Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Muhammad bin al-Hanafiyah

al-Imam as-Sayyid
Muhammad
bin al-Hanafiyah
Kaligrafi nama Muhammad bin al-Hanafiyah dalam Kaligrafi Arab.
Nama asalمحمد بن الحنفية
LahirMuhammad
21 H, 642 M (Tahun Ke-2 Kekhalifahan Umar bin Khattab)
Madinah
MeninggalRabu, 1 Muharram 81 H, 25 Februari 700 M
Madinah
KebangsaanArab
Nama lainMuhammad al-Akbar
KewarganegaraanKhulafaur Rasyidin, Umayyah
Dikenal atasPutra Ali bin Abi Thalib, Tabi'in
AnakAbu Hasyim
Hasan
Ali
Husayn
Ibrahim
Awn
Qasim
Ja'far
Orang tuaAli bin Abi Thalib (ayah)
Khaulah binti Ja'far al-Hanafiyah (ibu)
Kerabatsaudara dari:

Hasan,
Husain
sepupu dari:

Abdullah bin Ja'far,
Muslim bin Aqil,
Ali bin Abdullah al-Abbasi

Abul Qasim Muhammad bin al-Hanafiyah (bahasa Arab: أبو القاسم محمد بن الحنفية), atau nama aslinya Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,[1] adalah salah seorang anak dari Ali bin Abi Thalib.[2] Ibunya adalah Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah, wanita berkulit hitam, sebagai tawanan dari Pertempuran Yamamah,[3] yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah az-Zahra putri Nabi Muhammad.[2]

Muhammad bin Ali lahir sekitar tahun 642 di Madinah, yaitu pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.[1] Muhammad bin al-Hanafiyah juga dikenal dengan nama Muhammad al-Akbar.[4]

Biografi

Abu Ashim An-Nabil berkata,"Muhammad bin Ali menyerang Marwan bin Hakam pada waktu perang Jamal dan dia duduk di atas dadannya."[3]

Ketika sampai berita kematian Mu'awiyah ke Madinah saat itu Al Husain, Ibnu Al Hanafiyah dan Ibnu Az-Zubair berada di Madinah, sedangkan Ibnu Abbas saat itu berada di Makkah. Maka Al Husain dan Ibnu Az-Zubair pergi ke Makkah, sedangkan Ibnu Al Hanafiyah tetap tinggal di Madinah. Ketika dia mendengar bala tentara sudah dekat -saat perang Al Harrah-, dia segera pergi ke Madinah dan tinggal di sana bersama Ibnu Abbas. Pada saat Yazid meninggal, Ibnu Az-Zubair dibai'at dan dia mengajak keduanya (lbnu Yazid dan lbnu AI Hanafiyyah) untuk membai'atrya, sehingga keduanya berkata, 'Tidak, sampai kamu dapat menyatukan negaramu'. Oleh karena itu, Ibnu Az-Zuban kadang keras dan kadang lunak kepada mereka berdua.[3]

Kepemimpinannya dalam Bani Hasyim

Setelah terbunuhnya Husain bin Ali dalam Peristiwa Karbala, Muhammad bin al-Hanafiyah muncul sebagai tokoh utama kelompok keluarga Ali dalam memperjuangkan Klaim Kepemimpinan atas Umat Islam. Ibnu al-Hanafiyah didukung oleh Al-Mukhtar ats-Tsaqafi dan para pengikutnya, yang terutama berada di Kufah, Irak, dalam menghadapi kelompok-kelompok Khawarij (di Yaman), Bani Umayyah (di Syam dan Mesir), serta Abdullah bin Zubair (di Hijaz dan Irak).

Ketika Bani Umayyah akhirnya dapat mengatasi perlawanan kelompok-kelompok lainnya, termasuk Al-Mukhtar ats-Tsaqafi yang terbunuh pada tahun 687 kelompok Kaisaniyah secara teknis melemah. Akhirnya Ibnu al-Hanafiyah mengakui kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah pada tahun 692. "Ketika Muhammad bin Ali menghadap Khalifah Abdul Malik bin Mawran, dia berkata kepadanya, 'lngatkah hari ketika kamu duduk di atas dada Marwan?' Dia menjawab, 'Maaf wahai Amirul Mukminin'. Abdul Malik berkata, 'Demi Allah, aku mengingatkannya kepadamu bukan berarti aku ingin menuntutnya kepadamu, tetapi aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku mengetahuinya'."[3] Selanjutnya ia menjauhi politik hingga wafatnya di Madinah sekitar tahun 700 M.

Setelah Abdullah bin Zubair terbunuh oleh Hajjaj, lalu Muhammad bin al-Hanafiyah melakukan perjalanan ke Kufah dan ke Madinah jatuh sakit lalu wafat pada 80/81 H. Setelah wafatnya ia dianggap sebagai Imam Mahdi oleh kelompok Kaisaniyyah,[5][6] salah suatu aliran Syiah awal yang kemudian menghilang pada akhir abad ke-8 M seiring bangkitnya kekuasaan Bani Abbasiyah.[6] Muhammad bin Ali al-Abbasi telah mengklaim mengambil alih hak kepemimpinan kelompok ini melalui pemberian hak itu dari putra sulung Ibnu al-Hanafiyah padanya di Hamimah dan mengembangkannya menjadi gerakan revolusi yang menjatuhkan Marwan al-Himar.

Keluarga

Muhammad bin al-Hanafiyah mempunyai dua anak, yaitu Abu Hasyim dan al-Hasan.[7] Abu Hasyim diangkat sebagai penerus kepemimpinan ayahnya oleh kelompok Syi'ah Kaisaniyah, sedangkan Al-Hasan bersikap sebagaimana aliran Murji'ah yang tidak berpihak pada kelompok manapun.[8]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Khairuddin Az-Zirikli. Al-A'lam Az-Zirikli – Ibnu al-Hanafiyah (dalam bahasa Arab). Vol. 6. hlm. 270.
  2. ^ a b Nadwi, Sayyid Sulaiman (2015). Ali bin Abi Thalib. Puspa Swara. hlm. 163. ISBN 9791479879, 9789791479875. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-03-08. Diakses tanggal 2017-03-08.
  3. ^ a b c d Dzahabi, Imam (2017). Terjemah Siyar A'lam an-Nubala. Jakarta: Pustaka Azzam. ISBN 978-602-236-270-8
  4. ^ Ibnu Katsir (2021). Agus (ed.). Ali Bin Abi Thalib; Biografi dan Pengangkatan Beliau Sebagai Khalifah: Seri Sejarah Khulafaur Rasyidin. Diterjemahkan oleh Muhammad Ahsan bin Usman. Hikam Pustaka. hlm. 30. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-03-08. Diakses tanggal 2022-03-08.
  5. ^ Madelung, Wilferd; Walker, Paul Ernest (1998). The "Bāb Al-shayṭān" from Abū Tammām's Kitāb Al-shajara. Vol. 23 of Islamic history and civilization. BRILL. hlm. 94-97. ISBN 9004110720, 9789004110724. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-03-08. Diakses tanggal 2017-03-08.
  6. ^ a b Yücesoy, Hayrettin (2009). Messianic Beliefs and Imperial Politics in Medieval Islam: The ʻAbbāsid Caliphate in the Early Ninth Century. Univ of South Carolina Press. hlm. 23-24. ISBN 1570038198, 9781570038198. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-03-08. Diakses tanggal 2017-03-08.
  7. ^ Subani, Hamad (2013). The Secret History of Iran. Cabal Times. hlm. 58-59. ISBN 130408289X, 9781304082893. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-03-08. Diakses tanggal 2017-03-08.
  8. ^ Rahman, Fazlur (2008). Kebangkitan Semula dan Pembaharuan dalam Islam: Satu Kajian tentang Fundamentalisme Islam. ITBM. hlm. 52-54. ISBN 9830682668, 9789830682662. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-03-09. Diakses tanggal 2017-03-08.
Kembali kehalaman sebelumnya