Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib

Infobox orangAbdullah bin Ja'far bin Abi Thalib
Biografi
Kelahiran622 Edit nilai pada Wikidata
Kekaisaran Aksum Edit nilai pada Wikidata
Kematian700 Edit nilai pada Wikidata (77/78 tahun)
Madinah Edit nilai pada Wikidata
Tempat pemakamanJannatul Baqi Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaIslam Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanulama Edit nilai pada Wikidata
Murid dariAsma' binti Umais Edit nilai pada Wikidata
Keluarga
Pasangan nikahZainab binti Ali Edit nilai pada Wikidata
AnakIsmail bin Abdullah bin Ja'far, Muawiyah bin Abdullah bin Ja'far, Ali bin Abdullah bin Ja'far, Aun bin Abdullah bin Ja'far, Muhammad bin Abdullah bin Ja'far, Abbas bin Abdullah bin Ja'far Edit nilai pada Wikidata
Orang tuaJa'far bin Abi Thalib Edit nilai pada WikidataAsma' binti Umais Edit nilai pada Wikidata
SaudaraMuhammad bin Ja'far bin Abi Thalib, Aun bin Ja'far, Muhammad bin Abu Bakar dan Ummu Kultsum binti Abu Bakar Edit nilai pada Wikidata
KerabatAbdullah bin Muawiyah al-Ja'fari (cucu laki-laki) Edit nilai pada Wikidata

Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib (1–80 H) adalah salah seorang sahabat Muhammad. Ia merupakan keluarga dekat Muhammad dari Bani Hasyim. Keluarganya merupakan ahlul bait yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Ja'far terkenal atas sifat kedermawanan sekaligus perannya sebagai perawi hadis yang dijadikan sebagai sumber oleh Ibnu Syihab az-Zuhri. Ia meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.[1]

Nasab

Abdullah bin Ja'far berasal dari Bani Hasyim.[2] Nasabnya ialah Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib al-Hasyimi al-Qurasyi.[3] Ayah Abdullah bin Ja'far bernama Ja'far bin Abi Thalib, sedangkan ibunya bernama Asma' binti Umais.[4] Ia dilahirkan pada tahun 1 H atau 622 M.[5] Abdullah bin Ja'far merupakan tiga bersaudara bersama Aun bin Ja'far dan Muhammad bin Ja'far.[6] Abdullah bin Ja'far merupakan anak yang paling bungsu.[7] Ia dilahirkan di Habasyah ketika kedua orang tuanya sedang hijrah.[3]

Pengasuhan

Pada tahun 7 H, Ja'far bin Abi Thalib sebagai pimpinan rombongan di Habasyah pindah ke Madinah dan ia mengikuti Pertempuran Mu'tah.[8] Ja'far bin Abi Thalib meninggal ketika mengikuti Pertempuran Mu'tah. Ia meninggal setelah menggantikan Zaid bin Haritsah yang syahid sebagai pemimpin dalam pertempuran ini.[9] Abdullah bin Ja'far dan kedua saudara serta ibunya, ditinggal mati oleh ayahnya ketika masih kanak-kanak.[4] Sepeninggal ayahnya, ibunya yaitu Asma' binti Umais dinikahi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq sehingga ia memiliki saudara lagi bernama Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq meninggal, ibunya dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib.[4]

Setelah ayahnya meninggal, Abdullah bin Ja'far diasuh oleh Muhammad dan didoakan sukses dalam berdagang.[10]

Pernikahan

Abdullah bin Ja'far menikah dengan Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib. Istrinya merupakan mantan istri Umar bin Khattab. Setelah Umar bin Khattab meninggal, Ummu Kultsum dinikahkan oleh Ali bin Abi Thalib dengan sepupunya yaitu saudara Abdullah bin Ja'far yang bernama Aun bin Ja'far. Setelah Aun bin Ja'far meninggal, Ummu Kultsum dinikahkan lagi dengan saudara sepupunya yang lain yaitu Muhammad bin Ja'far yang juga saudara dari Abdullah bin Ja'far. Setelah kakaknya meninggal, barulah Abdullah bin Ja'far menikahi Ummu Kultsum.[11] Abdullah bin Ja'far memiliki dua orang putra. Ia menamainya Abu Bakar dan Muawiyah.[12]

Abdullah bin Ja'far menjadi suami bagi Ummu Kultsum hingga kematiannya pada tahun 75 H.[13] Ummu Kultsum meninggal bersama dengan putranya yang bernama Zaid pada suatu kerusuhan di permukiman Bani Adi bin Ka'ab. Keduanya meninggal saat sedang berusaha mendamaikan kerusuhan tersebut.[14] Sepeninggal istrinya, Abdullah bin Ja'far menikah lagi. Ia menikah dengan kakak Ummu Kultsum yaitu Zainab binti Ali.[15] Dari pernikahan ini, Abdullah bin Ja'far memiliki anak bernama Aun bin Abdullah bin Ja'far dan Muhammad bin Abdullah bin Ja'far.[16] Dua anaknya yang bernama Aun bin Abdullah bin Ja'far dan Muhammad bin Abdullah bin Ja'far, terbunuh dalam Pertempuran Karbala pada tanggal 10 Muharram 61 H atau 9/10 Oktober 680 M. Selain kedua anak Abdullah bin Ja'far, keluarga Muhammad dari keturunan Ali bin Abi Thalib juga banyak terbunuh dalam Pertempuran Karbala.[17]

Anak laki-laki lainnya dari hasil pernikahan Zainab binti Ali dan Abdullah bin Ja'far ialah Ali bin Abdullah bin Ja'far dan Abbas bin Abdullah bin Ja'far. Pernikahan ini juga menghasilkan seorang anak perempuan bernama Ummu Kultsum bin Abdullah bin Ja'far.[10]

Keutamaan

Abdullah bin Ja'far merupakan salah seorang sahabat Muhammad.[3] Ia merupakan keturunan Bani Hasyim yang terakhir melihat Muhammad.[10] Abdullah bin Ja'far menjadi salah satu sumber periwayatan hadis bagi Ibnu Syihab az-Zuhri.[18] Abdullah bin Ja'far dikenal sebagai orang yang memiliki kedermawanan.[1]

Pertempuran Abla di Syam

Setelah Penaklukkan Damaskus selesai, Abu Ubaidah mengirim Satuan Kavaleri (pasukan berkuda) Abdullah bin Ja’far yang bergerak di malam hari pada tanggal 15 Sya’ban (14 Oktober 634 M) dengan ditemani salah seorang sahabat nabi, Abu Dzar al-Ghifari. Esok paginya mereka menemukan kafilah dagang musuh dikawal 5.000 pasukan Romawi Bizantium. Abu Dzar maju dengan semangat diikuti seluruh pasukan kavaleri menghadapi musuh yang 10 kali lipat besarnya. Pertempuran menjadi sangat keras dimana pasukan Muslimin berjuang mati-matian dikepung musuh.[19]

Pasukan Abdullah menemui kematian (syahid) satu persatu. Hanya menunggu waktu saja semua pasukan akan menemui Tuhannya. Beruntung, salah seorang pasukan berhasil menembus blokade musuh dan berkuda secepat kilat kembali ke Damaskus meminta bantuan penyelamatan. Abu Ubaidah terperanjat mendengar informasi kritis yang menimpa Muslimin, ia langsung memberikan komando kepada Khalid,

“Wahai Abu Sulaiman, aku memintamu atas nama Allah, pergilah selamatkan pasukan Abdullah. Hanya engkau yang dapat melakukannya!”

“Aku akan melakukannya atas ijin Allah. Aku hanya menunggu perintahmu.” Jawab Khalid.

“Aku ragu-ragu memintamu.”

“Demi Allah, jika engkau menunjuk seorang anak kecil memimpinku, aku akan mentaatinya. Bagaimana mungkin aku tidak mentaatimu sementara engkau lebih mulia  dariku dalam Islam dan  engkau telah digelari sebagai ‘Kepercayaan Umat’ oleh Rasulullah. Aku tidak akan pernah bisa melampauimu. Saksikanlah, bahwa aku telah mendedikasikan hidupku di jalan Allah yang Maha Tinggi.”

“Semoga Allah mengampunimu. Wahai Abu Sulaiman, pergi dan selamatkanlah saudaramu.”[20]

Khalid meluncur dengan unit kecil pasukan bersama Dhirar sekitar 30 menit kemudian. Mereka berhasil menyelamatkan pasukan Abdullah yang terkepung sekaligus menghancurkan pasukan Bizantium. Ghanimah berlimpah berhasil diperoleh Muslimin dalam misi kecil yang berbahaya ini. Di sisi lain, Khalid dan pasukannya juga memperoleh luka-luka terkena tajamnya pedang dan tombak Bizantium.[19]

Ketika di akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan atas permintaan pamannya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ja’far menjadi pasukan pembela Usman bin Affan menghadapi kepungan musuh yang hendak membunuh Usman.[1]

Di masa kekhalifanan Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ja’far menjadi pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Beliau bersama Ali dalam berbagai peristiwa penting yang terjadi. Ketika peristiwa Perang Jamal, Abdullah berada dalam pasukan yang membela Ali bin Abi Thalib. Menurut catatan Ibnu Khayyath dalam Kitab al-Thabaqat, pasca perang ini Abdullah ikut bersama Ali bin Abi Thalib tinggal di Kufah. Ketika Ali terbunuh, Abdullah ikut memandikan jasad Ali bersama Hasan dan Husain.[21]

Di zaman Muawiyah, ia menghadap Khalifah Muawiyah dan diberi hadiah 1 juta dirham (60 miliar rupiah). Di zaman Yazid bin Muawiyah, ia menghadap dan dihadiahi 2 juta dirham (12 miliar rupiah).[22] Ketika ia hendak keluar kembali ke Madinah, ia luar kota ia melihat ratusan ekor unta datang dari Khurasan (Persia) membawa berbagai hadiah untuk Yazid, Abdullah meminta padanya 3 ekor saja, namun diberikan semua kepada Abdullah.

Abdullah pernah menghadiahi seorang Badui dengan jubah seharga 300 dinar (600 juta). Abdullah membeli sebidang tanah seharga 60.000 dirham (1,8 Miliar rupiah) lalu membaginya 8 kapling, Utsman bin Affan membeli 2 kaplingnya dengan harga 120.000 dirham (3,6 miliar rupiah). [1]

Abdullah bin Ja'far juga pernah membeli tanah dari Abdullah bin Zubair seharga 1 juta dirham (60 miliar rupiah) yang tandus gersang. Ia lalu solat di tanah barunya dan menggali tanah lalu keluar mata air deras sehingga jadi subur tanahnya.[1]

Ketika Husain hendak ke Kufah, ia termasuk yang menasihati untuk tidak berangkat keluar dari Mekah.[21] Abdullah termasuk seorang terawal yang menyatakan baiat kepada Abdullah bin Zubair sebagai khalifah di Hijaz. Pembaiatan ini dilakukan dengan pandangan penduduk Hijaz bahwa secara syara', Abdullah bin Zubair berhak menjadi amirul mukminin.[23]

Kematian

Sepanjang kehidupannya Abdullah bin Ja’far sempat berpindah-pindah tempat, ia pernah tinggal di Kufah, Basrah, Syam, dan menghabiskan sisa umurnya di Madinah. Dalam Thabaqat al-Kubra dituliskan bahwa Abdullah bin Ja’far meninggal di Madinah pada tahun 80 H / 700 M.[5] Jenazahnya disalati oleh Aban bin Utsman yang saat itu menjadi wali kota Madinah di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan.[24] Ketika meninggal, ia berusia sekitar 90 tahun.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Dzahabi, Imam (2017). Terjemah Siyar A'lam an-Nubala. Jakarta: Pustaka Azzam. hlm. Jilid 8 Hal 79. ISBN 978-602-236-270-8. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  2. ^ Lathif, Abdussyafi Muhammad Abdul (Agustus 2016). Hasmand, Fedrian (ed.). Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Diterjemahkan oleh Irham, M., dan Supar, M. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 170. ISBN 978-979-592-668-9. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: translators list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  3. ^ a b c Musthafa, Muhammad Husni (Oktober 2010). Rendusara, Muhammad Khairuddin (ed.). Anak-anak dalam Pangkuan Rasulullah. Diterjemahkan oleh Ahmad, Emiel. Jakarta Timur: Akbar Media. hlm. 102. ISBN 978-979-9533-01-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  4. ^ a b c Iyubenu 2022, hlm. 39.
  5. ^ a b Az-Zarkali, Khairuddin (2002). Al-A'lam. Vol. 4 (Edisi 15). Beirut: Darul Ilmi lil Malayin. hlm. 76.
  6. ^ Az-Zain, Samih Athif (2024). Setiawan, Iwan (ed.). Muhammad The Messengger: Periode Futuh Mekah. Diterjemahkan oleh Gunawan, I., dan Satari, R. Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia. hlm. 114. ISBN 978-623-5331-35-5. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: translators list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  7. ^ Iyubenu 2022, hlm. 40.
  8. ^ Hamka (2015). Waskito, Joko (ed.). Tafsir al-Azhar Jilid 9. Jakarta: Gema Insani. hlm. 607. ISBN 978-602-250-253-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  9. ^ Iyubenu 2022, hlm. 38-39.
  10. ^ a b c Jam'ah, Ahmad Khalil (2022). Putri-Putri Sahabat Rasulullah. Darul Falah. hlm. 147. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  11. ^ Al-Azizi 2021, hlm. 56-57.
  12. ^ Muslih, M. Kholid (Juli 2019). Menyingkap Wajah Shi'ah Dua Belas Imam: Dari Kelahiran hingga Perkembangannya di Indonesia. Ponorogo: UNIDA Gontor Press. hlm. 149. ISBN 978-602-5620-06-5. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  13. ^ Jannah, Zakiah Nur (2020). Ramdani, Zaka Putra (ed.). Amazing Stories Fatimah. Bantul: Pustaka Al Uswah. hlm. 165. ISBN 978-623-92780-6-9. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  14. ^ Al-Azizi 2021, hlm. 57.
  15. ^ Iyubenu 2022, hlm. 39-40.
  16. ^ Fanani, Zhaenal. Taufik, M. (ed.). Karbala: Jejak Darah di Senja Asyura. Bandung: Pantera Publishing. ISBN 978-623-91324-0-8. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  17. ^ Ashadi (Oktober 2023). Duniawati, Nia (ed.). Sejarah Peradaban Kota Arsitektur dan Seni Dunia Islam Daulah Umayyah. Indramayu: Penerbit Adab. hlm. 21. ISBN 978-623-162-418-5. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  18. ^ Herdi, Asep (November 2014). Memahami Ilmu Hadis. Bandung: Tafakur. hlm. 167. ISBN 978-979-778-243-6. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  19. ^ a b Tabhari, Imam (2012). Terjemah Tarikh ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam. ISBN 978-602-8439-68-8
  20. ^ Grania, Abu Fatah (2008). Panglima Surga. Jakarta: Cicero Publishing. ISBN 9789791751285
  21. ^ a b Mustofa, Imron (2017-11-06). Sejarah Hidup Para Penyambung Lidah Nabi. LAKSANA. hlm. 49. ISBN 978-602-407-215-5. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  22. ^ Lathif, Prof Dr Abdussyafi Muhammad Abdul. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Pustaka Al-Kautsar. hlm. 170. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  23. ^ Hakim, Mansur Abdul (Agustus 2021). Yasir, Muhammad (ed.). Hajjaj bin Yusuf: Algojo Bani Umayyah. Diterjemahkan oleh Irham, M., dan Supar, M. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 32. ISBN 978-979-592-944-4. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: translators list (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  24. ^ As-Suyuthi, Imam (2014). Tarikh Khulafa'. Diterjemahkan oleh Nurdin, Muhammad Ali. Jakarta: Qisthi Press. hlm. 239. ISBN 978-979-1303-69-9. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya