bandeau n'est plus pertinent, retirez-le. Cliquez ici pour en savoir plus. Cet article ne cite pas suffisamment ses sources (novembre 2022). Si vous disposez d'ouvrages ou d'articles de référence ou si vous connaissez des sites web de qualité traitant du thème abordé ici, merci de compléter l'article en donnant les références utiles à sa vérifiabilité et en les liant à la section « Notes et références ». En pratique : Quelles sources sont attendues ? ...
Monson RailroadOverviewHeadquartersLowell, MassachusettsLocaleMaineDates of operation1883–1943SuccessorAbandonedTechnicalTrack gauge2 ft (610 mm)Length6+1⁄4 miles (10.06 km) Monson station building and a short length of restored track, 2007 The Monson Railroad was a 2 ft (610 mm) narrow gauge railway, which operated between Monson Junction on the Bangor and Aroostook Railroad and Monson, Maine. The primary purpose of this railroad was to serve several sla...
此條目需要补充更多来源。 (2021年7月4日)请协助補充多方面可靠来源以改善这篇条目,无法查证的内容可能會因為异议提出而被移除。致使用者:请搜索一下条目的标题(来源搜索:美国众议院 — 网页、新闻、书籍、学术、图像),以检查网络上是否存在该主题的更多可靠来源(判定指引)。 美國眾議院 United States House of Representatives第118届美国国会众议院徽章 众议院旗...
伊斯兰合作组织Organisation of Islamic Cooperation(英語)Organisation de la Coopération Islamique(法語)منظمة التعاون الإسلامي(阿拉伯語) 旗帜格言:To safeguard the interests and ensure the progress and well-being of Muslims 成员国 观察国 暂停会籍行政总部 沙地阿拉伯吉达 官方语言阿拉伯语英语法语类型宗教成员国57个在籍成员国(英语:Member states of the Organisation ...
Government agency in Nigeria Nigerian Maritime Administration and Safety AgencyAbbreviationNIMASAFormation1 August 2006PurposeRegulate the maritime industry of NigeriaHeadquartersMaritime House, #4, Burma Road, Apapa, LagosOfficial language EnglishDirector GeneralDayo MobereolaWebsitehttp://nimasa.gov.ng/ The Nigerian Maritime Administration and Safety Agency (NIMASA), formerly the National Maritime Authority (NMA) is responsible for regulations related to Nigerian shipping, maritime labor an...
Geopolitical conflict in Central Asia This article is about recent unrest and fighting in Xinjiang. For the uprisings and battles in Xinjiang during the 1930s and 1940s, see Xinjiang Wars. This article needs to be updated. The reason given is: Updates needed past April 27, 2021. Please help update this article to reflect recent events or newly available information. (March 2024) Xinjiang conflictPart of Terrorism in China, and the War on TerrorXinjiang, highlighted red, shown within ChinaDate...
Further information: Demographics of Europe This is a list of countries and territories in Europe by population density. Data are from the United Nations unless otherwise specified.[1][2] Abkhazia, Georgia and South Ossetia are each bordered on the north by the Greater Caucasus, and may have some territory north of these mountains and thus in Europe by the most common definition. These three, as well as Armenia and Azerbaijan would have more territory or all of their territor...
Герб Корякского автономного округа Детали Утверждён 13 июля 1998 года Использование 1998 - 2010 Автор герба Почекутов А. В. Герб Корякского автономного округа — официальный символ бывшего субъекта Российской Федерации. 1 июля 2007 года в результате объединения Камчатской обла...
History of solar panels at the Executive Mansion Solar panels being installed on the White House roof, 2014 The use of solar power at the White House was first introduced in 1979. The solar panels were removed in 1986. Solar power was reintroduced early in the 21st century. Background Mechanical engineer Fred Morse was approached by the Richard Nixon administration to assess the potential of solar power. He took several years to work out what could be installed on the roof of the White House....