Konsep ketuhanan
Konsep ketuhanan atau konsepsi tentang Tuhan dalam pandangan teisme, monoteisme, panteisme, dan panenteisme — serta konsepsi "dewa utama" dalam henoteisme — dapat meliputi berbagai macam pandangan abstrak sebagai berikut:
Catatan awal tentang konsepsi Tuhan monoteistik―yang terwujud dari tradisi henoteisme dan monisme―berasal dari periode Helenistik. Menurut agamaBuddhismeKetuhanan dalam Buddhisme tidak berdasarkan kepada suatu Tuhan personal Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pengatur alam semesta.[a] Sang Buddha menyatakan bahwa pandangan tersebut merupakan suatu pandangan salah (micchādiṭṭhi) yang harus dihindari. Meskipun Buddhisme meyakini eksistensi makhluk-makhluk di alam yang lebih tinggi, seperti dewa dan brahma, mereka tidak diyakini sebagai Tuhan. Kitab-kitab komentar Buddhisme Theravāda merangkum daftar Niyāma ("Hukum Alam"), yaitu suatu hukum impersonal yang mengatur alam semesta dan bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Ledi Sayadaw menyatakan bahwa diperkenalkannya istilah "pañcaniyāma" untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai tanggapan terhadap klaim teisme. Menurut Bhikkhu Sri Paññāvaro Mahāthera, hukum karma (kamma-niyāma) dianggap memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme.[2] Selain itu, beberapa cendekiawan, seperti Cornelis Wowor, menyatakan bahwa Nirwana sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat luhur yang disebut Brahmavihāra, yaitu cinta kasih (mettā), belas kasih (karuṇā), simpati (muditā), dan ketenangan (upekkhā).[3] Menurut Handaka Vijjānanda, sifat-sifat luhur ini dapat diinterpretasikan sebagai sifat-sifat Ketuhanan. HinduismeAgama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal-usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[4] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran. Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain. Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[5] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, tapi pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[6] IslamDalam konsep Islam, Tuhan disebut "Allah" (bahasa Arab: الله) dan diyakini sebagai Zat Mahatinggi yang nyata dan esa, pencipta yang Mahakuat dan Mahatahu, yang abadi, penentu takdir, dan hakim bagi semesta alam.[7][8] Islam menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).[9] Tuhan dalam Islam tidak hanya Mahaagung dan Mahakuasa, tapi juga Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, "Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia".[10] Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi.[11][12] Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh kalangan kedua agama tersebut. KekristenanMenurut Kekristenan, Tuhan atau "Allah" adalah Wujud Mulia Raya Mahakekal yang mencipta dan memelihara segala sesuatu.[13][14][15][16] Umat Kristen percaya bahwa Allah itu transenden (sepenuhnya lepas dan terpisah dari jagat bendawi) sekaligus imanen (melibatkan diri di dalam jagat bendawi).[17][18] Ajaran-ajaran Kristen tentang imanensi Allah, keterlibatan Allah, dan cinta kasih Allah kepada umat manusia memungkiri keyakinan akan kesehakikatan Allah dengan jagat ciptaan-Nya,[19] tetapi meyakini bahwa hakikat keilahian Allah manunggal dengan kodrat kemanusiaan di dalam pribadi Yesus Kristus melalui peristiwa yang disebut "inkarnasi". Meskipun tidak memuat doktrin resmi mengenai Tritunggal seperti Syahadat Nikea, Kitab Suci Perjanjian Baru "berulang kali berbicara tentang Bapa, Putra, dan Roh Kudus... dengan cara yang mengarahkan orang menuju pemahaman tentang Allah yang Tritunggal." Tritunggal bukanlah triteisme, karena tidak menyiratkan keberadaan tiga ilah terpisah.[20] Sekitar tahun 200, Tertulianus merumuskan salah satu versi doktrin Tritunggal yang meneguhkan keilahian Yesus secara gamblang dan nyaris separipurna doktrin Tritunggal definitif yang dirumuskan Konsili Ekumene tahun 381.[21][22] Secara ringkas, boleh dikata doktrin Tritunggal adalah ajaran bahwa "Allah Yang Mahaesa itu wujud di dalam Tiga Pribadi Yang Sehakikat, yakni Pribadi Allah Bapa, Pribadi Allah Putra, dan Pribadi Allah Roh Kudus." Para penganut doktrin Tritunggal, yang merupakan golongan mayoritas di dalam Kekristenan, menjunjung tinggi doktrin ini sebagai inti sari iman mereka, sementara denominasi-denominasi yang memungkiri doktrin Tritunggal memaknai Bapa, Putra, dan Roh Kudus dengan berbagai macam cara. Tradisi TionghoaShangdi adalah Dewa Langit tertinggi dalam agama tradisional Tionghoa. Shangdi dipuja sebagai kekuatan spiritual tertinggi oleh suku Huaxia yang memimpin Dinasti Shang (1600–1046 SM). Dia dipercaya mengatur kemenangan dalam perang, keberhasilan dan kegagalan panen, kondisi cuaca seperti banjir pada Sungai Kuning, dan nasib kerajaan. Shangdi tampaknya menjadi memimpin hierarki para Dewata yang mengontrol alam, dan juga para arwah leluhur.[23] Shangdi mungkin lebih bersifat transenden daripada imanen, hanya bekerja melalui Dewa-Dewi yang lebih rendah tingkatnya.[23] Shangdi dianggap terlalu tinggi untuk dipuja secara langsung oleh manusia biasa. Sebaliknya, raja-raja Shang menyatakan bahwa Shangdi membuat dirinya dapat dihubungi melalui jiwa-jiwa para raja yang telah meninggal,[24] baik raja-raja dalam masa legenda maupun generasi raja-raja yang memerintah saat itu. Semenjak Dinasti Zhou (1046–256 SM), Tian (天) menjadi sinonim dengan Shangdi. Pada Taoisme dan Konfusianisme, Tian sering kali diterjemahkan sebagai "Surga" dan disebutkan dalam hubungannya dengan aspek Di (地) atau "Bumi". Kedua aspek tersebut dalam kosmologi Tao merupakan perwujudan dari sifat dualistik alamiah Taoisme. Konsep Tian meresap ke dalam Konfusianisme. Konfusius memiliki iman yang mendalam terhadap Surga dan percaya bahwa Surga berkuasa atas daya upaya manusia. Dia juga percaya bahwa dirinya mengemban keinginan Surga, dan Surga tidak akan membiarkan utusannya (Konfusius) wafat hingga pekerjaannnya terselesaikan. Berbagai atribut Surga digambarkan dalam karyanya, Analek. CatatanReferensi
|