Kepala wihara![]()
Dalam agama Buddha, kepala wihara, kepala vihara, atau kepala biara (Pali: saṅghanāyaka; Inggris: abbot, terj. har. 'abas') adalah seseorang yang berperan sebagai pemimpin dalam suatu wihara (biara Buddhis) atau tempat ibadah Buddhis.[2] Di wihara-wihara, seorang biksuni, samaneri, atau atthasilani yang memegang posisi setara juga dikenal sebagai kepala wihara (Pali: saṅghanāyakā, nomina feminin dengan ā di akhir; Inggris: abbess, terj. har. 'abdis'). Di negara-negara berbahasa Inggris, kata bahasa Inggris "abbot" (terj. har. 'abas') dan "abbess" (terj. har. 'abdis') digunakan sebagai pengganti berbagai kata yang ada dalam bahasa negara-negara dengan agama Buddha yang sudah mapan, atau secara historis sudah mapan. PeranSeorang kepala wihara adalah seorang biksu yang memegang posisi administrator sebuah wihara, biara, atau tempat ibadah besar.[3] Tugas administratif seorang kepala wihara termasuk mengawasi jalannya wihara sehari-hari.[3][4] Kepala wihara juga memegang tanggung jawab spiritual untuk para biksu, samanera, biksuni, atau samaneri di bawah perawatan mereka, dan diharuskan untuk berinteraksi dengan para kepala wihara dari wihara-wihara lain.[5] Tradisi di IndonesiaDi Indonesia, kepala wihara biasanya adalah seorang biksu.[6] Istilah saṅghanāyaka jarang digunakan dalam konteks ini, dan lebih sering digunakan dalam konteks "ketua umum sangha" secara keseluruhan, seperti jabatan Saṅghanāyaka dalam Saṅgha Theravāda Indonesia.[7] Istilah "abas" dan "abdis" juga tidak umum digunakan. Dalam struktur kepengurusan versi lainnya, kepala wihara juga mungkin merupakan seorang upasaka-upasika,[8] dengan biksu tertentu menempati posisi sebagai "spiritual patron" (pelindung spiritual; guru pembimbing).[9][10][11] Bahasa selain bahasa InggrisNegara-negara Asia dengan penganut agama Buddha yang masih banyak umumnya memiliki kata-kata dalam bahasa mereka sendiri yang merujuk pada kepala wihara: TionghoaDi wihara-wihara Buddhisme Chan Tiongkok, kata umum untuk kepala wihara adalah Fāngzhàng (方丈) yang berarti "satu zhàng persegi (sama dengan sepuluh kaki persegi)", merujuk pada ukuran ruangan batu Vimalakirti.[12] Kata lain untuk kepala wihara adalah Zhùchí (住持), yang berarti "penghuni" dan "penopang."[13] Para biksu dan biksuni cenderung dipanggil sebagai Fǎshī (法師) yang berarti "guru Dharma." Jepang![]() Dalam Buddhisme Jepang, kata yang paling umum digunakan untuk kepala wihara di kuil atau biara besar adalah jūji (住持), jūjishoku (住持職), atau hanya jūshoku (住職). Kadang-kadang kata jishu (寺主) juga digunakan, berasal dari kata Sanskerta vihārasvāmin yang merujuk pada pengawas vihāra yang berisi stupa. Kuil tanpa pemuka agama dilambangkan dengan istilah mujū (無住). Perbedaan sektarianTabel berikut berisi daftar gelar yang tidak lengkap yang digunakan di antara banyak aliran dalam Buddhisme Jepang.
Sebagaimana ditunjukkan di atas, istilah 和尚 (Oshō, dll.) dapat dilafalkan dengan beberapa cara, tergantung pada aliran atau tradisi yang bersangkutan. Asalnya berasal dari kata Sanskerta upādhyāya yang awalnya merujuk pada seseorang yang memberikan sila kepada orang lain. Hōin (法印) awalnya merupakan gelar yang diberikan oleh kaisar kepada seorang biksu. Gelar ini masih digunakan hingga saat ini secara bergilir. Khususnya dalam Buddhisme Shingon Koyasan, seorang biksu senior diangkat menjadi Hōin untuk masa jabatan satu tahun dan bertugas sebagai pemimpin semua upacara besar di Gunung Koya. Setelah masa jabatan mereka berakhir, mereka menerima gelar Zengan (前官). Shōnin (上人) adalah gelar penghormatan kepada seseorang yang telah mencapai tingkat pencerahan tertentu. Goin (御院) dan Inke (院家) merujuk pada kuil itu sendiri. Dalam kasus Buddhisme Tanah Murni, yang tidak menekankan disiplin kebiaraan dan lebih mengutamakan kehidupan rumah tangga, kata-kata untuk biara cenderung mencerminkan institusi dibandingkan orang yang bertanggung jawab. Di wilayah Kansai, Goingesan (ご院家さん), Goinsan (御院さん) dan Goensan (ご縁さん) umumnya digunakan di kalangan umat Buddha Shin. Struktur kebiaraan juga cenderung diwariskan dari garis keturunan keluarga dalam tradisi Tanah Murni. Hōushu atau Hossu (法主) adalah gelar yang digunakan oleh Ekan Ikeguchi di Saifuku-ji, Kagoshima. Gelar ini juga digunakan di antara Tujuh Kuil Utama Jōdo-shū dan Taiseki-ji milik aliran Nichiren Shōshū. Dalam tradisi Tendai, istilah Zasu 座主 adalah hal yang umum. Kepala wihara juga kadang-kadang disebut sebagai Yama no zasu (山の座主), yang berarti "Kepala dari gunung." Monzeki (門跡) adalah istilah yang diperuntukkan bagi pemuka agama dari garis keturunan bangsawan atau kekaisaran, dan masih digunakan hingga saat ini di Daikaku-ji di Shingon dan Hongan-ji di Jōdo Shinshū.[14][3][15] KoreaIstilah Korea untuk kepala wihara adalah juji (住持/주지).[4][12] ThaiIstilah Thailand untuk kepala wihara (wat) adalah chaoawat (Thai: เจ้าอาวาส).[16] TibetKepala wihara Buddhisme Tibet dikenal sebagai Khenpo. Istilah ini berarti "orang yang memberikan sumpah kepada para biksu". Kepala wihara tersebut disapa dan disebut sebagai "Khen Rinpoche". Kata lain yang digunakan untuk kepala wihara yang lebih senior adalah Khenchen, yang berarti "khenpo senior."[17] VietnamKata Vietnam untuk kepala wihara adalah trụ trì (住持).[18] Referensi
|