Batara![]() Batara atau Bhatara (Dewanagari: भट्टार; IAST: Bhaṭṭāra ; ejaan tidak baku: Betara) adalah istilah atau gelar dalam kebudayaan Hindu di Nusantara untuk dewa-dewi, atau seseorang yang dimuliakan atau dihormati. Dalam perkembangannya, istilah batara sering dipakai silih berganti dengan dewa, terutama dalam budaya pewayangan dan praktik Hindu di Bali. Batara tidak sepenuhnya berarti dewa karena ada definisi yang berbeda. Batara berjenis kelamin wanita disebut Batari. EtimologiDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "batara" dipadankan dengan "dewa", atau sebutan untuk dewa atau raja.[1] Secara etimologi, kata batara berasal dari kata bhaṭṭāra (भट्टार) atau bhaṭāra (भटार) yang merupakan salah satu kosakata umum dalam epigrafi di India, serta dapat ditemukan dalam prasasti atau inskripsi yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, Prakerta, maupun bahasa-bahasa rumpun Dravida, contohnya Kannada.[2] Dalam bahasa Sanskerta, bhaṭṭāra (aksara Dewanagari: भट्टार) merupakan kata benda maskulin, berarti 'yang dihormati, yang mulia, bangsawan'.[3][4][5] Kata bhaṭāra (aksara Kannada: ಭಟಾರ) dalam bahasa Kannada merupakan singkatan dari kata bhaṭṭāraka,[2] yang berarti "seseorang yang layak dihormati karena kebijaksanaan, kecerdasan, dan kebajikannya"; "seorang raja"; "penguasa".[6] Pada masa kini, bhattaraka dipakai dalam agama Jain sebagai gelar bagi pemimpin perguruan.[7] Teori lain menyatakan bahwa kata 'batara' (bhaṭṭāra) berasal dari kata Sanskerta bhartṛ (भर्तृ) yang artinya 'tuan', 'pelindung', 'pemelihara'.[8][9] Teori lainnya dikemukakan oleh John Crawfurd, yang menyatakan bahwa kata batara berasal dari kata avatara (awatara), baik secara makna maupun ortografi, serta berfungsi sebagai gelar bagi dewa apa pun.[10] Definisi dan terminologiKata 'batara' (dieja Bětâra) tercatat dalam kamus Melayu-Inggris tahun 1894, diartikan sebagai suatu gelar untuk makhluk surgawi (dewa-dewi), dan dahulu juga digunakan sebagai gelar oleh para penguasa Majapahit.[11] Orang Dayak, Batak, dan Bugis juga mengenal sosok ilahi bernama Batara Guru, yang memiliki korelasi dengan pengertian dan pemakaian gelar batara.[12] Suku Moro di kepulauan Sulu juga mengenal gelar 'batara', menunjukkan adanya pengaruh kosakata asal India.[13] Kata 'batara' ini juga ditengarai sebagai asal-mula bagi kata Bathala, sosok Mahakuasa dan Mahapencipta dalam kepercayaan asli suku Tagalog di Filipina.[14][15] Pada era kerajaan Hindu di Nusantara, kata batara sepadan dengan gelar "baginda". Batara dapat disingkat menjadi "Bhra", contohnya pada nama Brawijaya. Singkatan yang serupa ialah bhre (contoh: Bhre Wirabhumi), yang berasal dari kata bhra i, artinya "Baginda di […]".[16] Dalam tradisi Jawa masa kini―khususnya tradisi pewayangan―istilah batara dipakai untuk merujuk kepada dewa atau titisan dewa, terutama tokoh-tokoh pewayangan (Batara Guru, Batara Kresna, Batara Sambu, dsb) dari kisah-kisah peninggalan zaman kerajaan bercorak Hindu di Jawa.[17] Dalam tradisi Agama Hindu Dharma di Bali, istilah batara diucapkan /bət̪arə/. Mereka diyakini sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi (Tuhan) sebagai pelindung segala ciptaan-Nya. Mereka disamakan atau bahkan diidentikkan dengan dewa, karena sama-sama berfungsi sebagai pelindung, contohnya: Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kala, dan sebagainya.[18] Di Bali, pemakaian gelar Batara tidak hanya untuk dewa-dewi, tetapi juga ditujukan kepada penguasa atau orang yang dimuliakan. Pada zaman kerajaan Bali, terutama setelah penaklukan Bali oleh Majapahit, sejumlah bangsawan atau pejabat pemerintahan juga memakai gelar anumerta bhatara, contohnya Bhatara Kebo Iwa[19] dan Bhatara Arya Kenceng.[20] Tokoh masyarakat Bali yang menjadi legenda, seperti Pan Balang Tamak juga menyandang gelar anumerta bhatara dan dimuliakan di suatu pura.[20] Hubungan dengan dewaMeskipun umat Hindu Bali meyakini para batara sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi (Tuhan), tetapi mereka tidak disamakan dengan-Nya, melainkan bersumber dari-Nya.[18] Batara diyakini sebagai personifikasi kekuatan alam atau wujud kekuatan Tuhan, sehingga para dewa juga dapat menyandang gelar batara, termasuk awatara (makhluk jelmaan dewa) contohnya Batara Rama dan Batara Kresna.[21] Hubungan antara Tuhan, dewa, dan batara diibaratkan seperti Matahari: Tuhan merupakan Matahari itu sendiri, para dewa merupakan cahayanya, sedangkan para batara merupakan panasnya.[22] Antropolog Amerika, Clifford Geertz dalam bukunya tentang kebudayaan Bali menyatakan bahwa gelar dewa dan batara juga merupakan ciri dari adanya strata sosial seperti halnya manusia; dewa (wanita: dewi) dianggap sebagai gelar dewa-dewi pada umumnya, sementara batara digunakan untuk dewa-dewi dengan tingkatan yang lebih tinggi; contohnya Batara Guru dan Dewi Sri.[23] Meskipun demikian, gelar tersebut tidak dipentingkan secara hierarki melainkan dimaknai sebagai penanda bahwa mereka memiliki hak untuk mengatur urusan dunia seperti cuaca, kemakmuran, kematian, dan sebagainya.[23] Lihat pulaReferensi
|