Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Batara

Arca Batara Guru, dewa masyhur dalam peradaban Nusantara yang menyandang gelar Batara.

Batara atau Bhatara (Dewanagari: भट्टार; ,IASTBhaṭṭāra,; ejaan tidak baku: Betara) adalah istilah atau gelar dalam kebudayaan Hindu di Nusantara untuk dewa-dewi, atau seseorang yang dimuliakan atau dihormati. Dalam perkembangannya, istilah batara sering dipakai silih berganti dengan dewa, terutama dalam budaya pewayangan dan praktik Hindu di Bali. Batara tidak sepenuhnya berarti dewa karena ada definisi yang berbeda. Batara berjenis kelamin wanita disebut Batari.

Etimologi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "batara" dipadankan dengan "dewa", atau sebutan untuk dewa atau raja.[1] Secara etimologi, kata batara berasal dari kata bhaṭṭāra (भट्टार) atau bhaṭāra (भटार) yang merupakan salah satu kosakata umum dalam epigrafi di India, serta dapat ditemukan dalam prasasti atau inskripsi yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, Prakerta, maupun bahasa-bahasa rumpun Dravida, contohnya Kannada.[2]

Dalam bahasa Sanskerta, bhaṭṭāra (aksara Dewanagari: भट्टार) merupakan kata benda maskulin, berarti 'yang dihormati, yang mulia, bangsawan'.[3][4][5] Kata bhaṭāra (aksara Kannada: ಭಟಾರ) dalam bahasa Kannada merupakan singkatan dari kata bhaṭṭāraka,[2] yang berarti "seseorang yang layak dihormati karena kebijaksanaan, kecerdasan, dan kebajikannya"; "seorang raja"; "penguasa".[6] Pada masa kini, bhattaraka dipakai dalam agama Jain sebagai gelar bagi pemimpin perguruan.[7]

Teori lain menyatakan bahwa kata 'batara' (bhaṭṭāra) berasal dari kata Sanskerta bhartṛ (भर्तृ) yang artinya 'tuan', 'pelindung', 'pemelihara'.[8][9] Teori lainnya dikemukakan oleh John Crawfurd, yang menyatakan bahwa kata batara berasal dari kata avatara (awatara), baik secara makna maupun ortografi, serta berfungsi sebagai gelar bagi dewa apa pun.[10]

Definisi dan terminologi

Kata 'batara' (dieja Bětâra) tercatat dalam kamus Melayu-Inggris tahun 1894, diartikan sebagai suatu gelar untuk makhluk surgawi (dewa-dewi), dan dahulu juga digunakan sebagai gelar oleh para penguasa Majapahit.[11] Orang Dayak, Batak, dan Bugis juga mengenal sosok ilahi bernama Batara Guru, yang memiliki korelasi dengan pengertian dan pemakaian gelar batara.[12] Suku Moro di kepulauan Sulu juga mengenal gelar 'batara', menunjukkan adanya pengaruh kosakata asal India.[13] Kata 'batara' ini juga ditengarai sebagai asal-mula bagi kata Bathala, sosok Mahakuasa dan Mahapencipta dalam kepercayaan asli suku Tagalog di Filipina.[14][15]

Pada era kerajaan Hindu di Nusantara, kata batara sepadan dengan gelar "baginda". Batara dapat disingkat menjadi "Bhra", contohnya pada nama Brawijaya. Singkatan yang serupa ialah bhre (contoh: Bhre Wirabhumi), yang berasal dari kata bhra i, artinya "Baginda di […]".[16]

Dalam tradisi Jawa masa kini―khususnya tradisi pewayangan―istilah batara dipakai untuk merujuk kepada dewa atau titisan dewa, terutama tokoh-tokoh pewayangan (Batara Guru, Batara Kresna, Batara Sambu, dsb) dari kisah-kisah peninggalan zaman kerajaan bercorak Hindu di Jawa.[17] Dalam tradisi Agama Hindu Dharma di Bali, istilah batara diucapkan /bət̪arə/. Mereka diyakini sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi (Tuhan) sebagai pelindung segala ciptaan-Nya. Mereka disamakan atau bahkan diidentikkan dengan dewa, karena sama-sama berfungsi sebagai pelindung, contohnya: Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kala, dan sebagainya.[18]

Di Bali, pemakaian gelar Batara tidak hanya untuk dewa-dewi, tetapi juga ditujukan kepada penguasa atau orang yang dimuliakan. Pada zaman kerajaan Bali, terutama setelah penaklukan Bali oleh Majapahit, sejumlah bangsawan atau pejabat pemerintahan juga memakai gelar anumerta bhatara, contohnya Bhatara Kebo Iwa[19] dan Bhatara Arya Kenceng.[20] Tokoh masyarakat Bali yang menjadi legenda, seperti Pan Balang Tamak juga menyandang gelar anumerta bhatara dan dimuliakan di suatu pura.[20]

Hubungan dengan dewa

Meskipun umat Hindu Bali meyakini para batara sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi (Tuhan), tetapi mereka tidak disamakan dengan-Nya, melainkan bersumber dari-Nya.[18] Batara diyakini sebagai personifikasi kekuatan alam atau wujud kekuatan Tuhan, sehingga para dewa juga dapat menyandang gelar batara, termasuk awatara (makhluk jelmaan dewa) contohnya Batara Rama dan Batara Kresna.[21] Hubungan antara Tuhan, dewa, dan batara diibaratkan seperti Matahari: Tuhan merupakan Matahari itu sendiri, para dewa merupakan cahayanya, sedangkan para batara merupakan panasnya.[22]

Antropolog Amerika, Clifford Geertz dalam bukunya tentang kebudayaan Bali menyatakan bahwa gelar dewa dan batara juga merupakan ciri dari adanya strata sosial seperti halnya manusia; dewa (wanita: dewi) dianggap sebagai gelar dewa-dewi pada umumnya, sementara batara digunakan untuk dewa-dewi dengan tingkatan yang lebih tinggi; contohnya Batara Guru dan Dewi Sri.[23] Meskipun demikian, gelar tersebut tidak dipentingkan secara hierarki melainkan dimaknai sebagai penanda bahwa mereka memiliki hak untuk mengatur urusan dunia seperti cuaca, kemakmuran, kematian, dan sebagainya.[23]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Definisi 'batara'", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi V), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, 2016
  2. ^ a b Bhatara, Bhaṭāra: 3 definitions, Wisdom Library, diarsipkan dari asli tanggal 14 Juli 2025
  3. ^ Definition of bhaṭṭāra भट्टार, Sanskrit Dictionary, diakses tanggal 16 Juli 2025, Definition: honourable, Name of various men.
  4. ^ Russell Jones (2008), Loan-words in Indonesian and Malay, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  5. ^ "Etimologi 'batara'", Kamus Besar Bahasa Indonesia
  6. ^ "Definiton of ಭಟಾರ (bhaṭāra)", “Alar” V. Krishna's Kannada → English dictionary, diarsipkan dari asli tanggal 14 Juli 2025
  7. ^ Sangave, Vilas Adinath (2001), Facets of Jainology: Selected Research Papers, Popular Prakashan, hlm. 133–143
  8. ^ Ngurah Nala (2006),  Aksara Bali dalam Usada, Surabaya: Pāramita, ISBN 9789797222383
  9. ^ Definition of bhartṛ भर्तृ, Sanskrit Dictionary, diakses tanggal 16 Juli 2025, Definition: preserver, protector, maintainer, chief, lord, master, etc.
  10. ^ Crawfurd, John (2013). History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Art, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of Its Inhabitants. Cambridge University Press. hlm. 219–220. ISBN 978-1-108-05615-1.
  11. ^ Sir Hugh Charles Clifford; Sir Frank Athelstane Swettenham (1894), A Dictionary of the Malay Language (Malay-English) · Part 1–4, Berkeley: University of California
  12. ^ Journal of East Asiatic Studies, vol. 5, Manila: University of the Philippines, 1956
  13. ^ Abubakar, Asiri J. (2009), "Persistent Themes in the History of Sulu Moros (Session 2: Islam and Peace Building in the Philippines)", Islam in Southeast Asia: Transnational Networks and Local Contexts; Proceedings of the Symposium, Tokyo University of Foreign Studies, hlm. 119–136
  14. ^ Carlos Quirino (1965), Historical Symposium on the Beginnings of Christianity in the Philippines, Philippines Historical Committee
  15. ^ Scott, William Henry (1994), Barangay: Sixteenth Century Philippine Culture and Society, Quezon City: Ateneo de Manila University Press, hlm. 234, ISBN 971-550-135-4
  16. ^ Sri Wintala Achmad (2019), Sejarah Raja-Raja Majapahit, Jakarta: CV Solusi Distribusi Buku, ISBN 9786237145974
  17. ^ Iman Budhi Santosa (2021), Spiritualisme Jawa, Yogyakarta: Diva Press, ISBN 9786232935839
  18. ^ a b Harun Hadiwijono (2010), Agama Hindu Dan Budha, Jakarta: BPK Gunung Mulia, ISBN 9789796872930
  19. ^ I Nyoman Weda Kusuma (27 Desember 2023), "Tradisi Persembahan Kepada Ida Bhatara Bagus Kebo Iwa di Desa Bedha Kerambitan Tabanan", Prosiding Seminar Nasional Bahasa, Sastra, & Budaya, Denpasar: Universitas Udayana, ISSN 2985-3982 Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
  20. ^ a b I Wayan Wastawa (2018), I Ketut Sudarsana (ed.), Identitas Tokoh Pan Balang Tamak dalam Teks dan Konteks Masyarakat Bali, Denpasar: Jayapangus Press, ISBN 978-623-7112-06-8
  21. ^ Ngurah Nala; G. K. Adia Wiratmadja (1993), Murddha agama Hindu, Denpasar: Upada Sastra
  22. ^ I Wayan Midastra dkk. (2007), I G.B. Widyantara (ed.), Widya Dharma Agama Hindu untuk SMP kelas IX, Jakarta: Ganeca Exact, ISBN 9789797447373
  23. ^ a b Geertz, Clifford (2017), The Interpretation of Cultures, Basic Books, ISBN 9780465093564
Kembali kehalaman sebelumnya