Pada sekitar tahun 1969, terdapat tiga lingkungan di kawasan Cilandak yang merupakan bagian dari Gereja Santo Yohanes Penginjil, Blok B, yakni Lingkungan Fransiskus Xaverius, Lingkungan Maria Fatima, dan Lingkungan Kristoforus. Umat yang tinggal di Cilandak memiliki pemikiran untuk memiliki gereja sendiri yang dapat menjadi tempat peribadatan yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.[1]
Gagasan ini mulai dikemukakan pada tahun 1969, dengan umat yang turut serta mengumpulkan dana dari kolekte misa bulanan untuk membangun sebuah kapel. Dukungan dari Paroki Santo Yohanes Penginjil termasuk melalui penggalangan dana yang terus dilakukan, hingga sekitar tahun 1977. Pada tahun 1976, rencana untuk membangun gereja di Cilandak mulai bergulir. Panitia dibentuk untuk mencari lokasi yang tepat untuk pembangunan gereja. Pada 7 Juli 1977, pihak Kelurahan Cilandak mengeluarkan surat yang menyatakan adanya 946 warga Katolik di wilayah tersebut, yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan izin pembangunan gereja.[1]
Pada 11 Oktober 1977, Uskup Agung Jakarta, Leo Soekoto, S.J., menugaskan seorang imam untuk memimpin calon paroki baru di Cilandak, yakni R.P. Mark Fortner, S.C.J., seorang imam Dehonian asal Amerika Serikat yang awalnya bertugas di Gereja Santo Antonius Padua, Bidaracina. Pastor Fortner kemudian diangkat sebagai kepala paroki pada 15 Oktober 1977. Dengan keputusan ini, Paroki Cilandak resmi berdiri. Pastor Fortner mulai tinggal di rumah seorang umat yang menjadi kediaman sekaligus pastoran pertama pada 30 Oktober 1977. Pada kesempatan tersebut, diadakan pertemuan dengan ketua lingkungan dan tokoh umat setempat untuk membentuk kepengurusan paroki serta membahas dana pembangunan gereja. Dalam pertemuan selanjutnya dengan Uskup Agung Soekoto, Santo Stefanus ditetapkan sebagai pelindung paroki.[1]
Perayaan Ekaristi pertama kali diadakan pada 13 November 1977 dengan menyewa tempat di Sport Hall Joint Embassy School (JES) di Terogong. Perayaan Ekaristi juga sempat diselenggarakan di Wisma Tan Miyat.[2] Pada tahun 1978, tercatat sekitar 619 keluarga atau 2850 jiwa yang menjadi warga Paroki Cilandak. Karena belum memiliki gedung gereja dan tempat pertemuan sendiri, kegiatan gerejawi diadakan di berbagai tempat secara bergantian.[1] Pada April 1982, Gedung Joint Embassy School mengalami kebakaran, sehingga peribadatan tidak lagi dapat dilaksanakan di tempat itu. Umat kemudian mendapatkan pinjaman bengkel kayu di Jalan R.S. Fatmawati yang digunakan sebagai tempat peribadatan sementara.
Pembangunan gereja
Pada perayaan 25 tahun (Pesta Perak) Paroki Santo Yohanes Penginjil Blok B tanggal 27 Desember 1977, Uskup Agung Soekoto, yang sebelumnya merupakan Pastor Kepala Paroki Blok B, memberikan sebuah batu bata sebagai simbol bahwa umat Cilandak harus membangun gereja mereka sendiri. Batu bata ini kemudian ditanam di depan altar Gereja Santo Stefanus sebagai simbol perjuangan dan pengabdian umat.[1]
Gereja yang terbaik adalah gereja yang merupakan persembahan seluruh umat kepada Tuhan.
— Leo Soekoto, Tulisan pada batu bata dalam rangka Pesta Perak Paroki Blok B
Pada 29 Januari 1978, panitia pembangunan gereja dibentuk di bawah pimpinan Frans Seda. Pada 4 Juni 1979, umat Katolik di Cilandak mendapatkan izin dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mendirikan gereja di atas tanah seluas 3.792 m², yang kemudian mengalami perluasan menjadi sekitar 7.440 m², yang sempat direncanakan untuk membangun Kantor Kecamatan Cilandak. Pada 1 Mei 1981, pembangunan Gereja Santo Stefanus selesai, dan gereja ini diresmikan serta diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto. Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo turut hadir menyaksikan peresmian gereja.[1][3]
Pembangunan fasilitas
Setelah memiliki gedung gereja, pembangunan dilakukan untuk memiliki pastoran sebagai rumah tinggal bagi para imam yang bertugas digereja ini. Pada 8 November 1987, gedung pastoran dan aula paroki diresmikan pada perayaan ulang tahun kesepuluh Paroki Cilandak.[1]
Bangunan
Bangunan Gereja Santo Stefanus mengadaptasi arsitektur Jawa dengan konsep rumah joglo. Panti imam gereja berada sebagai poros di bagian tengah gereja, yang dikelilingi oleh umat dari keempat sisi. Di panti imam yang berbentuk segi empat ini, terdapat tabernakel gereja, mimbar imam, dan meja altar. Panti imam ini dikelilingi oleh empat pilar dengan ukiran kayu tradisional di atas langit-langit altar.[4] Relief jalan salib yang ada di sekeliling ruang utama gereja beserta dengan lampu tabernakel merupakan buatan perupa Gregorius Sidharta.
Misa harian diselenggarakan pada pagi hari (05.30). Gereja ini juga menyelenggarakan perayaan Ekaristi mingguan pada hari Sabtu (17.00) dan Minggu (06.00, 08.00, 10.30, dan 17.00). Gereja ini juga menyelenggarakan Misa pada Jumat Pertama (12.00 dan 18.00 WIB). Liturgi umumnya diselenggarakan dalam Bahasa Indonesia.