SiregarSiregar (Surat Batak: ᯘᯪᯒᯩᯎᯒ᯲; ᯚᯪᯒᯩᯎᯒ᯲) adalah salah satu marga Batak yang berasal dari Muara, Tapanuli Utara. Marga Siregar merupakan keturunan dari Toga Siregar, anak bungsu dari Si Raja Lontung. • Siregar Silo • Sormin • Baumi • Siregar Dongoran • Siregar Sigurda • Siregar Salak • Siregar Datupatna • Siregar Sijoman • Siregar Pahu • Siregar Silali • Ritonga • Siregar Siagian •
Selain bermukim di wilayah Tapanuli Utara dengan kebudayaan Batak Toba, sebagian besar kelompok keturunan marga Siregar juga bermukim di daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal dengan kebudayaan Batak Angkola. Tarombo (Silsilah)Silo
Dongoran
Ket:
Silali
Siagian
TurunanSub-marga Siregar di setiap suku:
KekerabatanMenurut riwayat silsilah Batak, Siregar atau Toga Siregar merupakan generasi keempat keturunan Si Raja Batak. Toga Siregar bersama dengan enam toga lainnya yaitu Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang, dan Toga Aritonang adalah anak dari Si Raja Lontung, di mana Toga Siregar merupakan yang termuda di antara yang lainnya. Parpadanan (Perjanjian) Nainggolan dan SiregarTuriturian (Legenda) ParpadananAdapun cerita awal mula parpadanan tersebut adalah sebagai berikut: Dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, istri dari marga Nainggolan dan marga Siregar sama-sama mengandung dan harapan mereka masing-masing adalah istri Nainggolan melahirkan anak perempuan dan istri Siregar melahirkan anak laki-laki. Namun kehendak Tuhan berkata lain, ketika mereka sama-sama melahirkan pada waktu yang sama, istri dari Nainggolan melahirkan anak laki- laki sedangkan istri dari Siregar melahirkan anak perempuan. Setelah melihat hal ini, kedua istri tersebut bersepakat untuk saling menukar anak yang mana anak laki-laki menjadi anak dari Siregar dan anak perempuan menjadi anak dari Nainggolan. Adapun menurut beberapa sumber, disebutkan bahwa kedua istri dari masing-masing marga Nainggolan dan Siregar ini adalah adik-kakak dan waktu mereka sama-sama bersalin, mereka dibantu oleh sibaso atau perempuan pembantu persalinan yang sama. Oleh karena hal inilah, mereka bisa saling mengenal dan saling menukar anak. Tetapi beberapa saat setelah peristiwa penukaran anak tersebut, tiba-tiba ronggur (petir) yang kuat menyambar dan menggelegar dari langit pada waktu siang hari. Hal ini tentu membuat seluruh warga terkejut termasuk para sang suami yang sedang mencari ikan, kedua suami tersebut pun bingung dan takut dan memutuskan untuk pulang ke darat. Begitu mereka masing-masing pulang ke rumah masing-masing, mereka sangat gembira begitu melihat anak mereka telah lahir dalam keadaan sehat. Namun Nainggolan heran dan merasa curiga ketika melihat wajah dari bayi tersebut. Melihat wajah sang suami (Nainggolan) yang terlihat menunjukkan rasa curiga, sang istri menjadi gelisah. Rasa gelisah tersebut lambat laun menjadi rasa takut ketika petir sekali lagi datang secara tiba-tiba serta mengeluarkan suara yang dahsyat, suara petir itu juga membuat perasaan Nainggolan menjadi semakin curiga. Tidak menunggu lama, akhirnya istrinya tersungkur dan sujud di depan suaminya serta mengakui bahwa anak yang diberikan kepada suaminya itu bukan anaknya, melainkan putri dari Siregar yang telah ditukar dengan putranya. Tidak lama kemudian Nainggolan langsung menyusul ke rumah Siregar dan membawa bayi yang baru dilahirkan itu ke rumah Siregar, melihat hal itu istri Siregar menjadi ketakutan dan sebelum Nainggolan ingin menjelaskan apa yang terjadi, dia langsung tersungkur di depan suaminya seperti istri Nainggolan dan kemudian ia mengakui perbuatannya di depan suaminya dan menceritakan semua yang terjadi. Mendengar hal itu, Siregar menjadi terkulai lemas setelah mengetahui bahwa bayi laki-laki yang ada padanya bukanlah anaknya. Begitu Nainggolan melihat Siregar tidak berdaya, Nainggolan langsung mengucapkan sumpah (padan) kepada Siregar: "olat ni on gabe sisada anak sisada boru ma hita. Anakmu tung na so jadi mangoli tu borungku, suang songon i nang anakku na so jadi mangoli tu borumu" (Mulai sekarang, keturunan kita harus saling mengasihi seperti sesama saudara kandung. Keturunan kita tidak diperkenankan untuk saling menikahi, putramu tidak boleh menikahi putriku, begitu juga sebaliknya putraku tidak boleh menikahi putrimu). Siregar langsung tersungkur dan ia menyetujui perkataan Nainggolan tersebut. Dan pada akhirnya, bayi laki-laki itu resmi menjadi putra dari Siregar serta bayi perempuan tersebut menjadi putri dari Nainggolan.[1][2][3] Pendapat Terkait Asal Mula ParpadananMenurut pendapat yang paling banyak beredar, Parhusip dan Guru Sinungsungan Silali yang menjadi sipungka padan atau orang yang mengikrarkan sumpah tersebut. Pendapat ini dapat dikatakan kuat dan masuk akal oleh karena kedua orang ini adalah sama-sama cucu dari Toga Nainggolan dan Toga Siregar, yang dimana Parhusip adalah cucu dari anak pertama Toga Nainggolan yaitu Sibatu, serta Guru Sinungsungan adalah cucu dari anak ketiga Toga Siregar yaitu Silali, serta disebutkan bahwa putra Parhusip yang ditukarkan tersebut bernama Manahan Laut, adik dari Tuan Marnaning dan menurut tarombo Siregar, anak pertama dari Guru Sinungsungan bernama Manaham atau Manahan Laut. Selanjutnya, anak perempuan Silali yang bernama Sitatap Birong menjadi anak perempuan dari Parhusip. Sitatap Birong menikah dengan marga Sihotang Sorganimusu keturunan dari Raja Sigodang Ulu. Pada awalnya padan ini hanya berlaku bagi Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali karena leluhur mereka yang mengadakan parpadanan tersebut. Namun pada akhirnya, sebagaimana dengan istilah dalam Bahasa Batak Padan ni hahana, tong do padan ni anggina yang berarti jika seorang kakak mengadakan perjanjian, adiknya juga turut terlibat dalam perjanjian tersebut, semua marga Nainggolan dan marga Siregar tanpa terkecuali turut serta dalam parpadanan tersebut. Perjanjian (padan) ini berlaku dan dihormati hingga sampai sekarang. Namun ada beberapa pendapat lain yang mengatakan bahwa yang mengikrarkan padan tersebut adalah Sibatu dan Silali yang dimana mereka berdua adalah anak dari Toga Nainggolan dan Toga Siregar. Pendapat inilah yang menjadi dasar bagi Batuara, sub-marga Nainggolan tertua yang mengklaim bahwa mereka juga turut terlibat dalam pengikraran padan tersebut. Ada pendapat lain juga yang mengatakan bahwa yang mengikrarkan padan adalah Parhusip dan Toga Siregar. Bahkan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa jauh sebelum adanya pengikraran padan, Toga Nainggolan dan Toga Siregar sudah menjadi pelopor dari parpadanan tersebut yang mana dikatakan bahwa Toga Nainggolan dan Toga Siregar merupakan adik-kakak yang sangat kompak dan saling menyayangi satu sama lain. Ada cerita yang mengatakan bahwa ketika Toga Siregar mengalami konflik dengan abang- abangnya yaitu Toga Sinaga, Tuan Situmorang, dan Toga Pandiangan. Abangnya Toga Nainggolan yang membantu dan melindungi Toga Siregar dalam konflik tersebut. Hal ini juga yang menandakan jauh sebelum adanya parpadanan yang diadakan keturunannya, hubungan antara Nainggolan dan Siregar sudah sangat erat.[1] TokohPahlawan Nasional
Artis/Seniman/Musisi
JurnalisAtlet/Olahraga
Pelaku Politik/Pejabat
Tokoh Militer/Polisi
Ahli/Akademisi
Aktivis/Pejuang
Referensi
|