Hakkō ichiu![]()
Hakko Ichiu (八紘一宇 , Hakkō Ichiu, Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap) adalah slogan persaudaraan universal yang digunakan Jepang untuk menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. Slogan ini berasal dari kalimat "掩八紘而爲宇" dalam Nihon Shoki jilid 3 bab Kaisar Jimmu yang berarti "seluruh negeri bagaikan sebuah rumah". Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia diadakan pelatihan guru di Jakarta untuk mengindoktrinasi mereka dengan Hakko Ichiu. Para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah/kabupaten.[1] Hakko Ichiu dipakai Kekaisaran Jepang sebagai kebijakan nasional mulai dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua hingga Perang Dunia II. Pada 26 Juli 1940, Kabinet II Perdana Menteri Konoe Fumimaro menetapkan Doktrin Kebijakan Dasar Nasional (Kihon Kokusaku Yōkō) yang berisi keputusan mendirikan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Tujuan dasar dari Doktrin Kebijakan Dasar Nasional adalah "Mewujudkan perdamaian dunia sesuai dengan semangat agung pendirian negara, yakni delapan penjuru dunia di bawah satu atap sebagai kebijakan nasional Kekaisaran Jepang, dan sebagai langkah awal, pertama, menjadikan Kekaisaran Jepang sebagai inti persatuan yang kuat antara Jepang-Manchuria-Tiongkok untuk fondasi pendirian tatanan baru Asia Timur Raya." Di berbagai daerah di Jepang, Hakko Ichiu dipakai sebagai salah satu slogan untuk mewujudkan tatanan baru Asia Timur. Di Tokyo dibentuk Chōkoku Hōkōtai (Perkumpulan Pelayan Pendirian Negara) sebagai organisasi pelatihan dan penyuluhan konsep Hakko Ichiu, dan struktur pemerintah kota dimasukkan ke dalam struktur militer. Setelah Kapitulasi Jepang, Jepang berada di bawah pendudukan Komandan Tertinggi Sekutu. Berdasarkan memorandum yang dikeluarkan Komandan Tertinggi Sekutu tentang "penghapusan sponsor pemerintah, dukungan, pelestarian, pengawasan, dan penyebaran Shinto agama negara", slogan-slogan yang berkaitan dengan nasionalisme radikal, militerisme, dan Shinto Negara dilarang untuk dipakai lagi.[2] Dalam kamus besar bahasa Jepang zaman sekarang, Hakko Ichiu dijelaskan sebagai "slogan yang dipakai untuk pembenaran agresi Jepang ke luar negeri selama Perang Dunia II."[3][4][5] Heibonsha World Encyclopedia menjelaskannya sebagai "stereotip ultranasionalisme berupa doktrin bangsa sendiri sebagai ras tertinggi dan doktrin supremasi untuk melakukan opresi dan aneksasi terhadap bangsa lain yang diperluas hingga agresi oleh negara dan militer untuk mencapai tujuan tersebut, serta gerakan/ide untuk peng-ortodoks-an, penyatuan, dan mobilisasi rakyat."[6] TerminologiAsal muasaKata Hakko (八紘) berasal dari teks kuno Tiongkok "Liezi - Tangwen" dan Huainanzi. Awalnya arti dari kata tersebut adalah tempat yang jauh dari delapan arah namun kemudian artinya berkembang menjadi seluruh dunia.
Pengunaan awal juga dipakai oleh puisi-puisi karya Cao Zhi "Puisi tentang Panas Luar Biasa" dan "Surat untuk Yang Dezu":[8]
Ekspresi yang sama juga tertampak dipakai di catatan sejarah seperti Kitab Han Akhir dan Kitab Jin. Sebagai contoh, dalam bab yang menceritakan kaisar pertama Jin Sima Yan, diceritakan bahwa setelah menaklukan Shu dan Wu dan menyatukan Tiongkok sebagai Dinasti Jin, ia berkata "Delapan penjuru dunia sudah bersatu". Nihon ShokiKata ini menjadi terkenal di Jepang melalui "dekrit" (yang disebut Dekrit untuk Menetapkan Ibu Kota di Kashihara) dalam jilid ketiga "Nihon Shoki", entri untuk tahun Kimihi, tahun sebelum Kaisar Jimmu naik takhta.
Kuil Kashihara yang mengabadikan Kaisar Jimmu, yang dianggap sebagai kaisar pertama dalam Kojiki dan Nihon Shoki, menafsirkan maknanya sebagai berikut:
Penafsiran moderenIstilah ini dicetuskan pada awal abad ke-20 oleh aktivis Buddhisme Nichiren dan nasionalisme Tanaka Chigaku yang menyusunnya dari bagian-bagian pernyataan yang dikaitkan dalam kronik Nihon Shoki kepada Kaisar pertama legendaris Jimmu pada saat ia naik takhta. Pernyataan lengkap kaisar berbunyi: "Hakkō wo ooute ie to nasan" (八紘を掩うて宇と為さん) (dalam kanbun asli: 掩八紘而爲宇), dan berarti: "Aku akan meliputi delapan penjuru dan menjadikannya tempat tinggalku". Istilah hakkō (八紘), yang berarti "delapan tali mahkota" ("tali mahkota" menjadi hiasan gantung benkan (冕冠), mahkota gaya tradisional Tiongkok), merupakan metafora untuk happō (八方), atau "delapan arah".[9] Meskipun makna aslinya bersifat universalis, berdasarkan prinsip "ichi soku issai, issai soku ichi (satu tak terpisahkan dari keseluruhan dan sebaliknya)", Tanaka menafsirkannya sebagai pembenaran imperialisme. Untuk menghentikan penyebaran penafsiran ulang imperialis ini, Koyama Iwao (1905–1993), murid Nishida, yang mengambil inspirasi dari Sutra Hiasan Bunga, mengusulkan untuk mengganti dua karakter terakhir ("menjadikan mereka tempat tinggalku") dengan kata-kata "diikutsertakan atau menemukan tempat"). Langkah tersebut ditolak oleh kalangan militer sayap kanan nasionalis.[10][11] Latar belakang![]() Terdapat cukup banyak orang Jepang di negara-negara Barat yang mengalami masalah diskriminasi rasial sehingga pada tahun 1919, Jepang mengusulkan klausul kesetaraan ras pada Konferensi Perdamaian Paris. Proposal tersebut, yang dimaksudkan hanya berlaku untuk anggota Liga Bangsa-Bangsa,[12] yang mendapatkan dukungan yang cukup besar dari sebagian besar pihak, diveto oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson yang melanggar aturan Konferensi yang memperbolehkan suara mayoritas. Pada tahun 1924, Kongres AS memberlakukan Undang-Undang Pengecualian Asia, yang melarang imigrasi dari Asia. Diperparah dengan krisis keuangan Showa dan Depresi Besar pada 1930an, yang menyebabkan sentimen nasionalisme, militerisme dan ekspansionisme meningkat, Kaisar Hirohito dan masa awal pemerintahannya dikenal melekat dengan penemuan kembali gagasan hakko ichiu sebagai elemen ekspansionisme dalam kepercayaan nasionalisme Jepang.[13] Trakat-trakat pelucutan angkatan laut yang ditandatangan pada 1921 dan terutama 1930 dipandang sebagai sebuah dosa negara dalam dampak yang tidak terduga pada pertikaian politik internal di Jepang, dan perjanjian-perjanjian tersebut memberikan katalis motivasi eksternal yang memprovokasi elemen-elemen militeris reaksioner untuk melakukan tindakan-tindakan putus asa, dengan kehadiran mereka melampaui elemen-elemen sipil dan liberal dalam masyarakat.[14] Evolusi hakkō ichiu berfungsi sebagai ujian lakmus yang mengubah hubungan faksional selama dekade berikutnya.[15] PerkembanganPasca Perang Dunia IILarangan dari Markas Panglima Besar SekutuSetelah perang, Panglima Tertinggi Sekutu mengeluarkan "Direksi Shinto" pada 22 Desember 1945. Arahan tersebut menyerukan penghapusan segera “ideologi” yang telah menyebabkan kejahatan perang, kekalahan, penderitaan, kesulitan, dan situasi buruk saat ini untuk membebaskan rakyat Jepang.[16] Istilah "Hakko Ichiu" dilarang dari dokumen resmi, bersama dengan istilah lain seperti "Perang Asia Timur Raya" karena tidak dapat dipisahkan dari Shinto Negara, militerisme, dan ultranasionalisme.[17][18] Lihat pula
Referensi
Pranala luar |