Ekonomi Qatar dibangun atas pemikiran ekonomi modern. Berbagai kebijakan ekonomi mengutamakan prinsip modernitas sejak masa pemerintahan Hamad bin Khalifa al-Tsani.[1] Dalam bidang ekonomi, Qatar bekerja sama khususnya dengan Iran di bidang pertambangan gas pada ladang gas bersama yang dibagi oleh kedua negara.[2] Dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi, Qatar merupakan salah satu negara yang menerapkan ekonomi syariah.[3] Ekonomi Qatar didukung oleh perdagangan internasional di bidang tenaga kerja dan modal. Qatar mengembangkan sektor properti menggunakan jasa konstruksi dan tenaga kerja yang berasal dari Afrika dan Asia.[4] Pertumbuhan ekonomi Qatar sangat pesat setelah melakukan investasi skala sangat besar dalam bidang gas alam cair. Pertumbuhan ekonomi Qatar dipengaruhi oleh Qatar Foundation yang juga mendukung kegiatan sosial dan pendidikan. Qatar merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki produk domestik bruto tertinggi di dunia ($ 93.990). Selain itu, persentase pengangguran di Qatar hampir mendekati 0%. Ekonomi Qatar yang tergolong makmur menjadi penentu utama dalam kebijakan luar negeri Qatar terkait serangan militer di kawasan Timur Tengah.[5]
Sejarah
Masa Monopoli Inggris (Abad ke-19 dan ke-20 Masehi)
Pada awal abad ke-19 Masehi, Qatar merupakan sebuah wilayah kecil di Teluk Persia yang berada dalam kekuasaan Kesultanan Ustmaniyah. Pemerintah pusat dari Kesultananan Ustmaniyah kurang memperhatikan wilayah kekuasannya di kawasan ini, termasuk Qatar. Dampaknya, Inggris menguasai wilayah pesisir Teluk Persia. Oman, Yaman, Kesultanan Masqat, Qatar, Bahrain dan Kuwait menjadi negara otonom dengan status protektorat Inggris. Jaminan keamanan diberikan oleh Inggris kepada negara-negara Teluk Persia yang merdeka. Pernyataan pengawasan keamanan oleh Inggris ditandatangi oleh para Syeikh dalam kurun beberapa dekade secara bertahap. Qatar adalah yang terakhir menandatangi pernyataan tersebut di tahun 1916. Dampak dari pernyataan tersebut menyebabkan negara-negara di Teluk Persia termasuk Qatar harus memberikan kebebasan dagang kepada Inggris di wilayahnya. Inggris kemudian mendapatkan keuntungan besar melalui monopoli perdagangan di kawasan ini. Monopoli ini berlangsung hingga negara-negara di Teluk Persia menyatakan kemerdekaan sejak tahun 1961. Setelah merdeka, negara-negara Teluk Persia termasuk Qatar masih mengadakan kegiatan perdagangan sebagai kegiatan ekonomi yang utama.[6]
Kerja sama
Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk
Qatar telah bergabung dalam Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk. Dewan ini merupakan aliansi politik dan ekonomi dari enam negara Timur Tengah yaitu Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Oman. Aliansi ini terbentuk di Riyadh pada bulan Mei 1981. Tujuan utama pembentukannya adalah untuk mencapai persatuan di antara anggotanya berdasarkan tujuan bersama mereka. Pembentukan dewan ini dilandasi oleh kesamaan identitas politik dan budaya. Semua negara anggotanya merupakan negara Islam.[7]
Dalam Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk, Qatar juga telah mengadakan dan menyetujui penyatuan mata uang. Upaya pembuatan mata uang bersama ini telah diadakan pada pertemuan dua hari tanggal 14 dan 15 Desember 2009 di Kuwait. Masing-masing negara anggota akan mendirikan bank sentral untuk menangani mata uang bersama ini. Dalam prosesnya, Qatar telah memberikan kepastian mengenai ratifikasi pakta dan persetujuan secara resmi.[8]
Semua anggota Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk merupakan negara dengan sistem pemerintahan kerajaan. Arab Saudi mengusulkan perubahan nama dan arah kerja sama Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk pada tahun 2011. Selain kerjasama ekonomi dan politik, dewan ini akan mengadakan kerjasama militer. Namanya pun diusulkan diubah menjadi Persatuan Teluk. Tujuan baru yang diusulkan adalah menandingi kekuatan dan pengaruh Iran dalam kawasan tersebut. Qatar turut memberikan dukungan dalam usulan tersebut.[9]
Referensi
- ^ Wardoyo, Broto (2018). "Rivalitas Saudi-Qatar dan Skenario Krisis Teluk" (PDF). Jurnal Hubungan Internasional. 7 (1): 87. doi:10.18196/hi.71127.
- ^ Febriandi. "Kegagalan Diplomasi Koersif Arab Saudi terhadap Qatar". Indonesian Journal of International Relations. Indonesia Association for International Relations. 2 (1): 9. doi:10.32787/ijir.v2i1.40. ISSN 2548-4109. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-26. Diakses tanggal 2021-06-26.
- ^ Muljawan, dkk. (2020). Buku Pengayaan Pembelajaran Ekonomi Syariah untuk Sekolah Menengah Atas Kelas X (PDF). Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah, Bank Indonesia. hlm. 23.
- ^ M. Rondhi dan Joni Murti Mulyo Aji (2015). Ekonomi Mikro: Pendekatan Praktis dan Lugas (PDF). Jember: UPT Penerbitan UNEJ. hlm. 31. ISBN 978-602-9030-24-2.
- ^ "LIPI Rilis Hasil Penelitian tentang Qatar dan Krisis Diplomatik di Timur Tengah". lipi.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-26.
- ^ Latifah, N.A. dan Mulyono J. (2019). "Timur Tengah dan Ekonomi Syariah: Studi Empiris Terhadap Perkembangan Ekonomi Syariah di Timur Tengah". Al-Falah: Journal of Islamic Economics. 4 (1): 73–74. doi:10.29240/alfalah.v4i1.591.
- ^ Pusat Kebijakan Kerjasama Internasional (2015). Laporan Akhir: Analisis Potensi Perdagangan Indonesia di Kawasan Timur Tengah dan Afrika (PDF). Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-08-03. Diakses tanggal 2021-07-11.
- ^ Falahi, Ziyad (2012). "Prospek Regionalisme Timur-Tengah Pasca-Arab Spring: Telaah terhadap Identitas Kolektif Liga Arab". Jurnal Kajian Wilayah. 3 (2): 194. ISSN 2087-2119.
- ^ Paryadi, Deky (2018). "Dampak Kerja Sama Perdagangan Indonesia dengan Negara Gulf Cooperation Council (GCC)". Kajian Ekonomi & Keuangan. 2 (3): 211. doi:10.31685/kek.v2i3.378.