Halaman ini berisi artikel tentang sejarah dan penerapan peraturan hukum yang pernah mengikat orang Tionghoa di Indonesia. Untuk pembahasan yang lebih luas tentang orang Tionghoa di Indonesia, lihat Tionghoa-Indonesia.
Pada masa pemerintahan Soekarno (Orde Lama) dan Soeharto (Orde Baru), pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur masyarakat Tionghoa. Selepas Reformasi, sebagian besar peraturan ini telah dihapuskan, seiring dipulihkannya hak-hak orang Tionghoa oleh hukum Indonesia.
Masa Hindia Belanda
Peraturan hukum pertama yang mengatur tentang orang Tionghoa dikeluarkan pada tahun 1854 yang memberikan kewarganegaraan Hindia Belanda bagi seluruh orang Tionghoa yang lahir di wilayah Hindia. Namun, ketentuan tersebut berubah pada tahun 1892, ketika orang-orang Tionghoa digolongkan kembali menjadi "bangsa Timur Asing" (Vreemde Oosterlingen).[1]Hukum perdata Hindia, yang mengambil asas-asas hukum perdata di Belanda sesuai asas konkordansi, menganggap semua orang yang lahir di Belanda atau wilayah jajahannya sebagai warga negara Dalam ketentuan hukum perdata yang diatur oleh Burgerlijk Wetboek, orang Tionghoa diakui sebagai golongan yang terpisah.[2]
Pada tahun 1910, Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda yang telah diubah menetapkan status seluruh orang non-Eropa sebagai "kawula Belanda" (Nederlandsch onderdonen), yang berarti hak atas kewarganegaraan Belanda di luar negeri dan hak untuk diadili oleh pengadilan Eropa di Hindia. Salah satu penyebab perubahan ini adalah dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Tiongkok 1909 yang mengakui seluruh orang yang berketurunan Tionghoa sebagai warga negara Republik Tiongkok sesuai asas jus sanguinis.[3]
Masa kepemimpinan Soekarno
Pada Undang-Undang Dasar yang disahkan pada tahun 1945, warga negara Indonesia didefinisikan sebagai "orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara". Ketentuan ini menimbulkan "keadaan kewarganegaraan pasif"[4] bagi orang-orang Tionghoa, yang menimbulkan ketakutan bahwa Tionghoa akan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di Republik Indonesia.[3][5]
Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan (kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948), orang-orang "bangsa Indonesia asli" dan orang di atas usia 21 tahun yang telah tinggal lebih dari lima tahun di bekas wilayah jajahan Hindia Belanda ditetapkan sebagai warga negara Indonesia. Ketentuan ini menjamin hak kewarganegaraan Indonesia atas orang-orang Tionghoa yang sebelumnya berkewarganegaraan Belanda.[3]
Namun, peraturan ini menimbulkan kondisi kewarganegaraan ganda bagi banyak orang Tionghoa di Indonesia, karena banyak yang juga masih berstatus warga negara Republik Tiongkok (atau Republik Rakyat Tiongkok setelah tahun 1949). Pada bulan April 1955, Indonesia dan RRT menandatangani Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda (Agreement on the Issue of Dual Nationality between the Republic of Indonesia and the People's Republic of China) yang mengakui situasi kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan Tiongkok. Perjanjian ini kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958.
Meskipun telah terikat oleh perjanjian internasional, pandangan resmi pemerintah Indonesia pada saat itu adalah orang-orang Tionghoa perlu menentukan sendiri kewarganegaraannya; yang diberikan kewarganegaraan Indonesia hanyalah mereka yang mau melepaskan kewarganegaraan Tiongkok, karena secara resmi Indonesia tidak mengakui konsep kewarganegaraan ganda.[3][6]
Pada bulan Maret 1950, pemerintah Indonesia melancarkan serangkaian program ekonomi yang bertujuan untuk mengembangkan kekuatan orang-orang Indonesia asli di dunia usaha. Kebijakan yang dikenal sebagai Program Benteng ini menjadi kebijakan resmi Kabinet Natsir, yang mendasarkan kebijakan ini pada ketentuan hasil Konferensi Meja Bundar bahwa pemerintah Indonesia berhak untuk melindungi kepentingan nasional dan "golongan ekonomi lemah".[7][8]
Pada awalnya, yang menjadi target program ini adalah perusahaan-perusahaan yang masih dikuasai oleh pengusaha Belanda. Pada tahun 1953, Kabinet Wilopo jatuh karena perdebatan yang memanas tentang kuota impor untuk perusahaan asing, di mana pemerintah dituduh mendiskriminasi para importir Tionghoa. Pada era tersebut, orang-orang Tionghoa mendominasi perekonomian di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, seperti yang dicatat oleh sejarawan Betawi Alwi Sahab.[9]
Elemen rasial pada penerapan Program Benteng memanas pada bulan Maret 1956 setelah Mr. Assaat Datuk Mudo, bekas Pejabat Presiden, menuduh bahwa orang-orang Tionghoa telah melakukan kegiatan monopolistik dalam perekonomian dan tidak membuka jalan bagi kaum pribumi untuk ikut serta. Dalam pidatonya di hadapan Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, Assaat menyerukan agar adanya perlindungan khusus di bidang ekonomi bagi bangsa Indonesia asli.[10] Retorika Assaat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan gagasan keadilan ekonomi berdasarkan ras yang mengutamakan bangsa Melayu di Malaysia dengan Kebijakan Ekonomi Baru pada tahun 1971.[10]
Program Benteng akhirnya diakhiri pada tahun 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja.[11]
Undang-Undang Kewarganegaraan 1958
Pemerintah mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang baru pada tahun 1958. Pada Pasal 4, ketentuan harus memilih satu kewarganegaraan diperkuat, sehingga orang-orang Tionghoa yang otomatis memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia dan RRT dipaksa untuk memilih salah satu sebelum bulan Januari 1962. Ketidakjelasan hukum ini berlanjut sampai undang-undang ini dicabut.[3]
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Pada tanggal 16 November 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang "larangan bagi usaha perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing diluar ibukota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan". Peraturan ini pada intinya melarang orang Tionghoa untuk melakukan perdagangan eceran di bawah tingkat kabupaten, kecuali di luar ibu kota daerah.[10]
"Orang asing" yang dimaksud dalam Perpres 10/1959 ditafsirkan sebagai orang-orang Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan RRT, tanpa memedulikan apakah mereka juga memiliki kewarganegaraan Indonesia karena kondisi yang diatur oleh Undang-Undang Kewarganegaraan 1958. Dari sekitar 86,690 perdagang kecil bangsa asing yang terdaftar pada pemerintah, hampir 90 persennya adalah orang Tionghoa. Harian Waspada yang terbit di Medan memperkirakan bahwa 25,000 warung dan kios milik orang Tionghoa akan terkena imbas PP No. 10/1959;[12] sedangkan majalah Tempo memperkirakan lebiih dari setengah juta pedagang Tionghoa terdampak.[10]
Di beberapa daerah, Perpres 10/1959 diterapkan dengan kekuatan militer, mengingat Indonesia pada saat itu sedang berada di bawah darurat militer (staat van oorlog en beleg) yang diatur oleh Undang-Undang Keadaan Bahaya 1957.[13] Di Cibadak, Sukabumi, terjadi pengusiran paksa yang menyebabkan bentrokan berdarah antara warga Tionghoa dan pasukan Teritorium Siliwangi.[14] Di Sumatera Utara, penegakan PP 10/1959 dibarengi dengan operasi penstabilan harga dan penyitaan bahan-bahan sandang dan pangan dari gudang-gudang yang dilakukan oleh Tim Operasi Pengawasan Ekonomi di bawah perintah Kejaksaan Agung.[12]
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memprotes keras penerapan Perpres 10/1959. Duta Besar RRT di Jakarta Huang Chen mendesak Menteri Luar NegeriSoebandrio untuk meninjau kembali penerapan peraturan tersebut, namun permintaan tersebut ditolak. Soebandrio menegaskan di hadapan sidang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong bahwa Perpres 10/1959 "sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti-Tiongkok", melainkan hanya sebagai penerus dari usaha-usaha nasionalisasi terhadap perusahaan yang dimiliki oleh bangsa asing di Indonesia.[12] Menyikapi hal tersebut, radio resmi RRT dari Beijing mulai menyerukan agar orang Tionghoa di Indonesia untuk berhijrah ke Tiongkok. Sekitar 199,000 orang Tionghoa mendaftar untuk pindah, namun pada akhirnya hanya sekitar 102,000 orang yang dapat diangkut oleh kapal yang dikirimkan oleh pemerintah RRT.[15]
Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 127 Tahun 1966
Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang proses penggantian "nama-nama perseorangan dan nama keluarga Tjina" bagi orang-orang Tionghoa. Penggantian nama dilakukan sampai tanggal 31 Maret 1968, sebelum diperpanjang oleh Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 1968 sampai bulan Desember 1968.[17]
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967
Surat edaran ini dikeluarkan pada bulan Juni 1967 dan menetapkan penggunaan istilah "Cina" sebagai pengganti "Tionghoa" dan "Tiongkok", dengan alasan "mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia". Pramoedya Ananta Toer mengajukan bahwa hal ini disebabkan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" sudah mulai digunakan oleh Partai Komunis Indonesia sejak tahun 1948, sehingga pemerintah Soeharto merasa perlu untuk menggantikannya.[18]
Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 37/U/IN/6/1967
Instruksi tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina ini dirumuskan dari laporan Ketua Panitia Negara Perumus Kebijaksanaan Penyelesaian Masalah Cina. Peraturan ini melarang "warga negara asing Cina pendatang baru" untuk tinggal di Indonesia dengan tujuan bekerja dan berusaha, dengan perkecualian bagi anggota-anggota Korps Diplomatik dan Konsuler beserta keluarganya selama masa penugasannya di Indonesia, dan tenaga-tenaga ahli beserta istri dan anak sah di bawah umur, yang masih menjadi tanggungannya. Pasal 5 pada instruksi ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih aset milik warga negara Indonesia yang berhijrah ke RRT sebagai "modal domestic asing" yang dianggap sebagai "kekayaan nasional yang berada di tangan penduduk asing; dan oleh karena itu harus dikerahkan, dibina dan dimanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi dan pembangunan."[19]
Soeharto sebelumnya telah memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan RRT. Instruksi ini menegaskan bahwa hubungan dengan RRT dapat dipertimbangkan lagi dengan "pertimbangan pantas tidaknya negara itu diperlakukan sebagai negara yang berdaulat dan bersahabat".
Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967
Pada bulan Desember 1967, Soeharto (kini Pejabat Presiden) menetapkan Keputusan tentang "Kebidjaksanaan Pokok jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing". Keputusan ini menetapkan bahwa mereka adalah "Bangsa Indonesia jang tidak berbeda dalam hak dan kewadjiban dengan Bangsa Indonesia lainnja" dan menjamin "adalah sama kedudukannja di dalam Hukum Pemerintahan dengan Bangsa Indonesia lainnja".
Keputusan Presiden ini menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus "melalui proses asimilasi terutama untuk mentjegah terdjadinya kehidupan seksklusif rasial" dan menganjurkan agar "nama-nama Cina" diganti sesuai peraturan sebelumnya.[20]
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Pada bulan yang sama, Pejabat Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi pada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri agar "tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan." Instruksi ini melarang perayaan Imlek di muka umum dan membatasi kegiatan adat istiadat orang-orang Tionghoa yang dianggap "dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar."
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969
Pada bulan April 1969, Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda dengan RRT dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga orang-orang Tionghoa yang memiliki surat kewargenegaraan ganda sesuai ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan 1958 dinyatakan tidak berkewarganegaraan jika tidak menyatakan keinginan untuk menjadi warga negara Indonesia.[21]
Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta Nomor K.898/I/A Tahun 1975
Instruksi ini dikeluarkan oleh Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa YogyakartaPaku Alam VIII pada bulan Maret 1975, yang isinya melarang orang-orang non-pribumi Eropa dan Vreemde Oosterlingen (Tionghoa, Arab, India) untuk memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.[22]
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor X01 Tahun 1977
Instruksi rahasia yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud ini memerintahkan agar Kartu Tanda Penduduk orang-orang Tionghoa diberikan tanda khusus sebagai warga negara Indonesia berketurunan asing. Tanda ini adalah "A01".[23]
Peraturan Menteri Kehakiman Nomor JB 3/4/12 Tahun 1978
Pada bulan Maret 1978, Menteri KehakimanMochtar Kusumaatmadja mengeluarkan peraturan yang mewajibkan "setiap warganegara yang perlu membuktikan kewarganegaraannya" untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).[24] Pada prakteknya, hampir seluruh orang Tionghoa di Indonesia diwajibkan untuk mengajukan permohonan SBKRI.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 455.2-360 Tahun 1988
Peraturan ini melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui kelenteng.[25]
Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996
Keputusan tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ini menghapuskan kewajiban untuk memiliki SBKRI.[26]
Reformasi
Wikisource Indonesia memiliki teks asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Instruksi yang dikeluarkan Presiden B.J. Habibie ini menghentikan penggunaan istilah "pribumi" dan "non pribumi" dalam semua perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.[27]
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999
Instruksi yang dikeluarkan Presiden Habibie ini mempertegas pencabutan ketentuan tentang SBKRI dan memerintahan peninjauan kembali segala peraturan yang melarang atau membatasi kursus bahasa Mandarin.[28]
Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000
Keputusan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid ini mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967, sehingga penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dapat dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus.
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002
Keputusan yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri ini menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.[29]
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014
Keputusan yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967 dan mengembalikan penggunaan istilah "Tionghoa" dan "Republik Rakyat Tiongkok".[30]
^Suryadinata, Leo (2002). "China's Citizenship Law and the Chinese in Southeast Asia". Dalam M.B., Hooker. Law and the Chinese in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Wilmott, Donald E. (1961). The National Statues of the Chinese in Indonesia, 1900-1958. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
Pompe, Sebastiaan, ed. (1992). Indonesian Law 1949–1989: A Bibliography of Foreign-Language Materials with Brief Commentaries on the Law. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers. ISBN978-0-7923-1744-9.
Coppel, Charles A. (2002). Studying Ethnic Chinese in Indonesia. Asian Studies Monograph Series. Singapore: Singapore Society of Asian Studies. ISBN978-9971-9904-0-4.
Lohanda, Mona (2002). Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 1890-1942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Davide Moscardelli Informasi pribadiTanggal lahir 3 Februari 1980 (umur 44)Tempat lahir Mons, BelgiaTinggi 1,85 m (6 ft 1 in)Posisi bermain PenyerangInformasi klubKlub saat ini LecceNomor 10Karier junior1994–1995 Romulea[1]1995–1997 San CesareoKarier senior*Tahun Tim Tampil (Gol)1997–2001 Maccarese 101 (19)2001–2002 Guidonia Montecelio 27 (20)2002–2003 Sangiovannese 30 (15)2003–2005 Triestina 78 (23)2005–2007 Rimini 63 (15)2007–2008 Cesena 40 (15)2...
American musician Perfume GeniusHadreas in 2017Background informationBirth nameMichael Alden Hadreas[1]Born (1981-09-25) September 25, 1981 (age 42)[2][3]Des Moines, Iowa, U.S.Genres Art pop indie rock baroque pop indie pop chamber pop folk Occupation(s) Singer songwriter musician Instrument(s) Vocals piano Years active2008–presentLabels Matador Turnstile Musical artist Michael Alden Hadreas (born September 25, 1981), better known by his stage name Perfume Geniu...
J StreetTanggal pendirian29 November 2007; 16 tahun lalu (2007-11-29)[1]PendiriJeremy Ben-AmiNPWP 26-1507828[2]TipeOrganisasi 501(c)(4)FokusKonflik Arab–IsraelKonflik Israel–PalestinaLokasi Washington, D.C.Wilayah layanan Israel Amerika SerikatMetodePelobianDirektur EksekutifJeremy Ben-Ami[2]KetuaMorton Halperin[2]Tokoh pentingFranklin Fisher (Penasehat) Daniel Levy (Penasehat) Debra DeLee (Penasehat) Marcia Freedman (Penasehat) Shlomo Ben-A...
1932–1945 ground force Manchukuo Imperial Army滿洲國軍Mǎnzhōuguó jūnWar flag of ManchukuoActive1932–1945Country ManchukuoAllegiance Emperor of Manchukuo (de jure) Empire of Japan (de facto)TypeArmySize111,000 (1933)170,000–220,000 (1945)EngagementsSecond Sino-Japanese War Pacification of Manchukuo Operation Nekka Battle of Rehe Soviet-Japanese Border Wars Battle of Lake Khasan Battle of Khalkhin Gol World War II Soviet-Japanese War Manchurian Strategic Offensive Operat...
Stadium in Degerfors, Sweden Stora VallaEntrance at Stora Valla.LocationDegerfors, SwedenCapacity10,605Opened24 July 1938 (1938-07-24)TenantsDegerfors IF Stora Valla is a multi-use stadium in Degerfors, Sweden. It is currently used mostly for football matches and hosts the home matches of Degerfors IF. The stadium holds 12,500 people and opened in 1938.[1] The record attendance is 21,065 spectators, when Degerfors IF played IFK Norrköping, 1963.[1] References ^...
Ця стаття потребує додаткових посилань на джерела для поліпшення її перевірності. Будь ласка, допоможіть удосконалити цю статтю, додавши посилання на надійні (авторитетні) джерела. Зверніться на сторінку обговорення за поясненнями та допоможіть виправити недоліки. Мат...
Historic wooden building in Santa Rosa, California The Church of One Tree, 1918 postcard, by Edward H. Mitchell. The Church of One Tree is a historic building in the city of Santa Rosa, California, United States. It was built in 1873/4[1][2] from a single redwood tree milled in Guerneville, California. Guerneville was the site of an ancient coastal redwood forest, much of which was logged for the rebuilding of San Francisco after the 1906 earthquake and fire. Prior to being re...
Gamaliel IIBiographieNaissance Jérusalem (Judée)Décès Vers 114Lod (Judée)Sépulture YavnéActivités Rabbin, NassiPère Shimon ben Gamliel IFratrie Ima ShalomEnfants Shimon ben Gamliel IIHanina ben Gamaliel (d)Autres informationsMaître Shimon ben Gamliel IVue de la sépulture.modifier - modifier le code - modifier Wikidata Mausolée où reposerait Rabban Gamliel de Yavné ; jusqu’en 1948, cette tombe mamelouke bâtie en 1293 n’était connue que comme le Mausolée...
Pengolahan sampah di Iran yang merupakan negara berkembang Perdagangan sampah global adalah kegiatan niaga (jual beli) sampah skala internasional antara negara-negara demi pengolahan lebih lanjut baik itu proses pembuangan ataupun proses daur ulang. Limbah beracun dan berbahaya sering dikirim ke negara berkembang oleh negara-negara maju.[1] Laporan dari Bank Dunia yang bertajuk 'What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management', isi laporan tersebut menjelaskan tentang jumlah l...
Will to recapture a lost territory Look up revanchism in Wiktionary, the free dictionary. La Revanche redirects here. For the 1916 Australian film, see La Revanche (film). Revanchist redirects here. For the Evian Christ album, see Revanchist (album). See also: Reactionary and Irredentism In Albert Bettannier's La Tache Noire (1887) French students are taught about the provinces of Alsace-Lorraine, taken by Germany in 1871. Revanchism (French: revanchisme, from revanche, revenge) is the politi...
Politics of a U.S. state This article needs additional citations for verification. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed.Find sources: Politics of Pennsylvania – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (April 2007) (Learn how and when to remove this message) Results of the 2002 Pennsylvania gubernatorial election, illustrating the conservative central T concept. No...
Un sistema de estrellas o sistema estelar es un pequeño número de estrellas que orbitan entre sí,[1] unidas por una atracción gravitatoria. Un gran grupo de estrellas unidas por la gravitación generalmente se denomina cúmulo estelar o galaxia, aunque, en términos generales, también son sistemas estelares. Los sistemas estelares no deben confundirse con los sistemas planetarios, que incluyen planetas y cuerpos similares (como los cometas). Un sistema estelar de dos estrellas es...
Battle of the War of 1812 For the civil war battle, see Battle of Old Fort Wayne.Siege of Fort WaynePart of the War of 1812Fort Wayne[1]DateSeptember 5–12, 1812LocationFort Wayne, IndianaResult United States victoryBelligerents MiamiPotawatomi United StatesCommanders and leaders Chief WinamacChief Wannangsea James RheaPhilip OstanderWilliam Henry HarrisonStrength 500 warriors 100 (garrison)3,000 (relief force)Casualties and losses About 25 killed[2] Hundreds vteGreat L...
XBQ-3 Role Flying bombType of aircraft National origin United States Manufacturer Fairchild Aircraft First flight July 1944 Primary user United States Army Air Forces Number built 2 Developed from AT-21 Gunner The Fairchild BQ-3, also known as the Model 79, was an early expendable unmanned aerial vehicle – referred to at the time as an assault drone – developed by Fairchild Aircraft from the company's AT-21 Gunner advanced trainer during the Second World War for use by the United St...
Makgeolli, salah satu jenis minuman beralkohol yang paling populer di Korea. Minuman Korea (한국음료) adalah minuman khas rakyat Korea.[1] Jenis-jenis minuman ini dibagi menjadi 2 buah kategori, minuman dan minuman keras.[2] Minuman tradisional diistilahkan dengan eumcheongryu dan minuman keras dinamakan ju atau sul.[2] Minuman tradisional sejak zaman kuno memiliki ragam yang luas dari jenis, tipe dan cara pembuatannya.[2] Minuman tradisional Korea diklasfi...
Indian Telugu-language TV news channel Television channel Sakshi TVFaçade of Sakshi TV buildingCountryIndiaBroadcast areaIndiaNetworkSakshi Media GroupHeadquartersHyderabad, Telangana, India[1]ProgrammingLanguage(s)TeluguPicture format4:3/16:9OwnershipParentIndira Television Ltd.[2]Key peopleY. S. Bharathi Reddy (Chairperson)HistoryLaunched1 March 2009 (15 years ago) (2009-03-01)FounderY. S. Jagan Mohan ReddyLinksWebsiteSakshi.com Sakshi TV (transl. The Wi...
Television series MinoriteamGenreSuperheroParodyDark comedyCreated byAdam de la PeñaPeter GirardiTodd JamesWritten byAdam de la PeñaDirected byPeter GirardiTodd JamesAdam de la PeñaVoices ofDana SnyderNick PugaRodney SaulsberryEnn ReitelKeith LalTodd JamesCaroline HuPeter GirardiHope MooreAdam de la PeñaComposerTodd SpahrCountry of originUnited StatesOriginal languageEnglishNo. of episodes19 (and 1 pilot)ProductionExecutive producersTodd JamesAdam de la PeñaPeter GirardiProducersPeter Gi...