Ekonomi Bahrain

Ekonomi Bahrain bersifat ekonomi pasar terbuka. Pemerintah Bahrain telah mengubah pembangunan ekonomi di Bahraian dari industri minyak dan gas beralih ke industri jasa. Bidang ekonomi yang dijadikan sebagai kegiatan sekaligus sumber ekonomi adalah keuangan, perbankan, asuransi, konstruksi, pariwisata dan manufaktur. Perubahan kebijakan ekonomi Bahrain dimulai sejak tahun 2000 dengan perkembangan yang positif. Ekonomi Bahrain tergolong stabil. Dari tahun 2000 hingga tahun 2008, produk domestik bruto di Bahrain mengalami pertumbuhan rata-rata 6,5% per tahun. Masyarakatnya hidup dengan pendapatan per kapita sebesar US$. 29.873. Tingkat inflasi mencapai 3,4% dengan peredaran investasi asing langsung sebesar US$ 2,9 milyar. Perekonomian Bahrain merupakan yang tertinggi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Komoditas utama yang menjadi sumber ekonomi Bahrain adalah minyak, aluminium dan tekstil. Ekonomi Bahrain meningkat melalui kegiatan ekspor komoditas tersebut. Dalam kegiatan ekspor, Bahrain bekerja sama dengan Arab Saudi, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab. Bahrain juga melakukan kegiatan impor berupa minyak bumi, mesin dan bahan kimia. Kerja sama impor diadakan dengan negara Arab Saudi, Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Uni Emirat Arab dan Tiongkok. Kerja sama terbesar Bahrain dalam bidang ekonomi diadakan dengan Arab Saudi. Bahrain mengalami hambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 akibat krisis ekonomi global. Selain itu terjadi defisit akibat penurunan harga minyak dan sulitnya mencari kredit internasional dan dana pembiayaan proyek-proyek non-minyak selama krisis ekonomi global.[1]

Sejarah

Masa Monopoli Inggris (Abad ke-19 dan ke-20 Masehi)

Pada awal abad ke-19 Masehi, Bahrain merupakan sebuah wilayah kecil di Teluk Persia yang berada dalam kekuasaan Kesultanan Ustmaniyah. Pemerintah pusat dari Kesultananan Ustmaniyah kurang memperhatikan wilayah kekuasannya di kawasan ini, termasuk Bahrain. Dampaknya, Inggris menguasai wilayah pesisir Teluk Persia. Oman, Yaman, Kesultanan Masqat, Qatar, Bahrain dan Kuwait menjadi negara otonomi dengan status protektorat Inggris. Jaminan keamanan diberikan oleh Inggris kepada negara-negara Teluk Persia yang merdeka. Pernyataan pengawasan keamanan oleh Inggris ditandatangi oleh para Syekh dalam kurun tahun 1820an. Dampak dari pernyataan tersebut menyebabkan negara-negara di Teluk Persia termasuk Bahrain harus memberikan kebebasan dagang kepada Inggris di wilayahnya. Inggris kemudian mendapatkan keuntungan besar melalui monopoli perdagangan di kawasan ini. Monopoli ini berlangsung hingga negara-negara di Teluk Persia menyatakan kemerdekaan sejak tahun 1961. Setelah merdeka, negara-negara Teluk Persia termasuk Bahrain masih mengadakan kegiatan perdagangan sebagai kegiatan ekonomi yang utama.[2]

Kerja sama

Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk

Bahrain telah bergabung dalam Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk. Dewan ini merupakan aliansi politik dan ekonomi dari enam negara Timur Tengah yaitu Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Oman. Aliansi ini terbentuk di Riyadh pada bulan Mei 1981. Tujuan utama pembentukannya adalah untuk mencapai persatuan di antara anggotanya berdasarkan tujuan bersama mereka. Pembentukan dewan ini dilandasi oleh kesamaan identitas politik dan budaya. Semua negara anggotanya merupakan negara Islam.[3]

Dalam Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk, Bahrain juga telah mengadakan dan menyetujui penyatuan mata uang. Upaya pembuatan mata uang bersama ini telah diadakan pada pertemuan dua hari tanggal 14 dan 15 Desember 2009 di Kuwait. Masing-masing negara anggota akan mendirikan bank sentral untuk menangani mata uang bersama ini. Dalam prosesnya, Bahrain telah memberikan kepastian mengenai ratifikasi pakta dan persetujuan secara resmi.[4]

Semua anggota Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk merupakan negara dengan sistem pemerintahan kerajaan. Arab Saudi mengusulkan perubahan nama dan arah kerja sama Dewan Kerjasama Teluk pada tahun 2011. Selain kerjasama ekonomi dan politik, dewan ini akan mengadakan kerjasama militer. Namanya pun diusulkan diubah menjadi Persatuan Teluk. Tujuan baru yang diusulkan adalah menandingi kekuatan dan pengaruh Iran dalam kawasan tersebut. Bahrain turut memberikan dukungan dalam usulan tersebut.[5]

Referensi

  1. ^ "Embassy of The Republic if Indonesia in Manama, in Kingdom of Bahrain". Kementerian Luar Negeri Repulik Indonesia. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 
  2. ^ Latifah, N.A. dan Mulyono J. (2019). "Timur Tengah dan Ekonomi Syariah: Studi Empiris Terhadap Perkembangan Ekonomi Syariah di Timur Tengah". Al-Falah: Journal of Islamic Economics. 4 (1): 73–74. doi:10.29240/alfalah.v4i1.591. 
  3. ^ Pusat Kebijakan Kerjasama Internasional (2015). Laporan Akhir: Analisis Potensi Perdagangan Indonesia di Kawasan Timur Tengah dan Afrika (PDF). Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-08-03. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  4. ^ Falahi, Ziyad (2012). "Prospek Regionalisme Timur-Tengah Pasca-Arab Spring: Telaah terhadap Identitas Kolektif Liga Arab". Jurnal Kajian Wilayah. 3 (2): 194. ISSN 2087-2119. 
  5. ^ Paryadi, Deky (2018). "Dampak Kerja Sama Perdagangan Indonesia dengan Negara Gulf Cooperation Council (GCC)". Kajian Ekonomi & Keuangan. 2 (3): 211. doi:10.31685/kek.v2i3.378.