Operasi Wibawa
Operation Wibawa merupakan operasi militer dan nonmiliter yang direncanakan oleh Sarwo Edhie Wibowo untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat atau yang juga dikenal sebagai (PEPERA) dan juga merebut batalion Lodewijk Mandatjan yang masih menyerang banyak pos terdepan Indonesia di Papua. Operasi tersebut berakhir dengan keberhasilan Indonesia memenangkan PEPERA dan merebut batalion Lodewijk. Latar belakangPada tahun 1966-1967, Brigadir Jenderal R. Bintoro melancarkan operasi besar-besaran yang disebut "Operasi Bharatayudha". Pasukan Indonesia juga didukung oleh bantuan udara dan satu kapal perang dalam operasi ini.[2] Operasi ini berakhir dengan serangan besar-besaran terhadap batalion Lodewijk Mandatjan, yang menyebabkan mereka terpecah menjadi beberapa kompi kecil meski gagal merebut Lodewijk Mandatjan. Selain itu, penduduk Papua mengalami syok dan trauma akibat pembakaran besar-besaran di desa mereka. Banyak terduga anggota OPM yang dieksekusi.[3] [4] Ketika Sarwo Edhie Wibowo menerima perintah untuk menjadi utusan di Kedutaan Besar di Moskow, ia merasa bahwa karier militernya telah berakhir. Ia sudah mengetahui hal ini ketika ia masih menjabat sebagai komandan selama pembantaian massal Indonesia tahun 1965-1966. Namun setelah Suharto memerintahkannya untuk menjadi komandan Kodam XVII/Cenderawasih pada saat yang sama, ia menjadi bersemangat dan menyanggupi perintah untuk berangkat ke tempat-tempat berbahaya yang memungkinkan ia mungkin gugur. Pada bulan Juni 1968, Sarwo resmi menjadi komandan Kodam XVII/Cenderawasih dan meningkatkan kekuatan mereka untuk mengantisipasi serangan gerilya dari OPM. Pada bulan Februari 1969, Sarwo melancarkan operasi militer dan nonmiliter yang disebut Operasi Wibawa untuk menghancurkan batalion Ferry Awom dan merebut batalion Lodewijk Mandatjan, dengan tujuan utama untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat dan menumbuhkan pengaruh pemerintah di Papua.[5] OperasiOperasi ini dibagi menjadi 4 tahap. Tahap pertama membersihkan aktivitas OPM dan menangkis serangan mereka melalui pos-pos Indonesia dan menyebarkan pasukan ABRI untuk menunjukkan kehadiran pemerintah. Tahap lainnya adalah di Puterpa, tempat kompi-kompi ABRI bersiap untuk melakukan operasi teritorial. Tahap kedua adalah memastikan kompi-kompi ABRI memusnahkan satu per satu OPM. Pada tahap ketiga dan keempat, kompi-kompi tersebut mengkonfirmasi kemenangan mereka di D-Day untuk mengamankan hasilnya.[6][7] Namun gelombang operasi ini tidak berjalan mulus bagi banyak orang Indonesia di lokasi, seperti Erambo (Merauke), Dubu, Enaratoli dan Wahgete. Kehadiran pemerintah mengakibatkan protes massa dan pemberontakan oleh warga sipil.[4] Referensi
|