Daftar pemilihan umum legislatif daerah di Indonesia 1957–1958Pemilihan umum legislatif daerah di Indonesia 1957–1958 (biasa dikenal dengan Pemilulada 1957–1958, pemilu 1957–1958, pemilu daerah 1957–1958, pemilu lokal 1957–1958, dan pemilu regional 1957–1958) adalah pemilihan umum Indonesia (pemilihan lokal) yang digelar dan diadakan secara bertahap di beberapa daerah di Indonesia—khususnya di Jawa, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan pada tahun 1957–1958 untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Tingkat I/DPRP) untuk tingkat provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Tingkat II/DPRK) untuk tingkat kabupaten/kota. Pemilu ini merupakan pemilu kedua yang pernah diadakan sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri, dan pada saat pemungutan suara kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja. Pemilu ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif. Beberapa daerah mengalami ketidakstabilan seperti Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Tengah pimpinan Syafruddin Prawiranegara, dan Pemberontakan Permesta (Perdjuangan Rakjat Semesta) di Sulawesi pimpinan Ventje Sumual. Partai Komunis Indonesia (PKI) muncul sebagai partai terbesar di Jawa, menjadi satu-satunya partai besar yang meningkatkan hasilnya dibandingkan dengan pemilihan umum tahun 1955. Penampilan kuat PKI memperparah kegelisahan politik di luar Jawa karena banyak yang khawatir bahwa PKI dapat mendominasi pemilihan umum berikutnya yang dijadwalkan pada tahun 1959. Hal ini mengakibatkan pembatalannya oleh Angkatan Darat Indonesia, dengan dukungan Presiden Soekarno, dan langkah selanjutnya menuju demokrasi terpimpin. Latar belakangPada tahun 1956, majelis-majelis daerah transisi dibentuk, dengan komposisi yang sesuai dengan perolehan suara partai dalam pemilihan umum tahun 1955. Tahun berikutnya, UU No. 1/1957 menetapkan tiga tingkat pemerintahan daerah – provinsi, kabupaten dan desa. Pemerintah provinsi dan kabupaten yang dipilih secara langsung akan memilih seorang eksekutif daerah, Dewan Pemerintah Daerah (DPD), yang akan memiliki komposisi yang sejalan dengan perolehan suara partai-partai lokal. Ketua DPD akan menjadi seorang eksekutif daerah, dan harus disetujui oleh pemerintah di Jakarta. Akan ada otonomi daerah yang luas, yang berarti dan sangat meningkatkan pengaruh bagi partai-partai politik.[1] Karena pemberontakan daerah yang sedang berlangsung , pemilihan umum hanya dapat diadakan di Jawa, Sumatera Selatan dan Riau (dan Kalimantan pada tahun 1958).[2] KonteksPemilihan umum (Pemilu) ini merupakan pemilihan umum legislatif daerah (Pemiluda) yang digelar secara serentak di beberapa daerah di Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi/DPRP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota/DPRK). Jika pemilu 1955 diselenggarakan untuk memilih anggota DPR RI pertama dan anggota Konstituante pertama, maka pemilu 1957–1958 diselenggarakan untuk memilih anggota DPRD Provinsi pertama dan DPRD Kabupaten/Kota pertama. Pada saat itu, UU Pemilihan Kepala Daerah masih dalam proses penyusunan, untuk sementara waktu kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Meskipun dibayang-bayangi kondisi politik yang tidak menentu sebagai akibat menguatnya konflik kedaerahan dan darurat militer, secara umum pemilihan umum legislatif daerah dapat terselenggara dengan baik. Undang-Undang No. 19 Tahun 1956 yang diundangkan pada saat itu menginstruksikan diadakannya pemilihan anggota DPRD untuk menggantikan DPRD peralihan yang untuk sementara waktu diangkat oleh Pemerintah karena pemilihan umum belum dapat dilaksanakan.[3] Sebenarnya UU No. 1 Tahun 1957 juga menyiratkan pemilihan kepala daerah oleh rakyat daerah karena kepala daerah dianggap sebagai tokoh yang dekat dengan dan dikenal oleh masyarakat, tetapi aturan yang mengatur pemilihan kepala daerah tidak pernah dirampungkan hingga pemilu daerah 1957–1958 berlangsung.[4] Pemungutan suara dilaksanakan secara bertahap antara Juni 1957 hingga Januari 1958. Karena pemberontakan daerah yang sedang berlangsung di beberapa daerah di Indonesia, maka pemilihan umum hanya dapat diadakan di beberapa daerah saja. Daerah yang melaksanakan pemilihan DPRD Provinsi adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di tahun 1957 dan Kalimantan di tahun 1958. Sedangkan daerah yang melaksanakan pemilihan DPRD Kabupaten/Kota adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Riau di tahun 1957 dan Kalimantan di tahun 1958.[5] Hasil akhir dari keseluruhan rangkaian pemilihan umum legislatif daerah itu mendapuk Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai tersukses. Sebagaimana dicatat Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2009, hlm. 257) PKI dengan mengesankan berhasil menambah perolehan suaranya hingga 27 persen dibanding dengan perolehan Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955 yang sebesar 16,4 persen. Hasil dari pemilihan-pemilihan tersebut menunjukkan kenaikan pada suara Partai Komunis Indonesia (PKI) dibandingkan pada pemilu 1955, sementara suara Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) mengalami penurunan.[5] Berbanding terbalik dengan PKI, perolehan suara tiga partai besar lainnya justru turun. Greg Fealy mencatat, suara Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU)—di Pemilu 1955 masing-masing meraup suara 20,9 persen dan 18,4 persen—turun dengan persentase hampir sama, 7 persen. Sementara Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebelumnya meraup 22,3 persen justru terpuruk dengan persentase penurunan suara hingga 20,8 persen. Sesuai dengan ketentuan UU No. 1/1957, DPRD Tingkat I (DPRD Provinsi) dan DPRD Tingkat II (DPRD Kabupaten/Kota) yang terbentuk kemudian berwenang memilih kepala daerahnya masing-masing.[5] Setelah DPRD yang baru telah terbentuk, mereka memilih kepala daerah untuk daerah masing-masing.[4] KampanyeKecuali untuk PKI, kampanye tersebut agak kurang bersemangat, sebagian karena isu utama saat itu adalah pemberontakan daerah. Karena jelas bahwa pemilihan daerah tidak akan menyelesaikan masalah ini, maka pemilihan daerah dianggap tidak relevan. Ada pula pembatasan terhadap kegiatan partai karena Indonesia saat itu berada di bawah darurat militer, yang telah diumumkan pada pertengahan Maret 1957. Di Jawa Timur, misalnya, militer hanya mengizinkan kampanye selama empat hari. Rapat umum dan demonstrasi dipantau.[2][6] Selain itu, partai-partai telah menghabiskan jumlah yang signifikan pada pemilihan umum 1955, dan beberapa harus bergantung pada dana yang tersisa. PKI satu-satunya partai dengan banyak dana. Partai-partai berfokus pada daerah-daerah di mana mereka telah melakukannya dengan baik pada tahun 1955, sehingga Masjumi memusatkan upaya mereka di Jakarta, dan Jawa Barat, Nahdlatul Ulama di Jawa Timur dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di seluruh Jawa. Karena PKI tidak pernah bertugas di kabinet, itu luput dari kesalahan atas kekurangan pemerintah. Partai menggunakan slogan yang mendesak orang untuk memilih PKI "untuk melaksanakan Konsepsi", yang berarti konsep Presiden Soekarno tentang pemerintahan inklusif yang mencapai semua keputusan melalui konsensus. Kaum komunis juga menyerang partai-partai lain karena korupsi mereka. Pihak berwenang menangkap pejabat senior PNI, Masjumi dan NU karena korupsi, tetapi tidak ada tokoh PKI. PKI berkampanye untuk memberikan tanah kepada orang miskin, tetapi partai-partai lain tidak dapat melawan ini karena kadang-kadang tanah itu milik para pemimpin atau pendukung keuangan mereka. Dari tanggal 6–11 Mei, kepala negara Soviet Voroshilov melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, dan bendera-bendera Soviet dipajang secara luas, yang mungkin membantu kampanye PKI.[7][8] Hasil pemilu tingkat provinsi![]() Hasil di Pulau Jawa
Hasil di Pulau Kalimantan
Hasil pemilu tingkat kabupaten/kota![]() Data tidak ditemukan Tidak dilaksanakan pemilu daerah Hasil di Pulau Jawa![]() Hasil di Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil di Provinsi Jawa Barat![]()
Hasil di Provinsi Jawa Tengah
Hasil di Provinsi Jawa Timur
Hasil di Pulau SumatraHasil di Provinsi Sumatera Selatan
Hasil di Provinsi Sumatera Tengah
Hasil di Pulau KalimantanHasil di Provinsi Kalimantan Barat
Hasil di Provinsi Kalimantan Tengah
Hasil di Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil di Provinsi Kalimantan Timur
Akibat![]() Suara PKI yang besar mendorong pemimpin partai D. N. Aidit untuk mengklaim bahwa ini adalah peningkatan sebesar 45 persen dibandingkan dengan suara pemilu 1955.[22] PKI kemudian mampu menguasai dewan-dewan daerah di Jawa dan memastikan penunjukan beberapa komunis sebagai wali kota. Hasil tersebut membuat para pembangkang di luar Jawa lebih curiga terhadap Jawa, dan ketakutan akan dominasi Jawa di pulau-pulau terluar menjadi bercampur dengan kekhawatiran tentang komunisme. Hal ini membuat lebih sulit untuk menemukan solusi atas perselisihan tersebut. Hal ini juga memperkuat tekad para pemimpin Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI, dan memaksa partai-partai lain untuk berpikir serius tentang mengapa PKI mendapatkan popularitas, dan mereka tidak.[23][24] Tampaknya dukungan PKI akan terus meningkat, dan dukungan partai-partai lain akan semakin menurun. Karena tidak ada anggota PKI yang duduk di kabinet, partai tersebut tidak dapat disalahkan atas kegagalan dan korupsi pemerintah.[25] Partai-partai ini percaya bahwa mereka tidak akan mampu memperbaiki hal ini sebelum pemilihan umum yang akan diadakan pada tahun 1959, dan karena itu tidak ingin pemilihan umum ini terus berlanjut.[26] Karena khawatir dengan hasilnya, para pemimpin daerah mengadakan konferensi nasional pada bulan September untuk menyelaraskan hubungan antara mereka dan pemerintah pusat. Para delegasi menyerukan pemulihan kepemimpinan Soekarno-Hatta, pembentukan senat dan pelarangan PKI. Namun, tidak satu pun dari tuntutan ini dipenuhi.[27] Pada bulan Mei 1958, tentara menggunakan kekuasaan daruratnya untuk membatalkan pemilihan umum 1959, dengan dukungan Soekarno, yang sangat ingin bergerak menuju sistem demokrasi terpimpinnya.[22] Catatan
Referensi
|