Militerisme
Militerisme adalah kepercayaan atau keinginan suatu pemerintahan atau rakyat bahwa suatu negara harus mempertahankan kemampuan militer yang kuat dan menggunakannya secara agresif untuk memperluas kepentingan dan/atau nilai-nilai nasional. Hal ini juga dapat menyiratkan pemuliaan militer dan cita-cita kelas militer profesional dan "dominasi angkatan bersenjata dalam administrasi atau kebijakan negara" (lihat juga: stratokrasi dan junta militer). Dalam Militerisme, suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militer, serta mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya adalah tujuan terpenting dari masyarakat.[1] Sistem ini memberikan kedudukan yang lebih utama kepada pertimbangan-pertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan politik lainnya.[2] Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa. Kebijakan tersebut menyebabkan militerisasi di dalam masyarakat.[3] Pengaruh dan kekuatan militer sangat diperhitungkan di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dalam bidang sipil sekalipun.[2] Pengaruh-pengaruh ini sangat jelas dalam sejarah berbagai pemerintah, khususnya ketika mereka terlibat di dalam ekspansionisme, misalnya Kekaisaran Jepang, Britania Raya, Jerman Nazi, Kerajaan Italia di bawah Mussolini, ekspansi Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia dalam Perang Saudara Rusia sehingga menjadi Uni Republik Sosialis Soviet dan pemerintahan Stalin yang belakangan, Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein, dan Amerika Serikat pada masa Manifest Destiny dan pembaharuan tentaranya. Secara ideologis militerisme terdiri atas supremasi, loyalisme, ekstremisme, proteksionisme-darurat, dan ultranasionalisme atau bentuknya yang lebih sempit yaitu patriotisme.[4] Dengan pembenaran terhadap penerapan kekerasan, militerisme menekankan bahwa penduduk sipil tergantung - dan karenanya berada dalam posisi yang lebih rendah - pada kebutuhan dan tujuan-tujuan militernya. Doktrin yang umumnya dikembangkan adalah perdamaian melalui kekuatan.[5] Hal ini dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengamankan kepentingan-kepentingan masyarakat. Doktrin ini diwujudkan sebagai doktrin yang lebih unggul daripada semua pemikiran lainnya, termasuk pengutamaan hubungan-hubungan diplomatik dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial.[2] Militerisme kadang-kadang dikontraskan dengan konsep mengenai kekuatan nasional yang komprehensif dan kekuatan lembut (soft power) dan kekuatan keras (hard power). Pemikiran ini dapat dilihat dari segi ekonomi melalui beberapa cara, antara lain bagaimana negara-negara yang memiliki militer yang modern membutuhkan anggaran yang besar atau relatif lebih besar daripada bangsa-bangsa lain umumnya untuk mempertahankan kekuatan militer yang besar (pada tahun 2005 misalnya Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang) atau meningkatkan kekuatan militernya (pada tahun 2005 misalnya Israel, Kuwait, Singapura). Negara-negara tertentu juga menganggarkan dana yang besar dari PDB-nya per kapita untuk mengembangkan militernya (pada tahun 2005 misalnya Korea Utara, Guinea Ekuatorial, Arab Saudi). Dalam sebuah republik yang demokratis, komponen utama dari konstitusinya adalah aturan-aturan mengenai bagaimana kekuasaan militer (undang-undang darurat, kekuasaan eksekutif) dapat diterapkan, dan bagaimana kekuasaan tersebut harus dikembalikan kepada pemerintahan yang terpilih. Perwujudan militerisme dalam sejarah dan pada masa modernMiliterisme cenderung dianggap sebagai kebalikan dari gerakan perdamaian pada masa modern. Pada masa kini ciri-ciri militerisme diamati oleh para kritikus di beberapa negara dan kelompok negara, misalnya, kekuatan aliansi kendur Anglo Saxon yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Australia, Tiongkok, Prancis, Israel, Suriah, dan Federasi Rusia. Militerisme nasional dan imperialMiliterisme JermanDaerah yang dipengaruhi oleh nasionalisme Jerman, yang diwarisi dari Kerajaan Prusia sebelum penyatuan, termasuk dalam beberapa segi Konfederasi Jerman Utara, Austria, dan beberapa faksi Nordik. Sistem ini menyebabkan beberapa konsekuensi. Karena kelas perwira juga menyediakan sebagian besar pejabat untuk administrasi sipil negara, kepentingan tentara dianggap identik dengan kepentingan negara secara keseluruhan. [rujukan?] Pada tahun 1900-an, monarki militan sangat berkembang, mengumpulkan basis penggemar di Amerika Serikat. Wilhelm II memerintahkan pengawal istananya mengenakan 37 seragam yang berbeda, termasuk satu yang meniru aksesori yang dikenakan oleh Frederick Agung. Wilhelm II tampak tertipu tentang cacat fisiknya, termasuk lengannya yang layu. Dia telah memecat Otto von Bismarck pada tahun 1890 dan memperoleh kekuasaan yang hampir absolut tetapi harus menerima Erich Ludendorff sebagai pembuat kebijakan utama. Jenderal Angkatan Darat Ludendorff diangkat menjadi direktur Reich pada tahun 1917 dan menjalankan kekuasaan konstitusional Wilhelm II. Nasionalisme ini menjadi dasar bagi militerisme Jerman sebelum dan pada masa kedua perang dunia. Ideologi ini tidak mendapatkan dukungan besar dalam Jerman yang dipersatukan kembali hingga sekarang. Militerisme JepangSejajar dengan militerisme Jerman pada abad ke-20, militerisme Jepang dimulai dengan serangkaian kejadian yang memberikan kesempatan kepaa militer untuk mendikte urusan-urusan pemerintahan Jepang. Dengan kekuatan diktatorial ini, Jepang menyerang Tiongkok pada 1932 dan menguasai separuh dari wilayah Tiongkok dalam kampanye militer selama 11 tahun. Ekspansionism ini akhirnya memperluas Perang Dunia Kedua ke dalam Front Pasifik melalui Serangan Pearl Harbor. Militerisme ASPada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para pemimpin politik dan militer memperbaharui pemerintah AS untuk membangun suatu pemerintahan sentral yang lebih kuat daripada yang ada sebelumnya dengan maksud memampukan negara itu menerapkan kebijakan imperial di Pasifik dan di Karibia serta militerisme ekonomi untuk mendukung pengemangan ekonomi industri yang baru. Pembaharuan ini merupakan hasil dari konflik antara kaum Republikan Neo-Hamiltonian dan pendukung-pendukung Jeffersonian-Jacksonian mengenai administrasi pemerintahan yang semestinya dan arah kebijakan luar negerinya - antara penganjur-penganjur profesionalisme berdasarkan organisasi manajemen bisnis dan kontrol lokal yang lebih kuat melalui tokoh-tokoh yang ada - termasuk para pejabat yang kurang cakap. Pada akhir Perang Saudara Amerika, tentara nasional berada dalam keadaan yang hancur. Dilakukanlah pembaruan yang didasarkan pada berbagai negara Eropa, termasuk Imperium Britania Raya, Imperium Jerman, dan Swiss, sehingga pemerintah pusat akan lebih tanggap dalam kekuasaannya, siap dalam menghadapi konflik-konflik pada masa depan, dan mengembangkan struktur-struktur komando dan dukungan. Hal ini menyebabkan dikembangkannya militer yang profesional. Pada masa ini, ide-ide dari Darwinisme Sosial dan Injil Sosial mendorong dikembangkannya suatu Imperium Amerika di Pasifik, Karibia dan pemerintahan sentral yang meluas dan sefisien mungkin, karena tuntutan-tuntutan administrasinya. Perluasan tentara AS untuk Perang Spanyol-Amerika dianggap penting untuk pendudukan dan pengendalian wilayah-wilayah baru yang direbut dari Spanyol (Guam, Filipina, Puerto Riko). Batas tentara yang sebelumnya yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu berjumlah 24.000 pasukan, diperluas hingga 60.000 pasukan reguler di dalam undang-undang ketentaraan yang baru pada 2 Februari 1901, dengan kemungkinan perluasannya hingga 80.000 pasukan reguler bila presiden menganggap perlu pada masa darurat nasional. IrakSeperti negara tetangganya, Suriah, Irak telah menjadi negara yang sangat termiliterisasi selama beberapa dekade. Sejak pemerintahan Abd al-Karim Qasim hingga perebutan kekuasaan oleh Partai Ba'ath pada tahun 1968, pemerintah Irak telah menerapkan kebijakan militerisasi masyarakat. Abd al-Karim Qasim, yang merebut kekuasaan pada tahun 1958, adalah seorang nasionalis Irak dan Qasimis. Hal ini membawanya ke dalam konflik dengan negara-negara tetangganya, Kuwait dan Iran, yang wilayahnya ia klaim (dalam kasus Iran, hanya provinsi Khuzestan). Untuk melindungi ambisinya, Qasim membutuhkan pasukan yang kompeten, yang mampu ia bangun. Setelah berkuasa pada tahun 1968, Partai Ba'ath melanjutkan kebijakan militerisasi yang dimulai oleh para pendahulu mereka. Meskipun periode 1960 hingga 1980 berlangsung damai, pengeluaran untuk militer meningkat tiga kali lipat: pada tahun 1981, pengeluaran tersebut mencapai US$4,3 miliar dan hampir menyamai pendapatan nasional gabungan Yordania dan Yaman. Pengeluaran militer per kapita pada tahun 1981 370 persen lebih tinggi daripada pengeluaran untuk pendidikan. Selama Perang Iran-Irak, pengeluaran militer meningkat drastis (sementara pertumbuhan ekonomi menyusut) dan jumlah orang yang bekerja di militer meningkat lima kali lipat, menjadi satu juta. Pada tahun 1990, Irak telah menjadi negara dengan militerisasi per kapita tertinggi di dunia, dan berada di peringkat sepuluh besar dalam banyak hal. Namun, terlepas dari tingginya biaya militer (dibandingkan dengan kekuatan ekonomi Irak), jumlah tentara yang besar dan semua jenis senjata, serta industri militer dalam negeri yang sangat baik, efektivitasnya tetap dipertanyakan. Pada tahun 1991 dan 2003, pasukan ini benar-benar dikalahkan oleh pasukan musuh dan menderita kerugian yang sangat besar tanpa menimbulkan kerugian serius apa pun pada musuh. Militerisme dalam fiksiLihat pulaCatatan kaki
Referensi
Pranala luar
|