Nonkonformitas gender
Nonkonformitas gender atau varians gender adalah ekspresi gender yang ditunjukan oleh individu dengan perilaku, perangai, dan/atau penampilan yang tidak sesuai dengan norma gender maskulin atau feminin. Individu dapat menonkonformkan gendernya tanpa memandang identitas gendernya, baik itu pada orang transgender, nonbiner, maupun cisgender. Orang transgender yang tampak menonkonformkan gendernya setelah transisi akan lebih mungkin untuk mengalami diskriminasi.[1] Terminologi![]() Istilah untuk menggambarkan varians gender diantaranya adalah varian gender (Inggris: gender-variant), menonkonformkan gender (Inggris: gender-nonconforming), ragam gender (Inggris: gender-diverse), dan atipikal gender (Inggris: gender-atypical).[3] Istilah varians gender dan varian gender umumnya digunakan oleh peneliti di bidang psikologi,[4][5][6] psikiatri,[7] antropologi,[8] dan kajian gender, juga oleh para advokat varian gender itu sendiri.[9] Istilah varian gender sengaja dibuat luas—yang meliputi istilah-istilah spesifik seperti transseksual, waria, butch atau buci dan femme atau femi, banci, boti, tomboi, femboi, transvesti, hijra, serta bissu, calabai, dan calalai. Istilah "transgender" biasanya memiliki makna yang lebih sempit dengan konotasi yang berbeda—contohnya merujuk pada identifikasi diri yang berbeda dari gender yang ditunjuk saat lahir.[10] Tidak semua orang varian gender mengidentifikasi diri mereka sebagai transgender, dan tidak semua orang transgender mengidentifikasi diri mereka sebagai varian gender pula—banyak yang mengidentifikasi diri mereka cukup sebagai perempuan dan laki-laki.[6] Identitas gender adalah perasaan internal seseorang atas gendernya sendiri; meski sebagian orang punya identitas gender laki-laki dan perempuan, bagi sebagian orang yang lain—identitas gender merupakan pengalaman yang kompleks.[10] Ekspresi gender adalah manifestasi eksternal dari identitas gender seseorang, biasanya melalui perilaku dan penampilan yang "maskulin", "feminin", maupun varian gender. Asosiasi dengan orientasi seksualNorma gender bervariasi menurut budaya dan negara. Norma gender pun dapat berubah antar periode sejarah di dalam suatu budaya. Contohnya, pegangan tangan antar-lelaki pada suku Pashtun di Afganistan merupakan hal yang biasa, tak ada anggapan bahwa perilaku tersebut dilakukan oleh orang gay—sebagaimana kebudayaan lain yang menganggap bahwa pegangan tangan antar-lelaki adalah bukti hubungan homoseksual. Meski demikian, pada banyak budaya, perilaku seperti menangis, kencenderungan untuk merawat dan mengasuh orang lain dengan cara yang terbuka secara emosional, merawat diri, serta minat pada pekerjaan domestik selain memasak dapat dilihat sebagai aspek nonkonformitas gender pada pria.[11][12][13] Pria yang cenderung memiliki perilaku dan perangai seperti itu acapkali distereotipkan sebagai laki-laki gay. Penelitian menunjukan insidensi yang tinggi pada lelaki gay yang melaporkan bahwa dirinya memiliki perilaku yang atipikal gender di masa kanak-kanak, seperti memiliki minat yang rendah pada bidang atletis dan lebih menyukai permainan boneka. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa ibu dari lelaki gay dapat mengingat perilaku atipikal gender pada putra mereka di masa kanak-kanak dengan frekuensi yang jauh lebih besar daripada ibu berputra lelaki heteroseksual.[14] Pada perempuan, nonkonformitas gender pada masa dewasa acapkali dikaitkan dengan lesbianisme karena terbatasnya kotak-kotak identitas yang dihadapi oleh perempuan pada masa dewasa.[11][12][13] Meski demikian, perempuan lesbian dan biseksual mungkin akan lebih mudah untuk menolak gagasan tradisional tentang keperempuanan karena hukuman sosial atas perilaku tersebut tidak cukup efektif bagi mereka, atau setidaknya hukuman sosialnya tidak lebih efektif dibandingkan dengan pengalaman menjadi gay dan biseksual secara terbuka di masyarakat heteronormatif (yang konsekuensinya telah mereka alami sendiri). Hal ini mungkin dapat melatarbelakangi tingginya nonkonformitas gender yang dilaporkan sendiri oleh orang lesbian.[11][12][13] Teoretis gender Judith Butler, dalam esainya Performative Acts and Gender Constitution: An Essay in Phenomenology and Feminist Theory menyatakan bahwa "gender yang diskret (terkategorikan) adalah bagian dari apa yang memanusiakan individu dalam budaya kontemporer. Betul saja, bahwa mereka yang gagal memerankan gender mereka dengan benar acapkali dihukum. Hal ini karena tidak ada 'esensi' yang diekspresikan maupun dieksternalisasikan oleh gender, serta tidak ada pula cita-cita obyektif yang dicita-citakan oleh gender."[15] Butler berpendapat bahwa gender bukan aspek inheren dari identitas, ia lebih lanjut menyatakan, "...seseorang mungkin akan mencoba mendamaikan tubuh bergender mereka sebagai warisan dari berbagai tindakan yang telah mengendap dalam diri mereka (Inggris: sedimented acts), bukan sebagai struktur, esensi, ataupun fakta yang telah ajeg maupun telah ditentukan sebelumnya, baik yang bersifat alamiah, budaya, maupun bahasa."[15] Penelitian mengenai asosiasi orientasi seksual dengan identitas gender nonbiner menemukan hal ini:[16]
Lelaki biseksual dan gay yang tidak menyesuaikan diri (Inggris: conform) dengan norma gender di lingkungannya mungkin akan mengalami diskriminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menyesuaikan diri dengan norma tersebut. Salah satu penelitian menunjukan bahwa lelaki gay dan biseksual Latino yang menonkonformkan gendernya cenderung menghadapi tingkat homofobia dan tekanan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan mereka yang mengikuti norma gender. Lebih jauh lagi, nonkonformitas terhadap norma gender tradisional dapat meningkatkan risiko percobaan bunuh diri di kalangan remaja gay, sedangkan penelitian pada kalangan lesbian tidak secara konsisten menunjukan pola yang sama.[17] Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih tingginya tingkat penganiayaan terhadap anak laki-laki yang menunjukan sifat-sifat feminin, baik itu oleh orang tua maupun teman sebayanya—khususnya di dunia barat.[18] Lihat pulaCatatan kaki
|