Platonisme
Platonisme adalah ajaran filsafat Plato dan sistem-sistem filsafat turunannya, sekalipun kaum platonis dewasa ini tidak selalu mengikuti semua doktrin Plato.[1] Platonisme sangat mempengaruhi alam pikiran Eropa. Platonisme sekurang-kurangnya membenarkan keberadaan objek-objek abstrak, yang dikatakan berbeda dari alam lahiriah yang dapat diindrai maupun alam kesadaran yang bersifat batiniah.[1] Objek-objek abstrak tersebut dapat berupa proprietas, tipe, proposisi, makna, bilangan, himpunan, nilai kebenaran, dan seterusnya (lihat teori objek abstrak). Filsuf-filsuf yang membenarkan eksistensi objek-objek abstrak kadang-kadang disebut kaum platonis, sementara filsul-filsuf yang mengingkarinya kadang-kadang disebut kaum nominalis. Istilah "platonisme" dan "nominalisme" pun memiliki makna yang sudah tetap dan baku di dalam sejarah filsafat, yakni sebagai sebutan bagi pendirian-pendirian yang nyaris tidak ada kaitannya dengan pemahaman modern tentang objek abstrak.[2] Dalam makna sempit, istilah platonisme dapat merujuk pada ajaran Realisme Platonik. Konsep utama Platonisme, yakni Teori Alam Idea, memisahkan antara realitas yang tercerap tetapi tak terpahami, dengan realitas yang tak tercerap tetapi terpahami. Teori Alam Idea ini dipaparkan dalam dialog-dialog Plato, seperti dalam Faidon, Simposion, dan Politeia, sebagai arketipe-arketipe sempurna dan transenden yang padanya objek-objek alam indriawi hanya sekadar tiruannya yang tak sempurna. Dalam Politeia, wujud tertinggi dipahami sebagai Idea Keindahan (ἡ τοῦ ἀγαθοῦ ἰδέα, hê tou agatou idea), sumber dari segala wujud lainnya, yang dapat diketahui dengan akal budi. Dalam Sofistes, salah satu karya tulis terkemudian, wujud-wujud keadaan, kesamaan dan perbedaan termasuk di antara "Ragam-Ragam Besar" primordial. Pada abad ke-3 SM, Arkesilaos mengadopsi skeptisisme, yang menjadi dalil utama mazhab Platonisme sampai pada 90 SM, manakala Antiokhos menambahkan unsur-unsur Stoik, menolak skeptisisme, dan mengawali era baru yang dikenal sebagai Platonisme pertengahan. Pada abad ke-3 M, Plotinos menambahkan unsur-unsur mistik, membentuk Neoplatonisme, yang di dalamnya keberadaan tertinggi adalah Yang Maha Esa atau Yang Maha Baik, sumber segala sesuatu; dalam kebajikan dan meditasi, jiwa berkuasa mengangkat dirinya sendiri untuk mencapai kemanunggalan dengan Yang Maha Esa. Platonisme berdampak besar atas pemikiran dunia Barat, dan banyak gagasan Platonik diadopsi oleh gereja Kristen yang memaknai wujud-wujud Plato sebagai pikiran-pikiran Allah, sementara Neoplatonisme berdampak besar atas Mistisisme Kristen di dunia Barat melalui Santo Agustinus, Pujangga Gereja Katolik. Karya-karya tulis Agustinus mengenai ajaran Kristen sangat dipengaruhi gagasan-gagasan dalam Enneades karya Plotinos,[3] dan karya-karya tulis itu kelak menjadi landasan seluruh pemikiran Kekristenan Barat.[4] Lihat pula
Rujukan
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar |