Sulalatus Salatin

Sejarah Melayu, versi buku yang disusun oleh Cheah Boon Kheng, dengan teks Rumi oleh Abdul Rahman Haji Ismail.

Sulalatus Salatin (Arab: سلالة السلاطين, rumi: Sulālatus-Salāṭīn, lit.'Penurunan segala raja-raja[1]') atau juga dikenali dengan nama Sejarah Melayu (Jawi: سجاره ملايو) merupakan satu karya sejarah mengenai kebangkitan, kegemilangan dan kejatuhan zaman Kesultanan Melaka yang ditulis oleh beberapa orang pengarang Melayu. Namun terdapat pendapat yang mendakwa apabila pihak Portugis datang menakluk Melaka, salinan Sejarah Melayu telah dibawa ke Goa di tanah India sebelum dibawa balik ke Johor beberapa tahun kemudian oleh orang Kaya Suguh.

Sejarah Melayu ditulis di Melaka dan dibawa bersama semasa Sultan Mahmud Syah berundur dari Melaka pada tahun 1511. Naskhah asal ini kemudian dibawa ke Johor dari Kampar, Sumatera pada tahun 1528. Teks yang turun masa kini merupakan teks yang disalin dipercayai berasal sejak tahun 1356, dan disunting semula pada 1612. Salinan manuskrip yang ada bertarikh 1808. [2]

Dokumen ini dianggap penting kerana ia menerangkan mengenai adat istiadat kerajaan, susunan raja Melayu dan sejarah kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep Sejarah Sahih China di mana pada setiap pertukaran Dinasti di China, sejarah Dinasti sebelumnya akan ditulis dan disimpan di arkib negara tersebut.[3] Atas kepentingan inilah dokumen ini dimasuksenaraikan dalam Warisan Ingatan Dunia UNESCO pada tahun 2001.[4][5]

Sejarah MELAYU telah dianggap sebagai klasik Melayu yang paling tinggi nilainya dan merupakan sebuah karya sejarah yang terpenting bersabit dengan Malaysia. Perintah Sultan Melaka kepada pengarangnya ialah menulis sebuah buku mengenai keturunan Raja-raja Melayu dan perhubungan mereka dengan negara-negara Asia di sekelilingnya. Tema utama dalam penulisan ini berpusatkan Kesultanan Melayu di zaman kegemilangannya.[6]

Versi naskhah

Terdapat sekurang-kurangnya 29 versi catatan sejarah ini Dari semua versi naskhah yang ada, isinya mempunyai perbezaan yang ketara baik pada panjang pendeknya fragmen yang terselamat, urutan cerita yang ditulis, transliterasi, bahkan juga urutan versi salinan dari versi sebelumnya. Namun secara garis besarnya, naskhah-naskhah tersebut dapat dikelompokan atas:[7]

  1. Versi suntingan Raffles, terjemahan bahasa Inggeris pertama kali oleh afnan tajul tahun 1821.
  2. Versi suntingan dari Munshi Abdullah tahun 1831.
  3. Versi suntingan dari Edouard Dulaurier tahun 1849.
  4. Versi terjemahan kepada bahasa Perancis tahun 1896.
  5. Versi suntingan William Shellabear tahun 1915.
  6. Versi dari Raffles 18, yang dipublikasikan oleh Richard Olaf Winstedt tahun 1938.
  7. Versi suntingan Aman Datuk Madjoindo yang dicetak di Jakarta tahun 1959.
  8. Versi suntingan Abdul Samad Ahmad yang dicetak Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1979.

Secara keseluruhannya, karya ini memiliki sekurang-kurangnya 29 versi atau manuskrip yang tersebar di antara lain di England (10 salinan di London, 1 di Manchester), Belanda (11 di Leiden, 1 di Amsterdam), Indonesia (5 di Jakarta), dan 1 di Rusia (di Leningrad).

Perbandingan isi kandungan antara versi naskhah

Sulalatu'l-Salatin versi Raffles mahupun matyoi pada dasarnya menceritakan tuntutan kuasa dan saingann antara para penguasa dalam Bumi Melayu,[8] menceritakan sejarah mengenai kebangkitan, kegemilangan dan kejatuhan zaman pemerintahan Melayu yang ditulis oleh beberapa orang pengarang Melayu.[9] Namun, huraian teks naskhah ini belum dapat memberikan penjelasan yang tepat dan benar, kerana masih terdapat pertentangan dan perselisihan dengan beberapa sumber utama sejarah lainnya seperti catatan yang dibuat oleh Portugal dan Belanda. Hal ini tidak lepas dari penemuan bahawa Sulalatu'l-Salatin telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh beberapa pengarang berikutnya yang berkemungkinan menambah dan mengurangkan isi teks pada naskhah.[10]

Sulalatu'l-Salatin memiliki beberapa variasi versi, kemungkinan versi pendek, versi yang belum diselesaikan penulisnya atau sebaliknya versi panjang merupakan tambahan yang dibuat oleh penulis berikutnya.[7] Namun secara keseluruhan Sulalatu'l-Salatin merupakan sebuah karya besar yang merangkumi beberapa cerita atau kisah lain yang berkaitan dengan Dunia Melayu, sebagaimana cerita yang terdapat pada Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak dan sebagainya.

Judul

Salah satu versi yang berkode Raffles 18, dianggap versi yang pertama diterjemahkan (terjemahan bebas) ke dalam Bahasa Inggris dan diberi judul Malay Annals.[11] Walau versi yang pertama kali dicetak adalah hasil suntingan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi di Singapura tahun 1831, kemudian disusul versi William Shellabear,[12] Namun dari dari versi-versi yang berbahasa Inggeris inilah kembali diterjemahkan, dan lebih dikenal dengan judul Sejarah Melayu. Sementara naskhah yang diterjemahkan ke bahasa Belanda masih tetap menggunakan judul sebagaimana yang terdapat pada naskhah. Kemudian sekitar tahun 1979, judul Sulalatus Salatin kembali digunakan oleh Abdul Samad Ahmad pada versi kompilasinya, yang kemudian diikuti oleh beberapa pengkaji berikutnya.[13]

Mukadimah

Pada mukadimah naskhah beberapa versi karya ini, terdapat perbedaan penafsiran untuk nama pengarang atau penyunting naskhah ini, di mana nama Tun Mambang dianggap sama dengan Tun Sri Lanang.[14] Belakangan muncul versi yang dianggap mendekati versi aslinya namun tidak menyebutkan siapa pengarang atau pun penyuntingnya. Versi ini berisikan beberapa potongan cerita sebagaimana yang secara garis besar terdapat pada semua naskhah Sulalatu'l-Salatin, perbedaan versi ini terdapat pada bab tertentu yang telah memberikan penanggalan dalam Hijriah pada alur ceritanya,[7] walau jika disemukakan dengan sumber lainnya masih menimbulkan keraguan akan ketepatan penanggalan tersebut. Namun dari semua versi yang ada, perintah penyusunan naskhah sama, menyebutkan atas titah Yang Dipertuan di Hilir.

Dari huraian mukadimah naskhah pada versi Raffles 18 disebutkan penyusunan Sulalatu'l-Salatin ini adalah pada tahun 1612 oleh Bendahara. Kemudian juga diketahui bahawa selepas penaklukan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda atas Johor tahun 1613, Sultan Johor kemudian dikalahkan lalu ditahan dan dibawa ke Aceh. Pada salah satu bab dari Bustanus Salatin, Nuruddin al-Raniri menyebutkan bahawa Bendahara Paduka Raja yang mengarang Sulalatu'l-Salatin merupakan salah satu sumber rujukankannya.

Isi

Sulalatu'l Salatin menguraikan silsilah dari para raja di kawasan Melayu, bermula dari kedatangan Sang Sapurba keturunan Iskandar Zulkarnain di bukit Siguntang, Palembang. Sang Sapurba diminta untuk menjadi suatu pemerintah bergelar Maharajadiraja di tanah Minangkabau; dari tokoh inilah raja-raja di kawasan Melayu diturunkan. Selanjutnya terdapat kisah salah seorang putera Sang Sapurba dari perkahwinannya dengan Wan Sundaria, puteri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang yang bernama Sang Nila Utama bergelar Sri Tri Buana yang mendirikan mendirikan kerajaan Singapura mankala seorang lagi puteranya Sang Mutiara disebutkan menjadi raja di Tanjungpura; sementara gelar Sang Nila Utama tersebut mirip dengan gelar Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dalam Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, merupakan Maharaja di Bumi Melayu yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Kertanagara Maharajadiraja Singhasari.[15] Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bahagian belakang Arca Amoghapasa tersebut yang tertulis memulihkan kerajaan sebelumnya kemudian dinamainya Malayapura, serta dia sendiri menyandang gelar maharajadiraja.[16]

Sulalatu'l Salatin juga menceritakan tentang peluasan kuasa kerajaan Jawa di kawasan Melayu serta juga menyebutkan tentang sepeninggal Raja Majapahit, kemudian kedudukannya digantikan oleh anak perempuannya atas sokongan patihnya. Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan putera Raja Tanjungpura. Hal ini jika dibandingkan dengan naskhah Jawa Desawarnana dan Pararaton,[17][18] yang menceritakan tentang pergantian Raja Majapahit Jayanagara kepada saudara perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi yang disokong oleh Gajah Mada. Ratu Majapahit ini kemudian menikah dengan Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel, dan nantinya melahirkan Hayam Wuruk. Berdasarkan Prasasti Wingun Pitu terdapat Bhre Tanjungpura sebagai salah satu batara yang memerintah di salah satu daerah bawahan pemerintahan Majapahit. Prasasti ini bertarikh 1447, kemungkinan pada akhir pemerintahan Ratu Suhita, dalam Pararaton Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan Bhra Hyang Parameswara.

Secara rinci Sulalatu'l Salatin memberikan urutan nama-nama raja di Melaka, kemudian terdapat berita kedatangan Afonso de Albuquerque dari Goa atas perintah Raja Portugal untuk menaklukan Melaka tahun 1511 pada masa Sultan Mahmud Syah. Perang melawan penaklukan Portugal ini membuat Sultan Melaka terpaksa berpindah pindah, mulai dari Bintan terus ke Kampar, kemudian ke Johor. Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Melaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara) yang mengunjungi Maharaja Cina tahun 1405 dan 1409, namun nama tersebut tidak dijumpai pada semua versi Sulalatu'l-Salatin, tetapi nama ini kemudian dirujuk kepada Raja Iskandar Syah.[19] Kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.

Penyampaian alur cerita pada Sulalatu'l-Salatin tidak lepas dari pengaruh politik yang berkuasa pada setiap masa penulisannya, kerana ada alur cerita yang tidak semua versi menyebutnya. Sisipan cerita tambahan tersebut mungkin sebagai legitimasi bagi penguasa-penguasa berikutnya di kawasan Melayu. Hal ini terlihat pada Bustanus Salatin, pada salah satu pasalnya terdapat silsilah keturunan Sultan Aceh yang nasabnya dirujuk sampai kepada raja Melayu dari Bukit Siguntang.

Kemudian ada pula sisipan cerita pengiriman utusan ke Makassar yang kemudian pulang bersama seorang bangsawan Bugis yang hebat - utusan tersebut kemudiannya dikenal pasti dengan nama Hang Tuah. Terdapat juga versi lain yang menyatakan bahawa tokoh yang dikenalpasti sebagai "Hang Tuah" hanyalah seorang nelayan dari Bintan namun memiliki kemahiran dalam silat, kemudian diangkat menjadi laksamana ditugaskan menjaga Melaka dari ancaman luar. Sementara kisah kunjungan utusan Raja Melaka kepada Raja Goa di Sulawesi tidak dijumpai pada versi Raffles, Abdullah, Dulaurier, Shellabear, Winstedt, Madjoindo dan lainnya. Kisah tersebut hanya terdapat pada naskhah yang disebut ada di Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia saja.[14] Kemungkinan munculnya kisah ini sangat berkaitan dengan cerita sebagaimana yang terdapat pada Tuhfat al-Nafis.

Sulalatu'l Salatin mengambarkan keterkaitan masing masing kawasan di Nusantara. Kisah kedatangan Islam di Pasai memberikan gambaran tentang awal dakwah Islam di kawasan Melayu. Kemudian dilanjutkan dengan cerita hubungan perkawinan antara putri Raja Pasai dengan Raja Melaka, yang menandakan Islam juga telah tersebar ke Melaka. Hubungan Pasai dan Melaka ini terus berlanjut dimana pada masa berikutnya Sultan Melaka disebutkan turut membantu memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Laporan Ma Huan pembantu Cheng Ho menyebutkan bahawa adat istiadat seperti bahasa, mahupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian yang digunakan masyarakat Pasai dan Melaka adalah sama.[20]

Bab penutup

Dari semua variasi naskhah Sulalatu'l-Salatin, umumnya diakhiri oleh bab yang mengkhabarkan tentang kematian Tun Ali Hati. Namun, ada juga versi naskhah di mana pengakhirannya ditandai catatan mengenai serangan Jambi terhadap Kesultanan Johor pada tahun 1673), kemudian ada juga sebagaimana yang terdapat pada Hikayat Raja Akil (Sultan Sukadana) yang diakhiri oleh Perang Palembang (1819-1821).

Penulisan naskhah

Sulalatu'l Salatin merupakan naskhah tulisan tangan yang ditulis pada kertas menggunakan tulisan Jawi. Karya ini kemungkinan pertama kali ditulis sekitar abad ke-16.[10] Terdapat juga penceritaan mengenai suatu bingkisan kiriman Batara Majapahit digambarkan nipisnya seperti kertas. Kemudian disebutkan juga kisah Hang Nadim berkunjung ke India dan memesan kain sebagaimana lakaran yang telah ditulis sebelumnya pada kertas. Hal ini menunjukan bahawa masyarakat Melayu telah mengetahui mengenai pengunaan kertas sebagai suatu barangan tulisan semasa hayatnya.

Rujukan

  1. ^ Marsden, W. (1811). The History of Sumatra. London.
  2. ^ malay concordance project.
  3. ^ Chinese history: a manual By Endymion Porter Wilkinson
  4. ^ UNESCO (2001), Memory of the World: Sejarah Melayu (The Malay Annals)
  5. ^ UNESCO (2012), Memory of the World: The treasures that record our history from 1700 BC to the present day, Collins, ISBN 978-0-00-748279-5
  6. ^ shellabear, W.G (1994). sejarah melayu. Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn Bhd. m/s. 311. ISBN 0195808827.
  7. ^ a b c Roolvink, R., (1967), The Variant Version of The Malay Annals, kitlv-journals.
  8. ^ Wolters, O. W., (1999), History, culture, and region in Southeast Asian perspectives, SEAP Publications, ISBN 0877277257.
  9. ^ Pensejarahan Melayu: kajian tentang tradisi sejarah Melayu Nusantara "...ada Hikayat Melayu dibawa oleh orang dari Goa...."
  10. ^ a b Milner, A., (2010), The Malays, John Wiley and Sons, ISBN 1444339036.
  11. ^ Raffles, T.S., (1821), Malay annals (translated from the Malay language, by the late Dr. John Leyden).
  12. ^ Shellabear, W.G., (1915), Sejarah Malayu or the Malay annals, Methodist Publishing House
  13. ^ Ahmad Rizal Rahim, (2000), Sulalatus Salatin, Jade Green Publications, ISBN 983929377X.
  14. ^ a b Samad, A. A., (1979), Sulalatus Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka.
  15. ^ Muljana, Slamet, (1981), Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu.
  16. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  17. ^ Brandes, J. L. A., (1904), Nāgarakrĕtāgama: lofdicht van Prapanjtja op koning Rasadjanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, Albrecht.
  18. ^ Brandes, J. L. A., (1896), Pararaton: Ken Arok of het boek der koningen van Tumapěl en van Majapahit, Albrecht & Rusche
  19. ^ Wake, Christopher H., (1964), Malacca's Early Kings and the Reception of Islam, Journal of Southeast Asian History 5, No. 2, pp. 104-128.
  20. ^ Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 9794613614.

Pautan luar