Bilal bin Rabah
Bilāl bin Rabāḥ (bahasa Arab: بِلَال بِن رَبَاح) (5 Maret 580 — Maret 640), adalah salah satu Sahabah (sahabat) dari nabi Islam Muhammad. Ia lahir di Mekah dan dianggap sebagai mu'azzin pertama dalam sejarah, yang dipilih oleh Muhammad sendiri.[1][4][5][6] Dia adalah mantan budak Abyssinia (Habasyah atau Ethiopia) dan dikenal karena suaranya yang keras, yang memanggil orang-orang Muslim untuk melaksanakan salat. Dia meninggal pada tahun 640, sekitar usia 60 tahun. Kehidupan AwalBilal lahir di daerah as-Sahah sekitar 43 tahun sebelum hijrah, sehingga diperkirakan ia masuk islam pada umur 30 tahun. Ayahnya bernama Rabah, yang merupakan seorang budak. Sedangkan ibunya yang bernama Hamamah, juga seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah dan mengabdi kepada kepada keluarga Bani Jumah. Karena kondisi dan perawakan ibunya tersebut, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnu as-sauda` (putra wanita hitam). Bilal adalah seorang budak berkulit hitam keturunan Habasyah (sekarang Ethiopia). Ia dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah), sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdu ad-Dar, lebih tepatnya keluarga Bani Jumah. Saat ayahnya meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum Quraisy. Kisah KeislamanKetika Mekah dihebohkan dengan kemunculan seseorang yang menjadi Muhammad, yang menyerukan kalimat Tauhid, Bilal adalah kelompok orang yang pertama memeluk Islam, walau statusnya masih menjadi seorang budak. Saat Bilal masuk Islam, hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu. Seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-shiddiq, Ali bin Abu Thalib, Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-rumi, dan Miqdad bin Aswad.[7] DisiksaMasuknya Bilal bin Rabah ke dalam agama Islam merupakan sebuah keputusan yang sangat membanggakan. Tindakannya tidak hanya mengangkat nama Islam, tetapi juga mengangkat nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dalam menghadapi penyiksaan yang sangat kejam, Bilal mampu mempertahankan keyakinannya dengan keteguhan yang hanya dimiliki oleh para pejuang besar.[8] Perjuangan Bilal memberikan pelajaran berharga, tidak hanya bagi umat Islam pada masanya, tetapi juga bagi seluruh umat manusia lintas zaman dan agama. Ia menunjukkan bahwa kebebasan dan kemandirian jiwa merupakan hak asasi yang tidak dapat dibeli dengan emas seberat bumi, dan tidak dapat dipadamkan bahkan oleh siksaan seberat apapun.[8] Bilal pernah mengalami penyiksaan yang sangat berat. Ia dibaringkan dalam keadaan tanpa busana di atas pasir yang membara, hanya karena menolak untuk meninggalkan Islam dan kembali kepada keyakinan jahiliyah penyembahan berhala. Namun, ia tetap teguh. Dalam kondisi seperti itu, ia tidak menunjukkan sedikit pun keraguan terhadap keimanannya.[8] Islam dan Muhammad telah mengubah seorang budak asal Ethiopia menjadi sosok yang mampu menginspirasi umat manusia tentang pentingnya menjaga harga diri dan membela kemerdekaan jiwa. Penyiksaan terhadap Bilal dilakukan di siang hari yang terik, di padang pasir yang panasnya menyengat bagaikan api. Ia dibaringkan di atas kerikil-kerikil panas, dan dadanya ditekan dengan batu besar yang dipanaskan di bawah terik matahari.[8] Penyiksaan keji ini berlangsung setiap hari, hingga sebagian dari mereka yang menyiksanya mulai merasa iba. Mereka kemudian menawarkan pembebasan dengan satu syarat: Bilal diminta untuk memuji berhala mereka, walaupun hanya dengan satu kata. Tujuannya adalah agar harga diri mereka tetap terjaga di hadapan masyarakat Quraisy, dan tidak terlihat kalah oleh keteguhan seorang budak.[8] Namun, Bilal menolak. Bahkan, walau hanya satu patah kata yang bisa diucapkan tanpa menyertakan hatinya dan nyawanya akan selamat tanpa harus kehilangan iman dan meninggalkan keyakinannya saat mengucapkannya,[8] ia tetap enggan mengucapkannya. Sebagai bentuk penegasan terhadap keteguhannya, ia justru terus mengulang-ulang kalimat tauhid: “Ahadun, Ahad.” Para algojo yang menyaksikan keteguhan itu semakin marah dan mendesaknya untuk menyebut nama berhala mereka, “Latta dan Uzza.” Namun, dengan nada sinis dan penuh kehinaan terhadap berhala-berhala tersebut, Bilal menjawab, “Lidahku tidak mampu mengucapkannya dengan baik.”[8] Siksaan terhadap Bilal tidak berhenti di situ. Setelah disiksa di bawah terik matahari dan ditindih batu panas hingga sore, ia dipaksa berdiri dan diikat lehernya dengan seutas tali. Kemudian, anak-anak Quraisy diperintahkan untuk menyeretnya keliling kota Mekah dan bukit-bukit sekitarnya. Namun sepanjang perjalanan itu, Bilal terus melantunkan kalimat sucinya: “Ahadun, Ahad.[8] Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf (tuannya), bersama para algojo. Mereka menghantam punggung Bilal dengan cambuk, tetapi Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad (Allah Maha Esa)". Mereka menindih dada Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad". Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, tetapi Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad". Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan Uzza, tapi Bilal justru memuji dan mengagungkan “Allah dan Rasul-Nya”. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”.Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Pada akhirnya Bilal dibebaskan oleh Abu Bakar, senilai 5 uqyah emas (sekitar 200 juta rupiah),[9] sehingga status Bilal bukan lagi seorang budak, melainkan sudah menjadi manusia merdeka. Popularitas Bilal![]() Bilal bin Rabah adalah sosok yang dikenal luas dalam sejarah Islam sebagai muazin pertama dan salah satu tokoh yang menunjukkan keteguhan iman luar biasa. Ia juga dikenal sebagai sosok yang menghancurkan berhala-berhala sebagai simbol penolakan terhadap kemusyrikan. Kehadiran Bilal merupakan salah satu bukti nyata bagaimana keimanan dan kejujuran dapat mengangkat derajat seseorang, terlepas dari latar belakang sosialnya.[8] Hampir dapat dipastikan bahwa dari setiap sepuluh Muslim di dunia sejak awal Islam hingga kini, mayoritas mengenal sosok Bilal bin Rabah. Nama dan perannya dalam sejarah Islam dikenal secara luas di berbagai belahan dunia — dari Mesir, Pakistan, kawasan Melayu, Tiongkok, hingga Amerika, Eropa, Rusia, serta negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Di manapun terdapat komunitas Muslim, bahkan di pedalaman atau daerah terpencil, anak-anak Muslim pun biasanya mengenal Bilal sebagai muazin Muhammad.[8] Padahal, sebelum memeluk Islam, Bilal hanyalah seorang budak dari Ethiopia (Habsyi) yang bekerja menggembalakan unta dengan imbalan beberapa genggam kurma. Ia mengalami penyiksaan berat dari tuannya karena mempertahankan keimanannya kepada Allah. Di bawah tekanan dan siksaan, ia tetap teguh dengan ucapannya yang terkenal: "Ahadun Ahad", yang berarti “Tuhan Yang Maha Esa.”[8] Islam-lah yang mengubah jalan hidup Bilal secara drastis. Dari seorang budak yang tidak memiliki status sosial, ia kemudian dikenang sepanjang masa sebagai tokoh yang dekat dengan Muhammad dan mendapat kehormatan sebagai muazin pertama dalam sejarah Islam. Keimanannya yang tulus dan keteguhan pendirian menjadikan namanya abadi, bahkan melebihi ketenaran banyak tokoh yang memiliki kekuasaan, harta, dan jabatan tinggi dalam sejarah.[8] Banyak tokoh dunia yang mungkin dikenal di zamannya karena kekuatan atau pengaruhnya, namun hanya sedikit yang dikenang secara lintas generasi seperti Bilal bin Rabah. Namanya terus disebut dan dikenang sebagai simbol kemuliaan iman dan keadilan Islam yang mampu mengangkat derajat manusia tanpa memandang status sosial atau latar belakang.[8] Mengikut PeperanganBilal mengikuti semua peperangan bersama Nabi Muhammad baik itu pertempuran Badar, pertempuran Uhud, Khandaq hingga Ekspedisi Tabuk. Dalam pertempuran Badr, Bilal berhasil membunuh Umayyah bin Khalaf bekas majikan yang pernah menyiksanya.[9] Saat penaklukkan Mekah, Bilal akhirnya adzan di atas Ka'bah setelah patung-patung berhala dirobohkan.[9] Sepeninggalan MuhammadSetelah Muhammad mati dalam keadaan ridha dan diridhai oleh Allah, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh sahabat beliau, yaitu Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa Bilal bin Rabah—muadzin setia Muhammad—datang menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, aku pernah mendengar beliau bersabda: ‘Sebaik-baik amal seorang mukmin adalah jihad fi sabilillah.’” Abu Bakar kemudian bertanya, “Lantas apa maksudmu, wahai Bilal?” Bilal menjawab, “Aku ingin melaksanakan ribath (berjaga di perbatasan dalam rangka jihad) di jalan Allah hingga ajal menjemputku.” Abu Bakar pun bertanya, “Lalu siapa yang akan mengumandangkan adzan untuk kami?” Dengan mata yang berlinang air mata, Bilal menjawab, “Sungguh aku tidak mau lagi mengumandangkan adzan sepeninggalan Rasulullah.” Abu Bakar berusaha meyakinkannya, “Tidak, kamu harus tetap tinggal di sini dan mengumandangkan adzan untuk kami, wahai Bilal.” Namun Bilal berkata, “Jika engkau memerdekakan diriku agar aku menjadi milikmu, silakan Anda memerintahku sesuka Anda. Tetapi jika Anda memerdekakan aku karena Allah, maka biarkan aku dan kemerdekaanku.” Mendengar hal itu, Abu Bakar menjawab dengan tulus, “Aku memerdekakanmu karena Allah, wahai Bilal.”[8] Bilal kemudian mengikuti berbagai pertempuran di Suriah di bawah komando Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jarrah.[9] Adzan Terakhir![]() Bilal tidak lagi mengumandangkan adzan. Setiap kali ia mengucapkan kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, ia tidak mampu menahan tangis, karena kenangan bersama Muhammad kembali membanjiri hatinya. Suaranya menjadi lirih, dan air matanya yang berbicara menggantikan lantunan adzannya. Adzan terakhir yang dikumandangkan Bilal adalah ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab melakukan kunjungan ke wilayah Syam. Kaum muslimin yang merindukan suara adzan Bilal meminta kepada Umar agar memintanya mengumandangkan adzan satu kali saja. Ketika waktu salat tiba, Umar memanggil Bilal dan memintanya untuk melantunkan adzan terakhir. Bilal pun naik dan mengumandangkan adzan. Suaranya yang khas dan menggugah hati membuat para sahabat Muhammad yang pernah mendengarnya di masa lalu tidak kuasa menahan tangis. Mereka menangis tersedu-sedu, seolah-olah tidak pernah menangis sebelumnya. Di antara mereka, Umar bin Khattab adalah yang paling kuat tangisannya.[9] KeutamaanBerikut adalah di antara keistimewaan sayyidina Bilal Bin Rabbah ra:
WafatnyaPasca meninggalnya Muhammad pada tahun 11 H, sahabat Bilal pergi meningggalkan Madinah menuju tanah Syam untuk meringankan kesedihannya, ia akhirnya meninggal di Gerbang Kaisan / Shagir,[9] di kota Damaskus pada tahun 20 H atau 21 H (641 M) dalam umur 60 tahun.[9] Sa'id bin Abdul Aziz berkata, "Menjelang wafat Bilal berkata, 'Besok para kekasih bertemu dengan Muhammad tercinta dan rombongannya'. Mendengar itu, istrinya berkata, 'Aduh betapa sedihnya!' Bilal lalu berkata, 'Aduh betapa senangnya'."[9] Lihat pula
Referensi
Bilal bin Rabah Pranala luar
|