Pada awal tahun 1940-an, daerah Kramatjati masih berupa hutan jati keramat yang sepi dan jarang dihuni, sehingga dapat dianggap sebagai daerah yang keramat. Kampung-kampung kecil berdiri di atas tanah lapang, dihuni oleh penduduk asli yang hidup sederhana. Letak geografis yang strategis membuat daerah ini menjadi pintu masuk ke Jakarta dari arah Bogor dan Timur. Pada Zaman Belanda, Kramatjati dijadikan sebagai lokasi untuk pos-pos militer seperti tangsi militer Halim, Asrama Batalyon Manado 3 Mei, dan Lapangan Terbang Militer Halim. Pada masa pendudukan Jepang, daerah ini tetap menjadi basis strategis militer.[1]
Pada tahun 1944 dalam masa pengungsian akibat perang, Vikaris Apostolik Batavia, Petrus Johannes Willekens, S.J. menemukan adanya 625 orang Katolik Manado yang tersebar di Tanjung Barat (kini Cijantung dan Pasar Rebo) dan Tanjung Timur (sekitar wilayah Pasar Rebo). Mereka merupakan orang-orang Heiho yang dipindahkan oleh tentara Jepang ke Jakarta. Pastor J. Moningka, Pr. ditugaskan dari Paroki Katedral mulai melayani mereka sejak 14 Mei 1944, dengan mengadakan ibadat di bangunan kecil di belakang tangsi militer atas izin Jepang. Saat Jepang menyerah pada tahun 1945, tentara Sekutu masuk dan mengambl alih Lapangan Terbang Militer Halim, Asrama Veldpolite Cililitan, dan sejumlah tempat strategis sampai daerah Tanjung. Sementara itu, para pastor tentara Belanda mengambil alih pelayanan rohani, memimpin misa di tangsi-tangsi, dan merawat umat Katolik yang masih bertahan di daerah ini.[1]
Setelah kemerdekaan saat Belanda mulai meninggalkan wilayah Indonesia, pelayanan umat diambil alih para imam yang bertugas untuk Tentara Nasional Indonesia. Seorang imam Yesuit, D. Daruwendra, S.J., diangkat menjadi Paderi Tentara Pembantu Djatinegara pada tahun 1951. Pada tahun 1954, wilayah Cililitan masuk ke dalam reksa pastoral Paroki Katedral. Panitia pembangunan gereja pertama dibentuk oleh Mgr. Adrianus Djajasepoetra, S.J. pada 13 April 1954 dengan nama Panitia Pembangunan Gereja Kramatjati. Panitia ini mendapat izin menggunakan aula di Asrama Tiga Mei sebagai tempat peribadatan, menjadikannya sebagai pusat kegiatan rohani hingga jumlah umat mencapai 488 orang pada 1955.[1]
Pada tahun 1957, seluruh wilayah Kramatjati yang terbentang dari Halim sampai Cijantung diserahkan kepada Paroki Bidaracina. Pastor Suitbertus Bratasoeganda, S.J. ditugaskan untuk membina Stasi Kramatjati. Pastor Brotosoegondo merupakan pastor pembantu yang bertempat tinggal di Bidaracina sekaligus merupakan seorang pastor tentara.[2]
Pada 1959, kebakaran besar melanda tangsi militer Tiga Mei, menghancurkan sebagian besar bangunan dan memaksa banyak keluarga meninggalkan daerah itu. Umat yang tersisa hanya 15 keluarga, dan aula yang digunakan sebagai kapel kembali diambil alih oleh militer. Dalam keterbatasan, warga Katolik Asrama Batalyon Siliwangi (BS) berhasil mendapat izin menggunakan barak kosong sebagai kapel darurat, yang juga digunakan bersama umat Protestan. Saat itu kegiatan rohani dan pelajaran agama di tangsi BS juga mulai berlangsung. Pastor A.V.H. Poedjahandaja, Pr., juga menyarankan umat untuk mulai bergerak ke tengah masyarakat sipil, sehingga membuka pertemuan doa di kampung-kampung sekitar seperti di Intirub (Cililitan Besar), Condet, dan Kampung Asem pada tahun 1963. Hal ini menjadi langkah awal perubahan fokus pastoral menuju pengembangan umat berbasis komunitas sipil. Pada akhir tahun 1963, pengurus Gereja Bidaracina membentuk kring Cililitan dengan umat 600 orang. Kring ini dilayani oleh R.P. Robertus Bakker, S.J. yang bertugas di Paroki Bidaracina. Selain Cililitan, ia juga bertugas untuk umat di Stasi Kampung Sawah. Ia melihat kondisi di Kapel BS yang hanya menampung 60 orang, tetapi Misa dihadiri sekitar 200 orang.[1]
Pembangunan gedung gereja
Pada tahun 1964, jumlah umat mencapai 700 orang. Mereka mulai memiliki pemikiran untuk membangun gedung gereja yang diharapkan dapat menjadi paroki sendiri. Hingga akhir tahun 1965, panitia mendapatkan tanah dengan total seluas 10.910 m² yang terletak di belakang Asrama Tiga Mei. Izin Mendirikan Bangunan telah terbit pada 15 April 1964. Dalam perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh Liem Bwan Tjie, gereja memiliki ukuran bangunan 800 m² dengan bahan konstruksi berupa baja bekas yang berasal dari Gudang AURI. Pembangunan fondasi dimulai pada Juni 1966, karena kendala finansial yang dihadapi. Pembangunan kembali terganggu oleh krisis finansial pada 1966 akibat sanering uang, membuat proyek terhenti sementara. Melalui sejumlah usaha oleh panitia dan umat, dana perlahan terkumpul kembali, dan pembangunan dilanjutkan hingga 75% selesai pada 1967. Romo Poedjahandaja yang menggantikan Pastor Bakker yang cuti, mengambil keputusan untuk memindahkan lokasi peribadatan dari Kapel BS menuju ke gedung gereja yang baru, walaupun pembangunan gereja belum sepenuhnya rampung.
Dari segi organisasi umat, pada tahun 1965 Pastor Bakker membentuk sejumlah seksi teritorial dan bidang pelayanan agar tertatanya kegiatan pembinaan kerohanian dan juga pekerjaan administrasi kring. Pada 22 Agustus 1968, Panitia Pembangunan Compleks Gereja Cililitan dibentuk, dan wilayah gereja ditetapkan mencakup Cililitan, Halim, Pondok Gede, dan Kampung Sawah. Paroki ini diberi nama pelindung Santo Robertus Bellarminus, sesuai dengan nama permandian Pastor R. Bakker. Wilayah paroki dibagi menjadi empat kring. Sekembalinya dari cutinya, Pastor Bakker diangkat sebagai pastor kepala Paroki Cililitan dan berhak menyusun administrasi dan buku paroki. Uskup Agung Djakarta, Adrianus Djajasepoetra, S.J. mendorong agar pembangunan gereja dapat segera diselesaikan seraya membentuk kemandirian Cililitan sebagai paroki independen.
Gereja baru selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 29 September 1968 oleh Uskup Agung Djajasepoetra. Peresmian ini sempat direncanakan untuk dilaksanakan pada 17 September yang bertepatan dengan Pesta Santo Robertus Bellarminus, tetapi konstruksi bangunan saat itu belum sepenuhnya memadai.
Perkembangan umat
Perkembangan Paroki Cililitan dipengaruhi oleh Orang Muda Katolik yang berada di Paroki Cililitan. Beberapa misa diselenggarakan secara khusus sebagai bentuk ekspresi iman para anggota OMK.
Di dalam gereja terdapat sebuah orgel bambu. Alat pengiring misa ini dibuat dari bahan bambu, meskipun tidak digunakan dalam seluruh Misa. Pembuatan orgel ini diprakarsai oleh R.P. Antonius Soetanta, S.J. yang pertama kali membuat sebuah orgel pada tahun 1988 di Belgia.[4][5]
Peribadatan
Misa harian diselenggarakan pada sore hari (18.00 WIB). Gereja ini juga menyelenggarakan perayaan Ekaristi mingguan pada hari Sabtu sore (17.30 WIB) dan pada hari Minggu (06.30, 08.30, dan 17.30 WIB).
Pendidikan
Gereja Santo Robertus Bellarminus terletak dalam kompleks yang sama dengan Persekolahan Santo Markus.[6]
Imam
Gereja Santo Robertus Bellarminus kini berada dalam reksa pastoral para imam Serikat Yesus. Sejak April 2022, R.P. Ignatius Swasono, S.J. bertugas sebagai Pastor Kepala. Ia didampingi oleh dua pastor rekan, yakni R.P. Yohanes Harry Kristanto, S.J. (sejak September 2022) dan R.P. Paulus Andri Astanto, S.J. (sejak Januari 2023).[7]