Danantara
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau beroperasi dengan nama Danantara Indonesia adalah Lembaga dana investasi pemerintah yang didirikan oleh pemerintah Indonesia secara langsung yang berfungsi untuk mengonsolidasi dan mengoptimalisasi investasi pemerintah guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.[1] Lembaga ini siap mengelola aset lebih dari US$ 900 miliar.[2] Nama ”Daya Anagata Nusantara” diberikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. "Daya" berarti energi, "Anagata" berarti masa depan, dan "Nusantara" merujuk pada Indonesia, sehingga secara keseluruhan mencerminkan energi dan potensi dari Indonesia di masa depan.[3] Badan ini terutama beroperasi melalui dua perusahaan induk, yakni Biro Klasifikasi Indonesia sebagai holding operasional dan Indonesia Investment Authority sebagai holding investasi.[butuh rujukan] Sejarah![]() Badan ini dibentuk oleh pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2024 dengan Muliaman Hadad dilantik sebagai kepala.[4] Badan ini disebut merupakan hasil penggabungan antara fungsi dari Indonesia Investment Authority (INA), yang lebih dahulu dibentuk, dengan fungsi dari Kementerian BUMN.[5][6] Badan ini pun diproyeksikan menjadi perusahaan investasi global seperti Temasek milik Singapura maupun Khazanah milik Malaysia.[7][8] Pada bulan Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan badan ini dengan Rosan Roeslani diangkat sebagai CEO.[9] Pada bulan Maret 2025, pemerintah menyerahkan mayoritas saham Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) ini ke badan ini.[10] Sebelumnya, pemerintah telah menyerahkan mayoritas saham 49 BUMN ke BKI, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding operasional.[11] BKI dipilih sebagai induk dari holding operasional dari badan ini, karena BKI memiliki struktur keuangan yang sehat dan tidak memiliki utang.[12] Struktur kepengurusanBerikut susunan struktur dari Danantara:[13]
Kewenangan![]() Tujuan dibentuknya Danantara adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan perusahaan BUMN, mengoptimalkan dividen, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.[14] Tugas utama Danantara ialah mengelola dividen BUMN.[14] Sementara kewenangannya ialah:[14]
DampakPada 24 Februari 2025, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, mengatakan dengan optimis bahwa Danantara akan memperkuat tata kelola aset negara dari BUMN secara transparan dan akuntabel. Dengan menggunakan konsep holding company, akan memperbaiki tata kelola BUMN yang sebelumnya masih terpisah-pisah. Dengan begitu, Danantara diharapkan akan menjaga kestabilan keuangan negara dalam jangka panjang. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Junarsin menghendaki agar Danantara melakukan merger dan akuisisi perusahaan yang tidak efisien serta menyusun manajemen yang tidak berlapis-lapis agar BUMN semakin lincah dalam berinovasi.[15] Namun, di sisi lain, Junarsin berpandangan bahwa pembentukan Danantara dilakukan pada momen yang kurang sesuai karena terkena imbas isu sosial politik, misalnya efisiensi anggaran 2025, Makan Bergizi Gratis, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan masih banyak lagi isu politik lainnya.[16] KontroversiKekhawatiran akan mismanajemenKekhawatiran mengenai manajemen dan transparansi pengelolaan Danantara mencuat karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat langsung mengaudit arus keuangan dan aktiva BUMN setelah dipegang Danantara.[17] Alih-alih, proses audit Danantara hanya dapat dilakukan seizin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[18][19][20] Masyarakat dan media massa mengkhawatirkan nasib masa depan Danantara akan seperti 1Malaysia Development Bhd. (1MDB) jika misalnya terjadi penyelewengan.[21][22] Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, memandang bahwa keberhasilan Danantara akan bergantung pada beberapa faktor: independensi, transparansi, profesionalisme dalam manajemennya, serta dukungan orientasi bisnis yang jelas. Ia membandingkannya dengan Temasek Holdings, yang pejabatnya sendiri masih memiliki hubungan erat dengan pemerintah, tetapi masih menjaga independensi dan profesionalitasnya.[22] Pada tanggal 24 Maret 2025, Thaksin Shinawatra ditunjuk sebagai salah satu Dewan Penasihat Danantara. Thaksin Shinawatra sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand mulai tahun 2001 hingga 2006. Namun, ia dan keluarganya pernah terjerat sejumlah skandal dan korupsi di Thailand.[23][24][25] Rangkap jabatan komisaris BUMNKasus rangkap jabatan di kalangan komisaris BUMN terus disorot, bahkan sebelum Danantara terbentuk. Sejak akhir 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani melarang setiap aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan, khususnya dari eselon I, untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, berdasarkan surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri BUMN.[26] Namun, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil untuk menekan konflik kepentingan di pemerintahan. Pada 2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa antara tahun 2016 dan 2019, tercatat bahwa 397 komisaris BUMN dan 167 komisaris anak usaha BUMN masih ditengarai merangkap jabatan. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Menurut ICW, kasus rangkap jabatan ini menyebabkan komisaris terjebak dalam konflik kepentingan dan mengancam tata kelola perusahaan yang baik. ICW menyoroti bahwa pengawasan yang tidak semestinya dapat menyebabkan BUMN rentan terhadap praktik korupsi.[27] Setelah terbentuknya Danantara, pada 16 Juli 2025, Transparency International (TI) Indonesia masih menemukan adanya kasus rangkap jabatan para wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Sekretaris Jenderal TI Indonesia Danang Widoyoko mengakui bahwa BUMN memang tidak dapat lepas dari intervensi politis, khususnya dalam penempatan pucuk-pucuk manajemennya, termasuk komisaris. Bahkan menurutnya, tren ini akan sampai ke ranah dewan direksi, yang justru menimbulkan beban bagi BUMN dan memperlemah tata kelola perusahaan. Kala itu, TI Indonesia mencatat bahwa selain pucuk pimpinan Danantara itu sendiri yang banyak diisi oleh elite politik, sejumlah BUMN menempatkan sejumlah wakil menteri sebagai komisaris BUMN (per 16 Juli 2025):[28]
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memandang bahwa Presiden Prabowo Subianto menempatkan wakil-wakil menteri tersebut sebagai komisaris BUMN sebagai "perwakilan pemerintah". Ia mengatakan bahwa wakil menteri yang ditempatkan sebagai komisaris BUMN tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan yang dibagikan kepada anggota komisaris, direksi, maupun karyawan (tantiem). Menurut ICW, meskipun tidak mendapatkan tantiem, praktik rangkap jabatan ini masih merupakan penyimpangan terhadap pasal 27B UU BUMN dan pasal 23 UU Kementerian Negara, juga putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri, serta pasal 73 ayat (2) Peraturan Menteri BUMN No. PER-3/MBU/03/2023 .[29] Pada Juli 2025, Danantara mengeluarkan Surat Edaran Nomor S‑063/DI‑BP/VII/2025 yang menetapkan bahwa seluruh anggota Dewan Komisaris BUMN dan anak usahanya dilarang menerima tantiem, insentif kinerja, insentif khusus, insentif jangka panjang, maupun penghasilan lainnya yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan. Sementara itu, insentif bagi direksi tetap diperbolehkan asalkan didasarkan pada kinerja riil dan berkelanjutan, serta tidak berasal dari keuntungan sesaat seperti revaluasi atau penjualan aset.[30] Referensi
Pranala luar
|