Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Megibung

tradisi Megibung di Bali

Megibung merupakan tradisi makan bersama khas dari Pulau Dewata, Bali, Indonesia.[1] Megibung berasal dari kata gibung yang diberi awalan me-.[1] Gibung artinya kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang, yakni saling berbagi antara satu orang dengan yang lainnya.[1] Megibung adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang untuk duduk makan bersama dan saling berdiskusi dan berbagi pendapat.[1]

Tata cara

warga menyiapkan makanan di atas nampan yang sudah dialasi daun pisang. Nasi putih yang diletakkan di wadah itu disebut gibungan, sedangkan lauk dan sayurnya disebut karangan atau selaan.

Secara tradisi, dibentuk sela (kelompok) berisi 5-8 orang. Mereka duduk bersila dalam lingkaran. Tiap kelompok dipimpin seorang pepara yang bertugas menuang nasi dan lauk dalam wadah. Lauk yang pertama diturunkan adalah sayur sedangkan daging merupakan lauk terakhir yang diturunkan.

Etika makan yang perlu diperhatikan. Yaitu harus mencuci tangan terlebih dahulu, saat makan tidak boleh menjatuhkan sisa makanan dari suapan, tidak boleh mengambil makanan yang ada di sebelah kita, apabila ada yang sudah kenyang tidak boleh meninggalkan tempat atau meninggalkan temannya.

Air minumnya disediakan dalam kendi tanah liat. Cara meminumnya diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi disebut nyeret. Namun sekarang lebih praktis, air kendi diganti dengan air mineral kemasan.[2]

Sejarah

Tradisi Megibung sudah ada sejak abad ke-16, seorang awak kapal Belanda bernama A. Litgenz sempat menulis soal tradisi ini pada 10 Februari 1597 saat kapal-kapal penjelajah Belanda yang dipimpin Laksamana Cornelis de Houtman singgah ke Pulau Bali yang saat itu diperintah oleh Kerajaan Gelgel, semasa kunjungannya tersebut beliau disambut secara hangat oleh pemerintah kerajaan yang dipimpin oleh Patih Ki Ler (Gusti Kaler Pranawa) yang merupakan asisten Raja Sri Dalem Segening, sang raja sendiri merupakan seorang yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada dunia luar, ia dalam catatannya menulis bahwa

Malam itu Kyloer (Ki Ler atau Gusti Kaler Pranawa) menunjukkan segala bentuk persahabatan yang dapat ia tunjukkan, bahkan ia mengizinkan saya makan dari piring yang ia gunakan sendiri. Melalui Juan si Portugis, ia mengatakan bahwa makan (bersama) dari satu piring adalah tanda persahabatan tertinggi di negeri ini (Kerajaan Gelgel)

Pada abad-abad selanjutnya tradisi ini diperkenalkan kembali oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi.[3] Tradisi ini dibawa oleh I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem saat menang perang dalam menaklukan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok.[4] Dahulu, saat prajurit sedang makan, Sang Raja membuat aturan makan bersama dalam posisi melingkar yang dinamakan Megibung.[4] Bahkan, Sang Raja ikut makan bersama dengan para prajuritnya. Tradisi makan bersama ini kemudian mulai berkembang dan diterapkan oleh masyarakat Sasak di Lombok dengan nama "Begibung".[3]

Referensi

  1. ^ a b c d "Tradisi Megibung Dari Karangasem". isi-dps.ac.id. Diakses tanggal 8 Juni 2014.
  2. ^ Maya Safira (27 Maret 2017), Begini Tradisi Orang Bali Megibung, Makan Bersama untuk Kekeluargaan, Detik Food, diakses tanggal 21 Juni 2019[pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b "Tradisi Megibung di Karangasem Bali". wisata.balitoursclub.com. Diarsipkan dari asli tanggal 2014-07-10. Diakses tanggal 8 Juni 2014.
  4. ^ a b "Megibung, Tradisi Makan Bersama Penuh Aturan Ketat". balebengong.net. Diarsipkan dari asli tanggal 2016-11-29. Diakses tanggal 8 Juni 2014.


Kembali kehalaman sebelumnya