Nama Ancol merujuk pada sebuah kali yang terletak sekitar 3 km di timur Pelabuhan Sunda Kelapa dan daerah yang mengelilinginya. Mulut Kali Ancol terletak pada daerah yang kini menjadi Putri Duyung Cottage. Daerah yang mengelilingi kali Ancol dulunya adalah dataran rendah pantai yang berisi air payau, hutan mangrove dan rawa-rawa.
Ada juga yang menyebutkan bahwasanya nama Ancol merupakan bunyi dari suatu benda kecil jatuh ke air yang menimbulkan suara dan gemercik kecil bersuara Anclom dan lambat laun menjadi Ancol.
…Disilihan inya ku prebu Surawisésa, inya nu surup ka padarén, kasuran, kadiran, kuwanén. Prangrang lima welas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi….
Kedatangan orang Eropa
Ketika Imperium Portugis tiba pada akhir abad ke-16, Kerajaan SundaPakuan Pajajaran yang beragama Hindu menerima kedatangan mereka dan berharap bahwa orang Portugis akan melindungi mereka dari serangan Kesultanan Banten, Demak, dan Cirebon, yang beragama Islam. Persekutuan dengan orang Portugis tersebut terjadi, tetapi ketiga kesultanan tersebut yang berada di bawah kepemimpinan Fatahillah berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan Pajajaran dan Imperium Portugis dengan cara menyerang pelabuhan ini dari daerah timur pantai Ancol. Sunda Kalapa kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta.
Kemudian di akhir abad ke-17, pemimpin Jayakarta dikalahkan oleh Belanda. Kota ini kemudian sama sekali dihilangkan dan sebuah kota berbenteng baru, Batavia, didirikan di pesisir timur Kali Ciliwung. Untuk mengendalikan perairan Batavia, sejumlah kanal didirikan yang menghubungkan kanal Batavia dengan kali-kali di dekatnya, yaitu Muara Angke dan Kali Ancol. Kanal yang menghubungkan Batavia dengan Ancol dinamakan Antjolschevaart (bahasa Indonesia: Kanal Ancol) dan sudah ada pada tahun 1650.[2] Beberapa benteng dan pertahanan lainnya kemudian didirikan untuk melindungi kanal-kanal tersebut, misalnya sconce (semacam tanggul tinggi) yang disebut Zouteland (bahasa Indonesia: "air payau") oleh orang Belanda. Sconce ini melindungi titik pertemuan Kanal Ancol dengan Kali Ancol.[3] Pada abad ke-18, sconce ini dikembangkan menjadi sebuah benteng yang dinamai Fort Ancol. Pada akhir abad ke-18, terdapat dua benteng yang melindungi muara Kali Ancol: Slingerland di bagian timur dan Zeelucht di bagian barat.[4]
Pada abad yang sama, di daerah ini pula, Gubernur-Jendral Jeremias van Riemsdijk (menjabat 1775) sempat membangun resor pantai liburan berbentuk vila pantai. Ia juga mereklamasi daerah sekitar vila pantainya dari rawa-rawa menjadi tanah produktif dan membangun areal pertanian. Gubernur-Jendral Adriaan Valckenier kemudian mengikuti juga membangun resor di sini.[5] Resor-resor tersebut, yang terletak di pinggir timur Kali Ancol, dinamakan Slingerland atau Sanggerlang (kini menjadi daerah pemukiman di Ancol). Slingerland pernah menjadi daerah yang populer untuk liburan kaum elit Belanda. Sebuah kuil Tionghoa, Vihara Bahtera Bakti, yang dibangun pada tahun 1650, adalah salah satu bangunan yang pertama kali dibangun di Ancol.
Pada masa pemerintahan Gubernur-Jendral Herman Willem Daendels (1808–1811), daerah Batavia Lama (bahasa Belanda: Oud Batavia) kemudian ditinggalkan secara bertahap dan dipindahkan ke Weltevreden (kini Lapangan Banteng). Semua bangunan di Batavia Lama, termasuk Kastel Batavia dan resor-resor Gubernur-Jendral sebelumnya, dihancurkan dan ditinggalkan. Setelah itu, daerah Ancol menjadi terpuruk dan ditinggalkan.[6]
Pembangunan pelabuhan baru di Tanjung Priok pada akhir abad ke-19 menyebabkan Kanal Ancol yang pada waktu itu berumur 200 tahun diperpanjang hingga menjangkau Tanjung Priok. Jalur kereta api juga didirikan sepanjang Kanal Ancol yang menghubungkan Stasiun N.I.S Batavia dengan Stasiun Tanjung Priok.[7] Meskipun ada infrastruktur baru seperti itu, daerah Ancol tetap kosong dan tidak dihuni.
Periode modern
Perang Dunia II
Pada masa penjajahan Jepang, daerah rawa Ancol digunakan sebagai tempat eksekusi dan pekuburan orang-orang yang menolak tentara Jepang, terutama orang Belanda. Korban-korban ini kemudian dikubur ulang di pekuburan baru di pantai Ancol, Kuburan Ancol (Ereveld Ancol), yang dibuka pada 14 September, 1946. Kuburan tersebut mengandung lebih dari 2.000 korban eksekusi pada masa pendudukan Jepang. Banyak dari mereka yang tidak diketahui identitasnya. Akibat dekat dengan pantai, kuburan ini terancam tenggelam.[8]
Interim
Selain pekuburan, daerah Ancol tetap tidak dihuni selama pascaperang hingga tahun 1960an. Daerah ini sempat menjadi hutan monyet dengan genus Macacus. Orang-orang menyebutnya "monyet Ancol" dan mereka menghuni daerah yang kini berada di rel kereta ujung Jalan Gunung Sahari, seberang gerbang Taman Impian Jaya Ancol. Monyet Ancol ini menjadi awal mula celaan orang Jakarta kepada orang-orang yang tidak mereka sukai atau berperilaku aneh: "Dasar lu monyet Ancol!"
Selain monyet, fauna yang bisa ditemukan di daerah ini adalah buaya. Daerah Ancol, ketika tidak berpenghuni, juga penuh dengan pohon palem, mangrove, dan kelapa, dan merupakan tempat memancing yang lumayan populer.[9]
Pada tahun 1960, Ancol masih tidak berkembang, masih berbentuk rawa dan empang yang penuh dengan nyamuk. Presiden Sukarno, yang terkenal banyak melakukan proyek mercusuar di seluruh Jakarta, mencetuskan ide mereklamasi rawa Ancol dan menjadikannya pusat rekreasi dan hiburan terbesar Jakarta. Ide ini kemudian dimulai pada 1965 melawan konsep lain yang mengembangkan Ancol menjadi daerah industri.[10]
Perkembangan tersebut dimulai pada masa Gubernur Ali Sadikin (1966). Kompleks ini kemudian disebut Taman Impian Jaya Ancol. Fasilitas pertamanya adalah pantai Ancol Bina Ria, yang pada tahun 1970an terkenal memiliki bioskop mobil. Dunia Fantasi dibangun pada tahun 1984. Kini, area rekreasi 554 hektar itu dikenal sebagai Ancol Jakarta Bay City, berisi hotel, bungalow, pantai, taman rekreasi, pasar tradisional, akuarium samudra, lapangan golf dan sebuah marina.
Demografi
Pada tahun 2020, penduduk kelurahan ini berjumlah 29.978 jiwa; terpecah menjadi laki-laki sebanyak 15.517 jiwa dan perempuan sebanyak 14.461 jiwa, dengan kepadatan penduduk 7.952 jiwa/km2.[11]
^Heymerd van Breda (1788). Kaart van Batavia en omgeving [Map of Batavia and surrounding] (Peta) (dalam bahasa Dutch).Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-24. Diakses tanggal 2010-03-21.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Adolf Heuken SJ (2007). Historical Sites of Jakarta. Cipta Loka Caraka Foundation, Jakarta.
^Kaart van Batavia en Omstreken [Map of Batavia and Surrounding] (Peta) (edisi ke-Batavia). 1:20000 (dalam bahasa Dutch). Kartografi oleh Topografische Bureau. 1897. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 18, 2016. Diakses tanggal February 14, 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"Ereveld Ancol". Oorlogsgravenstichting. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 19, 2003. Diakses tanggal March 21, 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)