Muhammad Seman
Muhammad Seman (1836 – 24 Januari 1905) adalah Sultan Banjar yang memimpin pemerintahan Pagustian sementara Kesultanan Banjar di Murung Raya, sejak kematian ayahnya Pangeran Antasari pada 1862 hingga terbunuh pada tahun 1905.[2] Kehidupan awalNama lahirnya adalah Gusti Matseman, ia dilahirkan pada tahun 1836.[3] Ia adalah putra dari Pangeran Antasari yang disebut Pagustian (Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Di zaman Sultan Muhammad Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu sungai Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah adalah saudara perempuan dari Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar yang berdarah Dayak dari pihak ibunya. BerkuasaAksesiPada 3 Maret 1862 Sultan Hidayatullah II diasingkan ke pulau Jawa, maka sebelas hari setelah itu pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari yang berpindah menuju perhuluan Sungai Barito, dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar, di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati atau Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.[4] Namun, tujuh bulan setelah penobatannya, Pangeran Antasari meninggal dunia secara mendadak pada tanggal 11 Oktober 1862, karena sakit cacar air. Surat nasihat tanggal 11 Oktober 1903 dari Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal Willem Rooseboom menyebut bahwa Muhammad Seman hanya dinobatkan sebagai Calon Raja.[5][6][7][8][9][10] Kurang lebih sebulan setelah kematian Pangeran Antasari, pada tanggal 8 November 1862, Muhammad Seman membentuk kerajaan dengan ibu kota Muara Teweh. Belanda juga pernah menjadikan Muara Teweh sebagai benteng pertahanan.[11] Perlawanan terhadap BelandaGusti Matseman pada akhir bulan Agustus 1883 melakukan operasi di daerah Dusun Hulu. Ia dengan pasukannya kemudian bergerak ke Telok Mayang dan berkali-kali mengadakan serangan terhadap pos Belanda di Muara Teweh. Sementara itu, Pangeran Perbatasari, keponakan dan menantu Gusti Matseman, mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Pahu, daerah Kutai. Kekalahan yang dideritanya menyebabkan ia tertangkap pada tahun 1885.[12] Pada tahun 1888, Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang awalnya akan menjadi tempat gerakan Zikir.[13] Sultan Muhammad Seman menjalin kekerabatan yang dekat dengan Suku Dayak Murung. Ini karena ibu dia, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tidak lain adalah saudara dari Tumenggung Surapati. Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya upacara Tiwah, yaitu upacara kematian secara agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak. Gusti Matseman berusaha untuk mendirikan benteng di daerah hilir Sungai Taweh. Usaha ini membuat Belanda kemudian memperkuat posnya di Khayalan dengan menambah pasukan baru, dan mendirikan lagi pos darurat di Tuyun. Dalam bulan Desember 1886, pasukan Gusti Matseman berusaha memutuskan hubungan antara kedua pos Belanda tersebut. Sementara itu, benteng pejuang di Taweh makin diperkuat dengan datangnya pasukan bantuan dan tambahan makanan yang diangkut melalui hutan. Namun di lain pihak, pos Matseman ini terancam bahaya. Di sebelah utara dan selatan benteng muncul kubu-kubu baru Belanda yang berusaha menghalang-halangi masuknya bahan makanan ke dalam benteng. Keadaan di sekitar benteng Matseman semakin kritis.[14][15] Hubungan dengan suku-suku DayakMuhammad Seman menjalin kekerabatan yang dekat dengan Suku Dayak Murung. Ini karena ibu dia, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tidak lain adalah saudara dari Tumenggung Surapati. Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya upacara Tiwah, yaitu upacara kematian secara agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak. Pertempuran Benteng Baras Kuning (1905) dan kematian![]() Muhammad Seman beserta pejuang lainnya seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lainnya menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan di sepanjang sungai Barito. Sebagai bentuk balas dendam, pada 24 Januari 1905, Belanda menyerang Benteng Baras Kuning, basis utama operasi Muhammad Seman, dan menggempur benteng tersebut dengan pasukan besar. Dalam pertempuran ini, Muhammad Seman terbunuh, ketika berusaha mengamankan posisi strategis pasukan Banjar sembari mengambil alih kendali benteng. Kematian Muhammad Seman dengan cepat meruntuhkan semangat pasukan kesultanan. Para bangsawan pendukung Muhammad Seman seperti Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durrakhman kemudian menyerah pada pemerintah Belanda beberapa hari kemudian. Meskipun sisa-sisa pemberontak kesultanan seperti Tumenggung Gamar mencoba melakukan pemberontakan di Lok Tunggul, namun ia gagal sehingga ia dengan pasukannya terpaksa mengundurkan diri ke Tanah Bambu, tempat pertempuran terakhir terjadi dan berujung kepada kekalahan total pasukan kesultanan. Warisan![]() Dengan kematian Muhammad Seman, pengaruh kesultanan dalam Perang Banjar semakin berkurang dan melemah, hal ini secara tidak langsung mempercepat berakhirnya perang dan keruntuhan kesultanan. Sepeninggal Muhammad Seman, oleh putri dan menantunya, yaitu Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad, beserta sisa-sisa pasukan yang masih setia dengan perjuangan rakyat Banjar, berulangkali melakukan percobaan pemberontakan, namun berujung kegagalan. Makam Muhammad Seman berada di sebuah perbukitan yang dinamakan Gunung Sultan di tengah kota Puruk Cahu ibu kota Kabupaten Murung Raya, provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Sebagai antisipasi kemungkinan pemberontakan lanjutan, pemerintah kolonial Hindia Belanda merilis daftar kelompok orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda: Antasari dengan anak-anaknya, Demang Lehman, Amin Oellah, Soero Patty dengan anak-anaknya, Kiai Djaya Lalana, dan Goseti Kassan dengan anak-anaknya. Hak ini memaksa banyak anggota keluarga kesultanan berpencar ke seluruh wilayah Kalimantan untuk menyelamatkan diri dan menjaga kelangsungan garis keturunan wangsa.[16] Silsilah
Referensi
Pranala luar
|