Kuil Yasukuni
Kuil Yasukuni (靖國神社 , Yasukuni Jinja; "kuil bangsa damai") adalah sebuah kuil Shinto di Chiyoda, Tokyo, Jepang. Kuil ini dibangun oleh Kaisar Meiji untuk mengenang orang yang meninggal dunia untuk Kekaisaran Jepang semasa Restorasi Meiji.[1] "Buku Jiwa" milik kuil ini mendaftar nama-nama, tempat lahir, dan tempat kematian 2.466.532 pria, wanita, dan anak-anak, mulai dari Perang Boshin 1867 hingga Perang Dunia II.[2] Kuil utama (honden) Yasukuni hanya mendaftar nama-nama orang yang meninggal ketika berdinas untuk Kekaisaran Jepang. Kuil Chinreisha Yasukuni didirikan untuk mengenang orang yang berperang melawan Kekaisaran Jepang dan siapa saja yang meninggal dunia dalam perang, termasuk prajurit-prajurit Jepang dari Keshogunan Tokugawa dan Republik Ezo, termasuk tentara yang mewakili kekuatan militer asing seperti dari Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, Korea, dan Asia Tenggara. Kuil utama (honden) dibuat untuk mengenang semua orang yang meninggal dunia untuk kekaisaran, dan tidak dibatasi hanya untuk tentara, melainkan juga mencatat nama-nama pekerja sosial, pekerja pabrik, serta warga negara sipil nonetnis Jepang, seperti orang Taiwan dan orang Korea yang bekerja untuk Jepang. Di kuil ini juga terdapat patung peringatan untuk hewan-hewan yang mati dalam perang dan ibu-ibu tunggal yang harus membesarkan anak-anak tanpa suami sebagai korban perang. Di kuil utama juga terdapat perpustakaan/arsip yang mengumpulkan informasi tentang setiap orang yang namanya diabadikan di kuil ini, dan sebuah museum perang konservatif. Penyebab kontroversi Kuil Yasukuni adalah pemakaian kuil ini sebagai tempat persemayaman arwah sejumlah penjahat perang dari Perang Dunia II. Kuil ini mencatat semua nama tanpa prasangka. Semua orang dianggap sederajat tanpa memandang status sosial, jasa-jasa mereka semasa hidup, atau faktor-faktor lainnya.[3] Satu-satunya persyaratan untuk dapat diabadikan di kuil ini adalah meninggal dunia untuk Kekaisaran Jepang. Pemilik kuil merasa tidak ada alasan untuk tidak memasukkan orang-orang yang dihukum karena kejahatan mereka.[4] Ikut dimasukkannya nama-nama mereka menyebabkan ketegangan politik, terutama dengan RRT dan Korea Selatan yang berpendapat Jepang telah mengingkari semua kesalahannya semasa Perang Dunia II. Pendukung Kuil Yasukuni berpendapat bahwa menolak memasukkan arwah penjahat perang ke dalam kuil ini berarti tidak mengakui masa dinas mereka untuk Kekaisaran Jepang, sekaligus mengingkari keberadaan mereka dan mengingkari mereka telah berbuat kejahatan atas nama Kaisar Jepang. Kontroversi Kuil Yasukuni terus berlanjut tidak hanya setiap kali politikus Jepang datang berkunjung ke Kuil Yasukuni, melainkan juga ketika politikus non-Jepang datang berkunjung, termasuk Lee Teng-hui yang memiliki kakak yang arwahnya disemayamkan di honden Kuil Yasukuni.[5] Politikus sayap kiri memandang kuil ini sebagai simbol imperialisme Jepang. Sebaliknya, politikus sayap kanan menganggap kuil ini sebagai simbol patriotisme.[6] SejarahLokasi untuk Kuil Yasukuni dipilih berdasarkan perintah Kaisar Meiji. Kuil ini awalnya diberi nama Tōkyō Shōkonsha (東京招魂社 ) .[7] Kuil ini awalnya dibangun untuk memperingati tentara Perang Boshin yang tewas memperjuangkan Restorasi Meiji.[8] Kuil ini adalah salah satu dari puluhan memorial perang yang didirikan di seluruh Jepang sebagai bagian dari program Shinto agama negara. Pada tahun 1879, Tōkyō Shōkonsha diganti namanya menjadi Yasukuni Jinja (Kuil Yasukuni).[9] Kuil ini kemudian menjadi salah satu kuil utama Shinto Negara, sekaligus kuil nasional yang utama untuk memperingati korban perang Jepang. Arti harfiah Yasukuni adalah "Mendamaikan Negara", kata ini diambil dari frasa 吾以靖国也 yang terdapat dalam buku klasik Tiongkok Zuo Zhuan (Gulungan 6, Tahun 23 Tahun Yang Mulia Xi). Nama kuil ini dipilih sendiri oleh Kaisar Meiji.[10] Seusai Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Sekutu di Jepang mengeluarkan sebuah Pedoman Shinto yang memerintahkan pemisahan agama dan negara, sekaligus secara praktis mengakhiri agama Shinto Negara. Kuil Yasukuni dipaksa untuk memilih di antara kedua pilihan, sebagai lembaga sekuler milik pemerintah atau lembaga agama independen yang tidak bergantung kepada Pemerintah Jepang. Kuil ini akhirnya dijadikan lembaga agama swasta. Setelah keputusan tersebut diambil, Kuil Yasukuni beroperasi dari dana swasta.[11] Ritual Shinto dilakukan di kuil ini, sesuai dengan kepercayaan Shinto bahwa kuil ini dijadikan tempat tinggal untuk Kami atau arwah semua abdi Jepang, termasuk abdi kekaisaran (orang Korea dan orang Taiwan), serta warga sipil yang meninggal dunia untuk kaisar karena ikut serta (dipaksa atau atas kemauan sendiri) dalam konflik-konflik yang melibatkan Jepang sebelum tahun 1951. Kompleks kuil![]() Di kompleks kuil yang luasnya 6,25 hektare ini terdapat berbagai bangunan dan fasilitas. Bangunan kuilAula pemujaan (haiden) Kuil Yasukuni digunakan oleh pengunjung yang datang untuk berdoa. Aula pemujaan ini pertama kali dibangun pada tahun 1901 untuk pengunjung yang datang berdoa dan memberi sajen. Atap gedung direnovasi pada tahun 1989.[12] Kuil utama (honden) Kuil Yasukuni adalah tempat diabadikannya semua Kami dan dilakukannya ritual Shinto. Gedung honden dibangun pada tahun 1872, dan direnovasi pada tahun 1989. Gedung ini biasanya tidak dibuka untuk umum.[13] Gedung yang berada persis di belakang honden agak ke timur disebut Reijibo Hōanden (霊璽簿奉安殿 ). Di gedung ini disimpan Register Jiwa Simbolis (霊璽簿 , Reijibo), sebuah buku dari kertas Jepang yang mendaftar semua Kami yang diabadikan dan dipuja di Kuil Yasukuni. Gedung ini dibangun kembali sebagai gedung antigempa pada tahun 1972. Dana pembangunan berasal dari sumbangan pribadi Kaisar Hirohito.[14] Selain bangunan kuil utama Yasukuni, di dalam kompleks kuil ini juga terdapat kuil kecil yang disebut Motomiya (元宮 ). Kuil kecil ini awalnya didirikan di Kyoto oleh simpatisan pendukung kekaisaran yang tewas pada minggu-minggu pertama perang saudara semasa Restorasi Meiji. Pada tahun 1931, kuil ini dipindahkan ke selatan kuil utama Yasukuni.[15] Kuil Chinreisha adalah kuil kecil yang didirikan pada tahun 1965, berada persis di selatan Motomiya. Kuil ini dibangun untuk arwah korban perang yang tidak diabadikan di honden. Kuil ini didedikasikan untuk korban tewas dalam perang atau konflik di seluruh dunia, tanpa memandang kebangsaan.[16] ![]() Konflik melibatkan JepangJepang ikut serta dalam 10 konflik lainnya sejak Perang Boshin 1869. Tabel ini mendaftar secara kronologis, total korban tewas yang diabadikan sebagai Kami di Kuil Yasukuni (data 17 Oktober 2004).
Kuil Yasukuni tidak mengabadikan/mencatat korban tewas dari tentara Keshogunan Tokugawa (terutama dari Domain Aizu) atau pasukan pemberontak yang tewas dalam Perang Boshin atau Pemberontakan Satsuma Rebellion karena mereka dianggap musuh Kaisar. Mereka diabadikan di Kuil Chinreisha yang terdapat di dalam kompleks Kuil Yasukuni.[27] Memorial
KontroversiPenjahat perangKuil ini menyimpan dan, menurut kepercayaan Shinto, menyediakan tempat tinggal permanen bagi arwah mereka yang telah bertempur atas nama kaisar, terlepas dari apakah mereka tewas dalam pertempuran atau tidak. Sebanyak 1.066 dari kami yang diabadikan adalah tawanan perang yang dihukum karena beberapa tingkat kejahatan perang setelah Perang Dunia II dan dua lainnya didakwa dengan kejahatan perang tetapi meninggal sebelum pengadilan mereka selesai. Pengabadian biasanya membawa pengampunan atas perbuatan duniawi. Salah satu kriteria untuk pengabadian di Yasukuni adalah seseorang harus terdaftar sebagai orang yang meninggal karena sebab apa pun saat bertugas di daftar korban perang pemerintah Jepang. Menurut dokumen yang dirilis pada tanggal 28 Maret 2007, oleh Perpustakaan Parlemen Nasional Jepang, pejabat Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dan perwakilan Yasukuni sepakat selama pertemuan, pada tanggal 31 Januari 1969, bahwa penjahat perang Kelas-A yang diadili di Pengadilan Tokyo "dapat dihormati" sebagaimana diputuskan oleh Pendeta Kuil dan memutuskan untuk tidak mengumumkan keputusan ini ke publik.[34] Pada tanggal 17 Oktober 1978, empat belas orang yang didakwa dengan kejahatan perang Kelas A—sebelas orang dihukum sebagai penjahat perang Kelas A, satu orang dihukum sebagai penjahat perang Kelas B, dua orang meninggal sebelum menyelesaikan persidangan—ditetapkan sebagai "Martir Shōwa" (Shōwa Martyrs, Shōwa junnansha) karena mereka tercatat dalam daftar korban perang:
Semua penjahat perang yang dipenjara mendapat keringanan hukuman atau dibebaskan pada tahun 1958. Penahbisan tersebut diungkapkan ke media pada tanggal 19 April 1979, dan kontroversi yang masih berlangsung dimulai pada tahun 1985. Museum perangKuil Yasakuni juga mengelola sebuah museum perang yang menceritakan sejarah Jepang dimana beberapa pengunjung mengkritik narasi revisionisme sejarah yang dilakukan oleh pihak kuil. Sebuah video propaganda dengan gaya film dokumenter diputar kepada pengunjung museum yang menceritakan tujuan Jepang menguasai Asia Timur Raya pada masa sebelum Perang Dunia II sebagai sebuah langkah untuk melindungi Asia dari Imperialisme barat. Museum ini tidak menyebut satu pun kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, termasuk Pembantaian Nanking.[35] Kunjungan politikDomestik![]() Kunjungan ke kuil ini sebagai politikus Jepang dianggap sebagai kunjungan kontroversial. Isu kontroversi ini dipicu oleh penolakkan Kaisar Hirohito untuk mengunjungi kuil ini sejak 1978 sampai wafat pada 1989.[36] Sebuah memorandum yang dipublikasikan pada 2006 menyatakan bahwa alasan penolakan tersebut adalah karena keputusan Kuil Yasakuni untuk menyembah penjahat perang kelas A.[37] Perdana Menteri Jepang yang kerap mengunjungi Kuil Yasakuni adalah Junichirō Koizumi. Pada tanggal 17 Oktober 2005, Koizumi mengunjungi kuil tersebut untuk kelima kalinya sejak menjabat. Meskipun ia mengklaim bahwa kunjungannya merupakan urusan pribadi, kunjungan tersebut dilakukan hanya beberapa hari sebelum Menteri Luar Negeri Jepang Nobutaka Machimura dijadwalkan mengunjungi pejabat Tiongkok di Beijing untuk memperkuat hubungan Tiongkok-Jepang. Republik Rakyat Tiongkok menanggapi dengan membatalkan kunjungan yang dijadwalkan karena mereka menganggap kuil tersebut sebagai pemuliaan terhadap agresi militer Jepang di masa lalu.[38] Kunjungan tahunan Koizumi juga menuai kecaman global. Pada Konferensi Tingkat Tinggi APEC 2005 di Busan, Korea Selatan, Menteri Luar Negeri Tiongkok Li Zhaoxing mengecam Koizumi dengan berkata, "Apa yang dipikirkan oleh orang Eropa jika pemimpin Jerman pergi mengunjungi monumen yang berkaitan dengan Hitler dan Nazi?".[39] Pada 2006, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Henry Hyde, ketua Komite Luar Negeri DPR AS juga menyarankan agar Koizumi tidak diundang ke Kongres Amerika Serikat karena kunjungannya dinilai membuat malu Kongres AS dan akan menyakiti perasaan veteran Perang Dunia II dari Amerika Serikat jika Koizumi melakukan pidato disana.[40] Pada 7 Juni 2006, mantan Presiden Republik Tiongkok Lee Teng-hui mengunjungi kuil tersebut untuk kegiatan ziarah untuk kakaknya yang disembah dalam kuil tersebut. Kakaknya merupakan mantan tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang sementara Lee sendiri mengabdi di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Mantan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda secara terbuka menyatakan bahwa ia bersumpah tidak akan mengunjungi kuil tersebut.[41] Ikrar sumpah tersebut adalah bentuk oposisi politik terhadap kuil tersebut dan dinilai membantu mempererat hubungan luar negeri dengan Tiongkok, Korea Utara dan Korea Selatan.[42] Mantan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung secara terbuka menentang politikus Jepang yang terang-terangan mengunjungi kuil tersebut karena penyembahan penjahat perang. Namun, ia juga menyatakan bahwa jika 14 kriminal kelas A dipindahkan ke lokasi lain, ia tidak akan mengkritik kunjungan kuil tersebut. Kim menggaris bawahi janji Junichirō Koizumi di sebuah pertemuan di Shanghai pada 2001 dimana Koizumi mengagas akan membangun kuil terpisah yang akan menggantikan Kuil Yasakuni dan memperbolehkan siapapun untuk berdoa disana tanpa rasa ragu. Luar NegeriPra-perang
Referensi
Pranala luar |