Lembaga Negara dalam UUD 1945

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, terdapat dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ merupakan status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah tersebut sesuai dengan maksud pembentukannya.

Lembaga-Lembaga Negara

Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan secara eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebutkan bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945 terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya. Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah:

  1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat dan Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
  2. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
  3. Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4, yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.”;
  4. Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3);
  5. Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
  6. Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
  7. Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumvirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara terpisah, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
  8. Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, yang berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.”;[1]
  9. Duta seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);
  10. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
  11. Pemerintahan Daerah Provinsi[2] sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan (7) UUD 1945;
  12. Gubernur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
  13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
  14. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan (7) UUD 1945;
  15. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
  16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
  17. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan (7) UUD 1945;
  18. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
  19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
  20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
  21. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
  22. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 22D;
  23. Komisi Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang;
  24. Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.” Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Namun, nama Bank Indonesia bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
  25. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
  26. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
  27. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
  28. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
  29. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
  30. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
  31. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
  32. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
  33. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
  34. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, seperti kejaksaan, diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.”[3]

Bahkan, jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain. yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.” Artinya, selain Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan Kepolisian Negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan, yang semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang diusulkan untuk diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.

Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain Kejaksaan, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga yang dimaksud, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki pentingnya konstitusional dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.

Misalnya, mengenai keberadaan Komnas HAM. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia tersebut, negara dengan sengaja membentuk satu komisi yang bernama Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas HAM itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi konstitusional. Oleh karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang-undang dan tidak ditentukan secara eksplisit dalam UUD, keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut sebagai "constitutional importance" yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945.

Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan dan Kepolisian Negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya Kepolisian Negara, yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan sama sekali tidak disebut. Ketidaksebutan Kejaksaan dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa Kepolisian Negara itu lebih penting daripada Kejaksaan. Keduanya sama-sama penting atau memiliki "constitutional importance" yang setara. Setiap negara yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.

Pembedaan dari Segi Hirarkinya

Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat lebih dari 34 lembaga yang disebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antar lembaga negara itu penting untuk ditentukan, karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara tersebut. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya.

Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu: (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis.

Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu:

  1. Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
  3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
  4. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
  5. Mahkamah Konstitusi (MK);
  6. Mahkamah Agung (MA);
  7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ Lapis Kedua/Lembaga Negara

Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan kewenangan dari UUD, misalnya, adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undang-undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya.

Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat dibandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:

  1. Menteri Negara;
  2. Tentara Nasional Indonesia;
  3. Kepolisian Negara;
  4. Komisi Yudisial;
  5. Komisi Pemilihan Umum;
  6. Bank Sentral.

Dari keenam lembaga atau organ negara tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Akan tetapi, nama lembaganya tidak secara tegas disebut, karena perkataan "komisi pemilihan umum" tidak disebut dengan huruf besar.

Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.” Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.

Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.” Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal selama ini, yaitu “Bank Indonesia,” maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan undang-undang.

Dengan demikian, derajat protokoler kelompok organ konstitusi pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain.

Kelompok ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya, Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung kepada beleid presiden.

Organ Lapis Ketiga/Lembaga Daerah

Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan di atas, diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga daerah itu adalah:

  1. Pemerintahan Daerah Provinsi;
  2. Gubernur;
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi;
  4. Pemerintahan Daerah Kabupaten;
  5. Bupati;
  6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten;
  7. Pemerintahan Daerah Kota;
  8. Walikota;
  9. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota.

Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh undang-undang dasar, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.

Oleh sebab itu, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami sebagai bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga. Sembilan pertama dari sepuluh lembaga daerah tersebut pada pokoknya terdiri atas tiga susunan pemerintahan, yaitu: (i) pemerintahan daerah provinsi; (ii) pemerintahan daerah kabupaten; dan (iii) pemerintahan daerah kota, yang masing-masing terdiri atas Kepala Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.

Baik pemerintahan daerah secara bersama-sama maupun jabatan kepala pemerintahan daerah dan DPRD masing-masing tingkatan, secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama, merupakan institusi yang bersifat tersendiri.

Pembedaan dari Segi Fungsinya

Kesembilan organ yang disebut dalam UUD 1945, seperti diuraikan di atas, dapat pula dibedakan dari segi fungsinya. Di antara lembaga-lembaga tersebut, ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain):

(i) Kekuasaan eksekutif atau pelaksana (administratur, bestuurzorg);

(ii) Kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan;

(iii) Kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara, terdapat presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya, ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).

Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu:

(i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

(ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

(iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

(iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sistematika pembahasan dimulai dari Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Oleh karena itu, seyogyanya urutan protokoler terhadap para pejabat yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga negara itu juga didasarkan atas urutan sebagaimana tersebut: Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MPR (kecuali jika jabatan ini dirangkap oleh Ketua DPR dan Ketua DPD), Ketua MK, Ketua MA, dan Ketua BPK.

Sekarang nomor urutan seri mobil dinas para pejabat tersebut adalah: B-1 untuk RI-1, B-2 untuk RI-2, B-3 untuk istri RI-1, B-4 untuk istri RI-2, B-5 untuk Ketua MPR, B-6 untuk Ketua DPR, B-7 untuk Ketua DPD, B-8 untuk Ketua MA, B-9 untuk Ketua MK, dan B-10 untuk Ketua BPK.

Kedelapan jabatan itu dapat disebut terdiri atas tujuh lembaga tinggi negara, karena pada pokoknya, Presiden dan Wakil Presiden adalah satu kesatuan institusi kepresidenan. Dapat juga dipahami bahwa Presiden adalah lembaga utama, sedangkan Wakil Presiden adalah lembaga pendukung terhadap Presiden. Apabila Presiden berhalangan secara tetap, Presiden digantikan oleh Wakil Presiden.

Di dalam kelompok cabang legislatif, lembaga parlemen yang utama adalah DPR, sedangkan DPD bersifat penunjang, dan MPR sebagai lembaga perpanjangan fungsi (extension) parlemen, khususnya dalam rangka penetapan dan perubahan konstitusi, pemberhentian dan pengisian lowongan jabatan Presiden/Wakil Presiden, serta pelantikan Presiden/Wakil Presiden. Meskipun dalam bidang legislasi, kedudukan DPD bersifat penunjang bagi peranan DPR, tetapi dalam bidang pengawasan yang menyangkut kepentingan daerah, DPD tetap mempunyai kedudukan yang penting. Karena itu, DPD tetap dapat disebut sebagai lembaga utama (main state organ).

Demikian pula, MPR sebagai lembaga parlemen ketiga, meskipun tugas-tugasnya tidak bersifat rutin, dan kepemimpinannya dapat saja dirangkap oleh pimpinan DPR dan DPD, MPR tetap dapat disebut sebagai lembaga utama. MPR-lah yang berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi lowongan dalam jabatan tersebut.

Begitu pula dengan BPK, dalam kaitannya dengan persoalan pengawasan terhadap kebijakan negara dan pelaksanaan hukum, kedudukan dan peranannya juga sangat penting. Karena itu, dalam konteks tertentu, BPK juga kadangkala dapat disebut sebagai lembaga negara yang juga mempunyai fungsi utama (main organ).

Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal pula adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Namun, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bernama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, sehingga kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, pencantuman ketentuan tentang kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum.

Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai Kepolisian Negara dalam UUD 1945 juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga kepolisian negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya kekuasaan suatu lembaga dalam undang-undang dasar tidak serta merta menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya, lembaga (tinggi) negara yang dapat dikatakan bersifat pokok atau utama adalah:

  1. Presiden;
  2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
  3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
  4. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
  5. Mahkamah Konstitusi (MK);
  6. Mahkamah Agung (MA);
  7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Lembaga-lembaga tersebut di atas dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sedangkan lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.

Oleh sebab itu, seperti hubungan antara Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA), faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi penentu yang pokok. Meskipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan protokolernya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga, Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara struktural dengan organisasi Polri dan Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu bersifat independen dan atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat.

Yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah lembaga-lembaga tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wakil Presiden, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan.

Misalnya, untuk menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya kewenangan MA dan MK ditentukan dalam UUD 1945. Karena, kewenangan TNI dan Polri juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan Polri dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas. TNI dan Polri tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan Presiden dan Wakil Presiden, meskipun kewenangan TNI dan Polri ditentukan tegas dalam UUD 1945.

Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat dikatakan berada di bawah Polri dan TNI hanya karena kewenangan kedua lembaga terakhir ini diatur dalam UUD 1945.

Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD, melainkan hanya ditentukan oleh undang-undang. Namun, kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan Polri. Oleh sebab itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga tersebut tidak otomatis menentukan status hukumnya dalam hirarkis susunan antara lembaga negara.

Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa meskipun ada perbedaan dalam pengaturan kewenangan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, semua lembaga tersebut memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan penegakan hukum di Indonesia. Struktur dan hirarki lembaga negara harus dipahami dalam konteks fungsional dan konstitusional, bukan hanya berdasarkan pada ketentuan yang tertulis dalam undang-undang dasar atau undang-undang.

Referensi

  1. ^ Sebelum Perubahan Keempat tahun 2002, ketentuan Pasal 16 ini berisi 2 ayat dan ditempatkan dalam Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung.” Artinya, Dewan Pertimbangan Agung bukan bagian dari “Kekuasaan Pemerintahan Negara,” melainkan sebagai lembaga tinggi negara yang berdiri sendiri.
  2. ^ Di setiap tingkatan pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota, dapat dibedakan adanya tiga subjek hukum, yaitu: (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Kepala Pemerintah Daerah; dan (iii) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jika disebut “Pemerintahan,” maka yang dilihat adalah subjek pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan. Kepala eksekutif disebut sebagai Kepala Pemerintah Daerah, bukan “kepala pemerintahan daerah.” Sedangkan badan legislatif daerah dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  3. ^ Dalam rancangan perubahan UUD, semula tercantum pengaturan mengenai Kejaksaan Agung. Akan tetapi, karena tidak mendapatkan kesepakatan, maka sebagai gantinya disepakatilah rumusan Pasal 24 ayat (3) tersebut. Karena itu, perkataan “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman” dalam ketentuan tersebut dapat ditafsirkan salah satunya adalah Kejaksaan Agung. Di samping itu, sesuai dengan amanat undang-undang, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) juga dapat disebut sebagai contoh lain mengenai badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.