Di Bangladesh terjadi persaingan ekonomi yang dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja yang berlebihan. Para pekerja bekerja di industri padat karya seperti tekstil, garmen dan sepatu. Dalam industri padat karya, upah buruh lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk bisnis yang lain. Bangladesh mencegah terjadinya krisis ekonomi setelah tahun 1998 dengan mempertahankan lapangan pekerjaan yang telah ada. Usaha untuk menciptakan lapangan kerja tidak diutamakan oleh pemerintah. Penerimaan dan pemecatan buruh menjadi tidak ketat disertai dengan penghapusan aturan upah minimum.[4]
Covid-19
Bangladesh sedang mengalami krisis ekonomi di sektor perbankan ketika COVID-19 mulai menyebar di dalam negaranya. Krisis ekonomi Bangladesh meliputi krisis likuiditas, akumulasi substansial dari pinjaman bermasalah, dan inefisiensi operasional. COVID-19 menyebabkan penurunan nilai kredit dan deposito sistem perbankan yang sebelumnya dalam tahap pemulihan. Nilai kredit menurun1,28% dan Dana Pihak Ketiga menurun 1,53% terhitung Desember 2019 dan Januari 2020. Bursa efek Dhaka dalam pasar modal Bangladesh juga menurun hingga ke level terendah 4.068 poin pada Januari 2020. Pada Januari 2019, nilainya adalah 5.952 poin teratas.[5]