Pitara![]() Pitara atau Pitra (Dewanagari: पितृ; IAST: Pitṛ ) adalah arwah leluhur menurut kepercayaan Hindu. Setelah kematian seseorang, pelaksanaan antyesti (upacara kremasi) diyakini dapat menghantarkan almarhum ke Pitraloka, alam para leluhur. Tidak terlaksananya upacara tersebut dapat menyebabkan arwah bergentayangan di Bumi dalam wujud preta.[1] Hari amawasya (Tilem dalam tradisi Hindu Bali),[2] serta perayaan Pitripaksa saat bulan Aswin menurut kalender Hindu dianggap sebagai hari baik untuk bersembahyang kepada leluhur.[3][4] Tradisi IndiaPemujaan terhadap leluhur merupakan praktik sejak zaman India Kuno. Tradisi peringatan hari kematian masih diperingati di sejumlah daerah di India, dan hari kematian bapak/ibu seseorang melibatkan sejumlah pelaksanaan ritual dan pengadaan sesajen, sebagaimana termaktub dalam pustaka Purana.[5] Bola-bola nasi (piṇḍa) biasanya dihaturkan pada hari-hari tertentu, dengan kepercayaan bahwa arwah leluhur perlu diberi sesajen oleh keturunannya. Untuk keluarga pemuka agama atau rohaniwan, sesajen kepada leluhur perlu dihaturkan setiap hari. Meskipun sastra Weda menyatakan bahwa leluhur seseorang telah mencapai swarga, banyak umat Hindu meyakini Samsara atau siklus reinkarnasi, yang menyebabkan setiap jiwa mengalami kelahiran dan kematian berulang kali sampai mereka mencapai kebebasan spiritual yang disebut moksa.[6] Menurut kepercayaan di India, dewa api Agni diyakini mengantarkan arwah almarhum ke Pitraloka dengan asap yang muncul saat kremasi.[7] Para pitara sering diumpamakan sebagai burung, sebab mereka dikatakan sering menengok ke bawah (Bumi);dalam sastra kuno Baudhayana dinyatakan bahwa pitara dapat mengubah bentuk menyerupai burung. Hal tersebut menyebabkan adanya praktik pemberian pakan kepada burung-burung saat upacara kremasi dan ritual lainnya yang berkaitan dengan pemujaan kepada leluhur (pitrayadnya).[8] Sastra Hindu Mahabharata mengajarkan konsep untuk hidup dengan penuh kebajikan demi para leluhur yang terlebih dahulu meninggal. Daripada memuja, dikatakan bahwa kewajiban bagi seluruh keturunan laki-laki ialah melaksanakan upacara untuk para leluhurnya.[9] Sayana, seorang cendekiawan pada masa kekaisaran Vijayanagara menganggap bahwa setiap orang lahir dengan menanggung utang para leluhurnya. Utang ini dilunasi perlahan-lahan dengan cara melanjutkan keturunan. Tindakan tersebut dinyatakan melindungi garis keturunan dan memperpanjang usia pitara. Menurutnya, dunia para pitara hanya bisa dicapai oleh orang-orang saleh, dan tidak bisa dijangkau oleh orang yang tidak menghormati dewa-dewi serta melukai kaum brahmana.[10] Referensi
|