Inses
Hubungan sedarah atau hubungan sumbang atau inses[1] (bahasa Inggris: incest) adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara sepihak. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosio antropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis. Penjelasan biologis dan sosialHubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah' dari kedua tetua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipe-nya berada dalam kondisi homozigot. Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi psikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa budaya juga menoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik atau kemurnian ras. Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam (fikih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara sepihak (bukan saudara angkat atau saudara tiri), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu. Di dalam Alkitab Kristen (Imamat 18) tertulis larangan hubungan sedarah antara kekerabatan tertentu. Contoh-contoh hubungan sumbang dalam kebudayaanPada kelompok masyarakat tertentu, seperti suku Polahi di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi, praktik hubungan sumbang banyak terjadi. Perkawinan sesama saudara adalah hal yang wajar dan biasa di kalangan suku Polahi. Kalangan bangsawan Mesir Kuno, khususnya pascainvasi Alexander Agung, melakukan perkawinan dengan saudara kandung dengan maksud untuk mendapatkan keturunan berdarah murni dan melanggengkan kekuasaan. Contoh yang terdokumentasi adalah perkawinan Ptolemeus II dengan saudara perempuannya, Elsinoé. Beberapa ahli berpendapat, tindakan seperti ini juga biasa dilakukan kalangan orang biasa. Toleransi semacam ini didasarkan pada mitologi Mesir Kuno tentang perkawinan Dewa Osiris dengan saudaranya, Dewi Isis. Dalam mitologi Yunani kuno, Dewa Zeus kawin dengan Hera, yang merupakan kakak kandungnya sendiri. Folklor Indonesia juga mengenal hubungan sumbang. Hubungan sumbang antara Sangkuriang dan ibunya sendiri (Dayang Sumbi) dalam dongeng masyarakat Sunda atau antara Prabu Watugunung dan ibunya (Dewi Sinta), yang menghasilkan 28 anak — kisahnya diabadikan dalam pawukon — adalah contoh-contohnya. Pada masa jahiliah, orang Arab terbiasa menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus dan menikahi istri almarhum ayahnya. Praktik ini kemudian dilarang oleh Islam.[2] Inses di IndonesiaInses di Indonesia merujuk pada hubungan seksual atau pernikahan antara individu yang memiliki hubungan kekerabatan dekat, baik darah (sedarah/senasab) maupun semenda (karena perkawinan). Praktik ini secara umum dilarang keras oleh hukum positif dan mayoritas ajaran agama yang diakui di Indonesia, serta ditolak oleh norma sosial dan budaya masyarakat. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak secara eksplisit mendefinisikan inses sebagai tindak pidana tunggal, perbuatan inses sering kali masuk dalam kategori pelanggaran kesusilaan atau, lebih serius, sebagai pelecehan atau kekerasan seksual jika terdapat unsur paksaan, ancaman, atau melibatkan anak di bawah umur. Berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Perkawinan, secara tegas melarang pernikahan antar kerabat sedarah atau semenda dalam tingkatan tertentu, menjadikannya tidak sah secara hukum. Secara agama, Islam, sebagai agama mayoritas, memiliki ketentuan mahram yang sangat jelas, melarang hubungan pernikahan dan seksual dengan kerabat tertentu. Demikian pula, agama-agama lain seperti Kristen dan Hindu memiliki ajaran yang melarang keras praktik inses berdasarkan prinsip moral dan etika. Inses membawa dampak sosial dan psikologis yang sangat merusak bagi korbannya, sering kali menyebabkan trauma mendalam, masalah kejiwaan, dan kesulitan adaptasi sosial. Selain itu, terdapat risiko genetik yang signifikan pada keturunan dari hubungan inses. Fenomena seperti grup fantasi sedarah di media sosial telah menjadi perhatian serius, karena dapat menyebarkan ide-ide menyimpang dan berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik inses atau pelecehan seksual di dunia nyata. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, Kominfo, dan aparat penegak hukum, telah mengambil sikap tegas untuk memblokir konten dan menindak individu yang terlibat dalam penyebaran ideologi atau praktik inses, menegaskan bahwa inses adalah praktik yang dilarang mutlak.[3] Lihat pulaDaftar pustaka
Referensi
Pranala luar
|