Perjanjian HudaibiyyahPerjanjian Hudaibiyyah (bahasa Arab: صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyyah [1] Mekkah pada Maret, 628 M (Dzulqa'dah, 6 H). Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.[2] Perjanjian ini terjadi setelah Pertempuran Khandak dan Khaibar.[3] Latar belakang![]() Pada tahun 6 H / 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah.[3] Namun karena saat itu kaum Quraisy di Mekkah sangat anti terhadap kaum Muslim Madinah (terkait kegagalan dalam Perang Khandaq), maka Mekkah tertutup untuk kaum Muslim. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah dengan mengutus Khalid bin Walid bersama 200 pasukan berkuda. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci, sehingga muslimin mengambil jalur pebukitan berbatu sehingga tak dapat diserang pasukan berkuda Quraisy hingga sampai ke Hudaibiyah.[3] Lalu muncul Budail bin Warqa' Al-Khuza'y bersama beberapa orang dari Bani Khuza'ah yang biasa memberi nasihat kepada Nabi. Budial berkata, "Saat aku meninggalkan Ka'ab bin Lu'ay, mereka siap berangkat ke Hudaibiyah dengan membawa pasukan. Mereka hendak memerangi engkau dan menghalangi engkau memasuki Masjidil Haram," lalu Nabi mejawab,"Kami datang bukan untuk memerangi seseorang. Tetapi kami datang untuk melakukan umrah. engkau bisa membujuk mereka dan membukakan jalan bagiku." Akhirnya kaum Muslim menyetujui langkah Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini diabadikan dalam Alquran sebagai berikut.
Perjanjian![]() Kaum Quraisy mengirimkan beberapa utusan untuk menemui Muhammad, diawali dari Mikraz, Hafsh, al-Hulais, lalu Urwah bin Mas'ud setelah berbincang bersama Abu Bakar dan Mughirah lalu kembali ke Mekah menyarankan menerima tawaran Muhammad.[3] Selanjutnya Nabi mengutus Utsman bin Affan ke Mekah untuk negosiasi dan menjelaskan maksud kedatangan muslimin. Akhirnya Quraisy Mekah mengutus Suhail bin Amru untuk membuat kesepakatan bersama. Terjadi sedikit perdebatan ketika Ali bin Abi Thalib hendak menuliskan isi perjanjian, karena kaum Quraisy tidak mau menggunakan kalimat Muhammad Rasulullah, hingga Muhammad menyetujui tanpa memakai kata Rasulullah.[3] Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi:
Setelah disepakati bersama, Muhammad melakukan Tahalul (memotong rambut) dan menyembil hewan atas saran istrinya Ummu Salamah, lalu diikuti para sahabat.[3] Manfaat perjanjian![]() Secara umum, manfaat jangka panjang Hudaibiyah bagi kaum Muslim adalah:
Sedangkan jangka pendek terlihat Perjanjian Hudaibiyah merugikan umat Islam terutama yang baru masuk Islam tinggal di Mekah, tidak boleh hijrah ke Madinah, sehingga beberapa sahabat merasa sedih atas hal tersebut.[3] Bahkan Umar bin Khathab sepulang Hudaibiyah mengungkapkan kekecewaannya, lalu dijawab dengan turunnya Quran surat alFath (Kemenangan). HasilBeberapa hari setelah Hudaibiyah, Abu Jandal bin Suhail yang baru masuk Islam dan melarikan diri Mekah ke Madinah, terpaksa ditolak Muhammad, ia akhirnya lari ke wilayah pantai dan mengganggu kafilah Quraisy yang lewat, muslimin lainnya dari Mekah ikut berkumpul bersama kelompok Abu Jandal diluar kendali Muhammad. Akhirnya Quraisy meminta kelompok Abu Jandal bergabung ke Madinah saja.[3] Setelah 2 tahun, Perjanjian Hudaibiyah ternyata dilanggar oleh sekutu Quraisy, sehingga perjanjian dianggap batal. Tetapi kaum Muslim telah berhasil melakukan konsolidasi kuat selama 2 tahun sehingga bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M.[3] Kaum Muslim berpasukan sekitar 10.000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Ka'bah.[3] Lihat pulaCatatan kaki
|