Puasa intermiten merupakan salah satu dari berbagai jadwal waktu makan yang berputar antara puasa dan non-puasa selama periode tertentu.[1][2] Metode puasa intermiten antara lain puasa bergantian, puasa berkala, seperti diet 5:2, dan makan dengan batasan waktu harian. [1]
Puasa intermiten diteliti untuk mengetahui apakah puasa dapat mengurangi risiko penyakit terkait pola makan, seperti sindrom metabolik.[1][3][4][5] Tinjauan tahun 2019 menyimpulkan bahwa puasa intermiten dapat membantu mengatasi obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, dan peradangan.[1] Berdasarkan bukti awal bahwa puasa intermiten umumnya aman.
Dampak buruk dari puasa intermiten belum diteliti secara komprehensif, sehingga beberapa akademisi menyebut risikonya sebagai pola makan.[6]National Institute on Aging menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan puasa intermiten, dan menganjurkan untuk konsultasi layanan kesehatan tentang manfaat dan risikonya sebelum membuat perubahan signifikan pada pola makan seseorang. [7]
Intermittent fasting tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan ibu menyusui, anak-anak dan remaja dibawah usia 18 tahun, orang beresiko hipoglikemia, diabetes atau orang dengan penyakit kronis tertentu karena adanya efek samping yang berbeda-beda untuk setiap orang. Perlu adanya konsultasi dengan dokter apabila mengalami efek seperti sakit kepala, mual atau gejala lain setelah mencoba intermittent fasting.[8]
Puasa ada dalam berbagai praktik keagamaan, termasuk Budha, Kristen, Hindu, Islam, Jainisme, dan Yudaisme[2][9][10]
Referensi
^ abcdde Cabo R, Mattson MP (December 2019). "Effects of Intermittent Fasting on Health, Aging, and Disease". The New England Journal of Medicine. 381 (26): 2541–2551. doi:10.1056/NEJMra1905136. PMID31881139. S2CID209498984.
^Persynaki A, Karras S, Pichard C (March 2017). "Unraveling the metabolic health benefits of fasting related to religious beliefs: A narrative review". Nutrition. 35: 14–20. doi:10.1016/j.nut.2016.10.005. PMID28241983.