Geng Solo merujuk kepada polisi dan perwira militer Indonesia yang aktif di kota Surakarta (Solo adalah nama informal untuk Surakarta) selama masa jabatan wali kota Joko Widodo (2005–2012), yang dipromosikan ke posisi-posisi tinggi selama masa jabatan presidensi Widodo. Istilah ini awalnya merujuk kepada perwira polisi tetapi diperluas hingga mencakup perwira militer. Geng Solo dicatat oleh para pengamat sebagai strategi Joko Widodo untuk mengkonsolidasikan angkatan bersenjata dan jaringan kepolisiannya, khususnya sebelum dan sesudah pemilu.[1]
Asal dan cakupan
Istilah ini dicetuskan pada tahun 2019 oleh Neta Pane, Ketua Indonesian Police Watch, sebagai tanggapan atas penunjukan Nana Sudjana sebagai Kapolda DKI Jakarta. Nana sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Surakarta dari tahun 2010 hingga 2011, saat Joko Widodo menjabat sebagai Wali Kota untuk periode keduanya. Neta menyatakan bahwa penunjukan Nana sebagai Kapolda DKI Jakarta lebih karena hubungannya dengan Joko Widodo daripada karena prestasinya.[2][3]
Semula istilah tersebut hanya mencakup anggota polisi yang menjabat sebagai Kapolri atau Wakil Kapolres Surakarta pada masa jabatan Wali Kota Joko Widodo.[2][3] Namun, setelah beberapa kali pengangkatan perwira tinggi militer dari Surakarta, istilah tersebut juga mencakup perwira yang merupakan Komandan Distrik Militer (Dandim) Surakarta atau Komandan Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Adi Soemarmo, Danlanud Adi Soemarmo di Surakarta pada masa jabatan wali kota Joko Widodo.[4][5] Pengecualian dalam hal ini adalah Mohamad Tony Harjono, kepala staf angkatan udara yang diidentifikasi sebagai anggota Geng Solo, meskipun baru bertugas di Adi Soemarmo setelah Joko Widodo menjadi presiden.[6]
Tujuan
Geng ini dimanfaatkan oleh Joko Widodo sebagai cara untuk mengonsolidasikan jaringan angkatan bersenjata dan kepolisiannya sebelum dan sesudah pemilu. Tidak seperti para pendahulunya, Joko Widodo tidak pernah menjalin hubungan yang kuat dengan angkatan bersenjata maupun kepolisian. Bukti konsolidasi tersebut dapat dilihat pada tahun 2015 dan 2020, tak lama setelah kemenangan Joko Widodo dalam pemilihan umum Presiden Indonesia 2014 dan Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019. Ia mengutus dua anggota Geng Solo, Bakti Agus Fadjari dan Agus Subiyanto untuk menjadi komandan militer di Sumatera Barat dan Jawa Barat, dua provinsi tempat Joko Widodo kalah telak dalam pemilu.[4]
Pola serupa dapat diamati menjelang pemilihan umum Presiden Indonesia 2024, di mana putra Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Joko Widodo menugaskan orang-orang Geng Solo-nya ke posisi-posisi di pemerintahan, militer, dan kepolisian Jawa Tengah (provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia). Nana Sudjana dan Ahmad Luthfi, yang merupakan kepala polisi dan wakil kepala polisi selama tahun-tahun terakhir Joko Widodo di Surakarta, masing-masing menjadi penjabat gubernur dan kepala polisi Jawa Tengah, sementara Widi Prasetijono, komandan distrik militer Surakarta dari tahun 2011 hingga 2012, menjadi komandan komando daerah militer Jawa Tengah. Sebuah laporan oleh Kumparan menjuluki mereka sebagai "Les Trois Mousquetaires" (tiga musketir).[7]
Anggota yang teridentifikasi
Polisi
Kapolres Surakarta dijabat oleh seorang perwira polisi berpangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol). Ada upaya untuk melemahkan daya tawar Geng Solo pada masa jabatan Kapolres Idham Azis.[8]
Listyo Sigit Prabowo (kanan) pada tahun 2015 sebagai ajudan Presiden Joko Widodo (kiri)
Listyo Sigit Prabowo: Listyo menjabat sebagai Kapolres Surakarta dari tahun 2011 hingga 2012. Pada awal masa jabatan Presiden Joko Widodo, Listyo menjadi ajudannya selama dua tahun. Setelah itu, kariernya melejit dengan cepat, mulai dari Kapolda Banten, Kabid Profesi dan Pengamanan, hingga Kepala Badan Reserse Kriminal. Ia dilantik sebagai Kapolri pada bulan Desember 2021, menjadikannya Kapolri termuda sejak tahun 1996.[5][9]
Nana Sudjana: Nana menjabat sebagai Kapolres Surakarta pada tahun 2010. Sebutan Geng Solo awalnya mencuat karena ia diangkat menjadi Kapolda Metro Jaya pada tahun 2019.[2] Namun, pada tahun 2020, ia dicopot dari jabatannya. Kapolri Idham Azis menyatakan bahwa alasannya adalah karena kegagalan dalam mengendalikan massa saat kedatangan Rizieq Shihab di Indonesia sesuai dengan protokol COVID-19. Namun, para analis berpendapat bahwa pencopotan tersebut lebih mungkin karena upaya Idham dalam mempromosikan gengnya sendiri.[8] Setelah pensiun, Nana diangkat sebagai penjabat gubernur Jawa Tengah.[10]
Lutfi Lubihanto: Luthfi menjabat dua kali sebagai Kapolres Surakarta, pertama pada awal tahun 2005 dan kedua dari tahun 2006 hingga 2008. Seperti rekan-rekannya di Geng Solo, ia dengan cepat dipromosikan setelah masa jabatan presiden Joko Widodo, dengan menduduki jabatan wakil kepala badan intelijen dan keamanan pada tahun 2015.[11] Pada tahun 2016, setelah pengangkatan Tito Karnavian sebagai Kapolri, Widodo mencoba mencalonkan Luthfi sebagai wakilnya, tetapi mendapat penolakan luas karena kurangnya kapasitas dan senioritasnya. Luthfi malah diangkat sebagai Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, jabatan yang setara dengan bintang tiga.[12][13]
Ahmad Luthfi: Ahmad menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah Surakarta pada tahun 2011. Setahun setelah Widodo berkuasa, ia dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Daerah Surakarta. Ia menjadi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah pada tahun 2020 dan menjadi perwira polisi pertama di luar akademi kepolisian yang menduduki jabatan tersebut.[6] Neta Pane, Ketua Indonesian Police Watch, memperkirakan bahwa Ahmad Luthfi sedang dipersiapkan oleh Widodo sebagai Kapolda berikutnya.[14] Setelah masa jabatan kedua Widodo berakhir, Luthfi berhasil maju dalam pemilihan umum Gubernur Jawa Tengah 2024. Selama kampanye, Widodo aktif berkampanye untuk Luthfi.[15]
Tentara
Jabatan Pangdam Surakarta dipegang oleh seorang perwira TNI berpangkat letnan kolonel. Ada enam orang letnan kolonel yang menjabat sebagai Pangdam Surakarta selama masa jabatan Joko Widodo sebagai wali kota. Dari keenam perwira tersebut, lima orang telah mencapai atau lulus pangkat mayor jenderal menjelang akhir masa jabatan presiden Joko Widodo. Pengecualian penting adalah Sadputro Adi Nugroho, mantan Pangdam Surakarta yang diberhentikan secara tidak hormat dari militer karena desersi.[16]
Agus Subiyanto sebagai Pangdam Surakarta, 2009
Agus Subiyanto: Anggota pasukan elite Kopassus, Agus pernah menjabat sebagai Komandan Distrik Militer Surakarta dari tahun 2009 hingga 2011. Setelah Joko Widodo naik jabatan menjadi presiden, ia menduduki jabatan militer bergengsi, seperti Panglima Daerah Militer Bogor (Suryakancana), Panglima Pasukan Pengamanan Presiden, dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Panglima Angkatan Bersenjata sejak November 2023.[5]
Widi Prasetijono: Seperti Agus, Widi juga merupakan anggota Kopassus, dan komandan distrik militer selama dua tahun terakhir masa jabatan wali kota Joko Widodo (2011-2012). Setelah Joko Widodo menjadi presiden, ia menunjuk Widi sebagai ajudannya, bertugas hingga 2016. Ia kemudian memimpin Daerah Militer Surakarta (Warastrama), Daerah Militer Jawa Tengah (Diponegoro), dan komandan jenderal Kopassus.[5] Pada Desember 2023, ia telah menjadi komandan Komando Doktrin, Pendidikan, dan Pelatihan Angkatan Darat dan satu-satunya letnan jenderal di kelasnya tahun 1993.[17]
Widi Prasetijono (belakang), ajudan Joko Widodo, mengawal Widodo (depan) dalam parade setelah pelantikannya yang pertama.
Sejumlah perwira tinggi militer pernah ditugaskan untuk memimpin Daerah Militer Surakarta (Warastrama) pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka juga teridentifikasi sebagai anggota Geng Solo. Berbeda dengan daerah militer lain di Indonesia yang memiliki seorang brigadir jenderal sebagai panglimanya, Daerah Militer Surakarta dikomandoi oleh seorang kolonel karena wilayah tersebut relatif stabil. Contohnya termasuk Maruli Simanjuntak, yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat; Bakti Agus Fadjari, yang menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat; Deddy Suryadi, yang menjadi Komandan Jenderal Kopassus; Achiruddin dan Rafael Granada Baay yang menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden.[4][16]
Angkatan Udara
Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo dianggap sebagai wakil angkatan udara di Surakarta. Jabatan yang diberikan kepada seorang kolonel angkatan udara itu sebagian besar tidak penting, karena pangkalan udara tersebut digunakan untuk tujuan pelatihan. Setelah Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan, sebagian besar pejabatnya mulai menduduki jabatan penting di angkatan udara.[4]
Hadi Tjahjanto: Hadi menjalin hubungan dengan Joko Widodo[1] selama masa jabatannya sebagai komandan pangkalan udara Adi Soemarmo dari tahun 2010 hingga 2011.[4] Setelah Joko Widodo berkuasa, Hadi diangkat sebagai sekretaris militer Joko Widodo, dan kemudian sebagai inspektur jenderal kementerian pertahanan. Ia kemudian menjadi kepala staf angkatan udara dari tahun 2017 hingga 2018 dan panglima angkatan bersenjata dari tahun 2017 hingga 2021. Setelah pensiun, ia diangkat oleh Joko Widodo sebagai menteri agraria dan tata ruang serta menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan.[6][16]
Mohamad Tony Harjono: Harjono merupakan ajudan Joko Widodo pada periode 2014 hingga 2016. Kemudian ia ditugaskan sebagai Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo pada tahun 2016 hingga 2018, sebelum menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pada tahun 2024.[6]
Presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo, dan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, pada pelantikan Widodo pada tahun 2014. Widi Prasetijono dan Mohamad Tony Harjono terlihat berdiri di belakang Joko Widodo.
Geng lainnya
Selain Geng Solo, Neta Pane juga menyinggung soal keberadaan geng-geng lain yang muncul dalam penjaringan bakal calon Kapolri. Geng Pejaten adalah geng yang berisi jenderal-jenderal polisi yang dekat dengan Kepala BIN Budi Gunawan (Pejaten merujuk pada lokasi kantor Budi sebagai Kepala BIN), sedangkan Geng Makassar adalah geng yang berasal dari Makassar atau Sulawesi dan memiliki hubungan dengan Kapolri Idham Azis, Wakil Kapolri Syafruddin Kambo, atau Wakil Presiden Jusuf Kalla. Neta juga menyebut para jenderal polisi yang tidak berafiliasi dengan Geng Independen.[18][19]
Tanggapan
Sejumlah pejabat pemerintah membantah keberadaan Geng Solo. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah tudingan terkait keberadaan Geng Solo dan menegaskan pengangkatan yang dilakukan Joko Widodo lebih berdasarkan pada pencarian bakat, bukan afiliasi pribadi.[20] Menanggapi pengangkatan Nana Sudjana, Juru Bicara Polri M. Iqbal membantah tudingan Geng Solo dan menyatakan bahwa kepolisian memiliki mekanisme tersendiri dalam pengangkatannya.[21] Anggota DPR dari Partai NasdemAhmad Sahroni menyatakan tudingan bahwa anggota Geng Solo ditempatkan pada posisi strategis tidak berdasar.[22]