Kala Rau![]() Kala Rau (aksara Bali: ᬓᬵᬮᬭᬵᬳᬸ) adalah nama seorang raksasa dalam mitologi Bali berwujud sebuah kepala tanpa badan, yang merupakan adaptasi dari mitologi Hindu "Rahu".[1] Dalam pembukuan yang dilakukan sejumlah penghimpun cerita rakyat, kisah Kala Rau memiliki beberapa variasi, tetapi plot utamanya ialah pemenggalan kepala Kala Rau dan ditelannya Bulan (kadangkala Matahari diikutsertakan) setelah pemenggalan itu terjadi.[2][3][4] Di kalangan masyarakat adat Bali, cerita Kala Rau identik dengan cerita Dewi Ratih, dan digunakan sebagai penjelasan tradisional atas fenomena gerhana bulan. Cerita tersebut juga mendasari tradisi memukul-mukul lesung dan kentungan di Bali saat terjadi gerhana. KepustakaanCerita Kala Rau merupakan adaptasi dari "Rahu" (राहु) dalam mitologi Hindu India,[5] yang tercatat dalam kitab-kitab Purana berbahasa Sanskerta.[6] Rahu merupakan potongan kepala seorang asura. Kisahnya berkaitan dengan "Samudramantana" atau pengadukan samudra untuk mencari tirta amerta. Dia dipenggal oleh Wisnu karena mencuri jatah tirta amerta yang seharusnya diminum para dewa. Badannya yang tanpa kepala disebut Ketu.[1] Baik Rahu maupun Ketu akhirnya menjadi anggota "Nawagraha",[7] dan menyebabkan terjadinya gerhana.[8] Di Nusantara, kisah tentang Rahu tercatat dalam naskah Jawa Kuno berjudul Tantu Pagelaran, yang mengandung adaptasi kisah Samudramantana sebagaimana dalam mitologi Hindu India.[9] Perbedaannya, dalam Tantu Pagelaran, Rahu dipenggal oleh Sang Raditya (dewa matahari) dan Wulan (dewa bulan).[9] Sementara itu Kala Rau (Rahu) dalam cerita rakyat Bali tidak mengandung kisah Samudramantana, tetapi ada unsur-unsur yang terkait dengannya seperti pembagian tirta amerta dan pemenggalan kepala Rahu. Namun, badan Kala Rau dalam cerita rakyat Bali tidak berubah menjadi Ketu sebagaimana mitologi Hindu India, melainkan berubah menjadi lesung.[10] MitologiKala Rau dikisahkan sebagai sosok raksasa yang kuat dan menjadi momok bagi para dewa. Dalam suatu versi dikisahkan bahwa ia merupakan raja raksasa penguasa Balidwipa.[4] Menurut versi cerita yang dituturkan ulang oleh Made Taro, Kala Rau pernah meminang Dewi Ratih, dewi penjaga Bulan, tetapi memperoleh penolakan. Penolakan sang dewi membuat Kala Rau murka, kemudian dia memutuskan untuk menyerbu kahyangan.[10] Kabar tentang rencana tersebut sampai di telinga Dewa Wisnu. Sang dewa menyiapkan tirta amertha―ramuan keabadian yang menyebabkan peminumnya tidak bisa mati―agar laskar para dewa tidak binasa. Dewa Wisnu mengutus Dewa Kuwera untuk mengumpulkan seluruh dewa yang ada di kahyangan, dengan maksud membagikan tirta amerta. Walaupun sesungguhnya tirta amerta hanya diperuntukkan bagi para dewa-dewi, Kala Rau nekad mencuri jatah dengan cara berubah wujud menyerupai Dewa Kuwera, yang saat itu masih sibuk berkeliling mengumpulkan para dewa yang belum datang ke kahyangan. Menyadari penyamaran Kala Rau, Dewi Ratih segera memberitahukannya kepada dewa Wisnu. Dalam versi lain dikisahkan bahwa penyamaran Kala Rau tidak hanya diketahui oleh Dewi Ratih, tetapi juga Dewa Surya, penguasa Matahari.[2] Menurut kisah yang dituturkan olah Made Taro, Dewa Wisnu sendiri yang mengetahui penyamaran Kala Rau berkat gelagat dan aroma yang mencurigakan.[3] Setelah penyamaran Kala Rau terbongkar, kemudian Dewa Wisnu melemparkan cakranya ke leher sang raksasa. Namun, bagian kerongkongannya telah dilalui oleh tirta amerta, sehingga dapat hidup abadi. Sementara itu, tubuh Kala Rau jatuh ke Bumi lalu berubah menjadi lesung.[10] Berkat khasiat tirta amerta, kepala Kala Rau tetap hidup abadi. Kepala itu pun melayang dan mengembara di angkasa. Menurut versi yang umum, Kala Rau memiliki dendam kepada Dewi Ratih dan mengejarnya. Versi lain juga menambahkan bahwa Kala Rau tidak hanya mengejar Dewi Ratih, tetapi juga Dewa Surya karena mereka berdua telah membongkar penyamaran sang raksasa saat pembagian tirta amerta.[2] Menurut penuturan Made Taro, setelah dikalahkan oleh pihak dewa, Kala Rau berhasrat kembali untuk memiliki Dewi Ratih.[3] Terkadang Dewi Ratih (dan Dewa Surya) berhasil tertangkap dengan cara ditelan. Namun karena Kala Rau tidak memiliki badan, maka Dewi Ratih (dan Dewa Surya) segera lolos dari kerongkongan Kala Rau. Peristiwa masuk dan keluarnya Dewi Ratih atau Dewa Surya dari kepala Kala Rau dituturkan di kalangan suku Bali sebagai mitos tentang fenomena gerhana bulan dan matahari.[11][12] Tradisi memukul lesungMenurut cerita rakyat Bali, badan Kala Rau yang terpisah dari kepalanya langsung jatuh ke Bumi lalu berubah menjadi lesung.[2][4] Hal itu mendasari kemunculan tradisi memukul-mukul lesung atau kentungan―disebut tradisi ngoncang―di beberapa tempat di Bali saat terjadi gerhana, dengan harapan agar Kala Rau terganggu sehingga Dewi Ratih (bulan) segera dibebaskan.[13] Kepercayaan adat Bali juga memandang gerhana sebagai fenomena yang negatif, sehingga pelaksanaan ngoncang yang disertai doa-doa diharapkan dapat menangani energi negatif yang ditimbulkan gerhana.[13][14] Tradisi serupa juga ditemukan di beberapa masyarakat adat di Jawa. Sedikit berbeda dengan kepercayaan di Bali, masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan ditelan oleh Batara Kala sehingga menyebabkan gerhana. Pemukulan lesung dimaksudkan agar Batara Kala segera memuntahkan bulan, karena lesung dianggap sebagai perwujudan badan Batara Kala.[15] Lihat pulaReferensi
|