Politik pascakebenaran (disebut juga politik pascafakta) adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan.[1][2] Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkali-kali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pascakebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran.[3] Pascakebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua.[4] Meski pascakebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. Dalam novel Nineteen Eighty-Four, George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu.
Politik pasca-kebenaran (atau post-truth) disinyalir merupakan penyesuaian dari kata 'truthiness' yang kali pertama diciptakan Stephen Colbert dan terpilih sebagai Word of the Year tahun 2005 menurut American Dialect Society (ADS).[14] Kata truthiness sendiri memiliki arti yang hampir serupa, yakni informasi yang dianggap atau dirasakan sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran --maka terdapat imbuhan '-y' dalam kata dasar 'truthy' atau '-ish' dalam kata 'truthish'. Penambatan partikel 'post-' di depan bukan dimaknai dalam dimensi waktu, melainkan bentuk pengikisan makna ortodoks atau 'kemurnian' kata yang dimaksud.
^Kalpokas, Ignas (2019). A political theory of post-truth. Palgrave pivot. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan. ISBN978-3-319-97713-3.
^Cosentino, Gabriele (2020). Social media and the post-truth world order: the global dynamics of disinformation. Palgrave pivot. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan. ISBN978-3-030-43005-4.
Rabin Havt, Ari, and Media Matters for America. Lies, Incorporated: The World of Post-Truth Politics (2016) online
Soldatov, Andrei and Irina Boroganhe. Red Web: The Struggle Between Russia’s Digital Dictators and the New Online Revolutionaries (2015).
Tallis, Benjamin. "Living in Post-truth." New Perspectives. Interdisciplinary Journal of Central & East European Politics and International Relations 24#1 (2016): 7–18.