Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Campak


Campak
Seorang anak dengan ruam campak hari keempat
Informasi umum
Nama lainMorbilli, rubeola, measles, gabak, gabagen, campak merah, campak Inggris[1][2]
SpesialisasiPenyakit menular
PenyebabVirus campak[3]
Aspek klinis
Gejala dan tandaDemam, batuk, pilek, mata merah, ruam[3][4]
KomplikasiPneumonia, kejang, ensefalitis, panensefalitis sklerosis subakut, imunosupresi, hilang pendengaran, kebutaan[5][6]
Awal muncul10–12 hari setelah paparan[7][8]
Durasi7–10 hari[7][8] (tidak termasuk komplikasi)
Tata laksana
PencegahanVaksin campak[7]
PerawatanTerapi suportif[7]
Distribusi dan frekuensi
Prevalensi20 juta per tahun (dunia),[3] 3.500 (Indonesia, 2024)[11]
Kematian140.000+ (2018)[9][10]

Campak (bahasa Inggris: measles, kemungkinan berasal dari istilah dalam bahasa Belanda Pertengahan atau bahasa Jerman Tinggi Pertengahan masel(e), yang berarti "bercak, luka lepuh berisi darah")[12][13] adalah penyakit yang sangat mudah menular namun bisa dicegah oleh pemberian vaksin yang disebabkan oleh virus campak.[3][5] Penyakit ini juga dikenal dengan nama lain gabak, gabagen (dalam bahasa Jawa), morbili, rubeola, campak 9 hari, campak merah', dan campak Inggris.[1][3]

Gejala penyakit ini biasanya muncul 10-12 hari setelah seseorang terpapar orang yang terinfeksi campak dan berlangsung selama 7-10 hari.[7] Gejala-gejala awal yang biasanya ditemukan adalah demam, seringkali lebih dari 40 °C, batuk, pilek, dan peradangan mata.[3][4] Bintik-bintik putih kecil yang dikenal sebagai bercak Koplik dapat terbentuk di dalam mulut dua sampai tiga hari setelah timbulnya gejala-gejala.[4] Ruam kemerahan dan datar, yang biasanya muncul mulai dari wajah dan kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh lainnya, umumnya mulai timbul di hari ketiga sampai kelima setelah munculnya gejala-gejala.[4] Komplikasi-komplikasi yang umum ditemukan meliputi diare (dalam 8% kasus), infeksi telinga tengah (7%), dan pneumonia (6%).[5] Hal-hal ini sebagian disebabkan terjadinya imunosupresi yang dipicu infeksi virus campak.[6] Komplikasi-komplikasi lain yang jarang terjadi meliputi kejang, kebutaan, atau peradangan otak.[5][7]

Campak adalah penyakit bawaan udara yang sangat mudah menular dari satu orang ke orang lainnya melalui batuk dan bersin orang yang terinfeksi.[7] Penyakit ini juga dapat menular melalui kontak langsung dengan mulut atau cairan ingus.[7] Penyakit ini sangat mudah menular: sembilan dari sepuluh orang yang tidak memiliki imunitas terhadap penyakit ini dan tinggal bersama-sama dengan orang yang terinfeksi akan ikut terinfeksi. Lebih jauh lagi, perkiraan angka reproduksi dasar virus campak bervariasi mulai dari kisaran yang sering dikutip, 12 sampai 18,[14] sampai, menurut sebuah artikel tinjauan ilmiah tahun 2017, kisaran 3,7 hingga 203,3.[15] Orang-orang yang terinfeksi virus campak dapat menularkan penyakit ini mulai dari empat hari sebelum sampai empat hari setelah munculnya ruam.[5] Walaupun sering disebut sebagai penyakit pada anak, penyakit ini dapat menyerang orang-orang di segala usia.[16] Kebanyakan orang tidak terinfeksi penyakit ini lebih dari sekali seumur hidupnya.[7] Pemeriksaan adanya virus campak dalam kasus-kasus terduga campak penting bagi upaya kesehatan masyarakat.[5] Campak tidak diketahui terdapat pada hewan lain.[17]

Pada kasus infeksi campak, tidak ada terapi spesifik yang tersedia, meskipun pemberian terapi suportif dapat meningkatkan angka kesembuhan.[7] Terapi suportif yang diberikan meliputi oralit (larutan dengan rasa sedikit manis dan asin), makanan sehat, dan obat-obatan untuk mengontrol demam.[7][8] Antibiotik harus diberikan jika terdapat infeksi bakteri sekunder seperti infeksi telinga atau pneumonia.[7][17] Suplementasi vitamin A juga direkomendasikan untuk anak-anak di bawah lima tahun.[7] Di antara kasus-kasus yang dilaporkan terjadi di AS antara tahun 1985 sampai 1992, kematian terjadi di 0,2% kasus,[5] tapi dapat mencapai hingga 10% pada orang-orang dengan malnutrisi.[7] Kebanyakan kasus meninggal akibat infeksi campak berusia kurang dari lima tahun.[7]

Vaksin campak efektif dalam mencegah terjadinya penyakit, sangatlah aman, dan seringkali diberikan dalam bentuk kombinasi dengan vaksin-vaksin lain.[7][18] Akibat mudahnya transmisi virus campak dari satu orang ke orang lain dalam sebuah komunitas, lebih dari 95% masyarakat dalam komunitas harus memperoleh vaksinasi campak untuk mencapai kekebalan kelompok.[19] Vaksinasi menyebabkan penurunan angka kejadian kematian akibat campak sebesar 80% antara tahun 2000 dan 2017. Sampai tahun 2017, sekitar 85% anak-anak di seluruh dunia telah menerima dosis pertama vaksin campak.[7] Campak menyerang sekitar 20 juta orang setiap tahunnya,[3] umumnya di wilayah-wilayah berkembang di Afrika dan Asia.[7] Di Indonesia sendiri, terdapat 3.500 kasus campak pada tahun 2024, menurun dari tahun 2023 yang mencapai lebih dari 10.600 kasus, namun kembali melonjak pada tahun 2025 hingga lebih dari 3.400 kasus yang tercatat sampai bulan Agustus.[11] Penyakit ini adalah salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.[20][21] Pada tahun 1980, 2,6 juta orang meninggal akibat campak,[7] dan pada tahun 1990, 545.000 orang meninggal akibat penyakit ini; pada tahun 2014, program vaksinasi global telah berhasil menurunkan angka kematian menjadi 73.000.[22][23] Meskipun terdapat tren penurunan, angka kejadian penyakit dan kematian campak meningkat dari tahun 2017 sampai 2019 akibat penurunan imunisasi.[24][25][26]

Video ringkasan (naskah dari Wikipedia bahasa Inggris)

Tanda dan gejala

Tampilan ruam campak pada berbagai warna kulit

Gejala-gejala prodorma demam, malaise, dan batuk umumnya mulai tampak 7–14 hari (umumnya 11-12 hari) setelah paparan.[5][3][6] Demam meningkat secara bertahap dan mencapai puncaknya pada 39 °C - 41 °C.[5] Satu sampai dua hari setelah gejala prodorma, bercak Koplik timbul di dalam sisi pipi yang berlawanan dengan gigi geraham dengan tampakan sebagai sekumpulan lesi putih ("sejumput garam") pada area yang memerah. Bintik-bintik ini adalah tanda patognomonik campak, namun mereka hanya muncul dalam waktu singkat sehingga tidak selalu didapatkan saat pemeriksaan.[3] Gejala klasik campak meliputi demam, batuk (cough), coryza (flu, demam, bersin), dan konjungtivitis (conjunctivitis), yang dikenal dengan istilah "tiga C", serta ruam makulopapular.[27]

Ruam khas campak secara klasik dideskripsikan sebagai ruam makulopapular generalisata yang mulai timbul tiga sampai lima hari setelah prodroma; rata-rata, 14 hari setelah paparan, tapi sedikitnya 7 sampai 21 hari setelah paparan.[5][6] Ruam timbul mulai dari belakang kedua telinga atau wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Timbulnya ruam disebabkan oleh kerja sistem imun seluler dan humoral membersihkan sel-sel kulit yang terinfeksi, seperti pada konjungtivitis. Konjungtivitis pada campak juga seringkali menyebabkan fotofobia.[6] Ruam campak dikatakan seperti "menodai" kulit, berubah warna dari merah sampai menjadi cokelat tua, kemudian menghilang.

Kasus-kasus campak tanpa komplikasi umumnya membaik dalam beberapa hari sejak timbulnya ruam dan sembuh dalam 7-10 hari.[6]

Orang-orang yang tidak menerima vaksinasi campak namun memiliki kekebalan perlindungan yang tidak lengkap dapat mengalami bentuk modifikasi dari campak. Bentuk modifikasi dari campak ditandai dengan masa inkubasi yang lebih panjang serta gejala-gejala yang lebih ringan dan kurang khas (ruam yang tampak jarang-jarang dan menyebar serta timbul dalam durasi pendek).[5] Karena terbentuknya ruam dan konjungtivitis memerlukan sistem imun yang fungsional, orang-orang dengan kondisi imunokompresi mungkin sulit terdiagnosis atau mengalami keterlambatan diagnosis.[6]

Komplikasi

Komplikasi campak relatif sering terjadi. Beberapa komplikasi disebabkan langsung oleh virus, sedangkan beberapa komplikasi lainnya disebabkan oleh tertekannya sistem imun oleh virus. Fenomena ini, yang dikenal sebagai "amnesia imunitas", meningkatkan risiko terjadinya infeksi bakteri sekunder;[6][28][29][30] dua bulan setelah pasien pulih, terdapat penurunan jumlah antibodi terhadap bakteri dan virus lain sebesar 11–73%.[31] Populasi penelitian dari masa sebelum sampai saat pengenalan vaksin campak menunjukkan bahwa amnesia imunitas umumnya berlangsung selama 2-3 tahun. Penelitian pada primata menunjukkan bahwa amnesia imunitas pada campak disebabkan oleh penggantian sel limfosit memori dengan sel-sel yang spesifik terhadap virus campak, karena sel-sel tersebut langsung dihancurkan setelah terinfeksi virus. Hal ini menimbulkan imunitas jangka panjang terhadap reinfeksi campak, namun menurunkan kekebalan terhadap patogen lainnya.[29] Komplikasi-komplikasi campak dapat terkait langsung dengan infeksi virus - misalnya pneumonia viral atau laringotrakeobronkitis (krup) viral - atau terkait dengan kerusakan yang disebabkan virus campak terhadap jaringan-jaringan dan sistem imun. Komplikasi-komplikasi campak yang paling serius meliputi ensefalitis akut,[32] ulkus kornea (mengakibatkan timbulnya jaringan parut pada kornea);[33] dan panensefalitis sklerosis subakut, sebuah peradangan otak yang sifatnya progresif dan fatal yang terjadi pada sekitar 1 dari 600 bayi di bawah 15 bulan yang tidak mendapatkan vaksinasi. Infeksi sekunder yang sering terjadi adalah diare, pneumonia bakterial, dan otitis media.[6]

Angka kematian akibat pneumonia campak pada tahun 1920-an adalah sekitar 30%.[34] Orang-orang yang berada dalam risiko tinggi mengalami komplikasi campak adalah bayi dan anak berusia kurang dari 5 tahun;[16] dewasa berusia lebih dari 20 tahun;[16] wanita hamil;[16] orang-orang dengan gangguan sistem imun, seperti leukemia, infeksi HIV atau imunodefisiensi bawaan;[16][35] dan mereka yang mengalami malnutrisi[16] atau defisiensi vitamin A.[16][36] Komplikasi biasanya lebih berat pada orang dewasa.[37] Antara tahun 1987 dan 2000, angka kematian kasus di seluruh Amerika Serikat adalah tiga kematian per 1.000 kasus campak, atau 0,3%.[38] Di negara miskin dengan kasus malnutrisi yang tinggi dan fasilitas kesehatan yang buruk, angka kematian dapat mencapai 28%.[38] Pada pasien-pasien imunokompresi (misalnya, orang dengan AIDS) angka kematian akibat campak adalah sekitar 30%.[39]

Bahkan pada anak-anak yang sebelumnya sehat, campak dapat menyebabkan penyakit serius yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.[35] Satu dari 1.000 kasus campak berkembang menjadi ensefalitis, yang seringkali mengakibatkan kerusakan otak permanen.[35] Satu sampai tiga dari setiap 1.000 anak yang terinfeksi campak akan meninggal akibat komplikasi saluran napas dan sistem saraf.[35]

Penyebab

Virus campak dilihat menggunakan mikroskop elektron

Campak disebabkan oleh virus campak, sebuah virus RNA berselubung, sense negatif, tidak tersegmentasi, untai tunggal dari genus Morbillivirus yang masuk dalam famili Paramyxoviridae.[40][41] Virus ini memiliki kekerabatan paling dekat dengan sampar sapi, sebuah virus pada sapi yang berhasil dieradikasi pada tahun 2001, dan distemper anjing, sebuah penyakit pada mamalia yang menimbulkan kerusakan saraf.[5] Terdapat 24 galur virus campak yang dibagi ke dalam delapan klad, A-H.[40]

Virus ini adalah salah satu patogen pada manusia yang paling mudah menular. Virus menyebar melalui batuk dan bersin penderita yang berkontak erat atau kontak langsung dengan sekret.[35][41][40] Sekret tubuh penderita campak tetap infeksius sampai dua jam melalui droplet saluran napas yang masih tertahan di udara.[5] Virus ini tidak mudah menyebar melalui benda-benda mati karena virus ini menjadi inaktif dalam beberapa jam dengan sinar ultraviolet dan panas.[6] Virus ini juga terinaktivasi oleh tripsin, lingkungan yang bersifat asam, dan eter.[5] Campak sangat mudah menular sehingga jika seseorang terinfeksi campak, 90% orang yang tidak memiliki imunitas terhadap campak dan berkontak erat dengan penderita campak (misalnya, anggota satu rumah) juga akan terinfeksi.[5][42] Manusia adalah satu-satunya inang utama alami virus, dan tidak diketahui adanya reservoir binatang lainnya, meskipun gorila gunung dipercaya rentan terhadap virus ini.[5][43] Faktor-faktor risiko infeksi virus campak meliputi imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV/AIDS,[44] imunosupresi setelah menerima transplantasi organ atau transplantasi sel punca,[45] agen alkilasi, atau terapi kortikosteroid, terlepas apapun status imunisasinya;[16] bepergian ke wilayah di mana campak sering terjadi atau kontak dengan pelancong yang berasal dari wilayah dengan campak;[16] dan hilangnya antibodi pasif, bawaan sebelum usia pemberian imunisasi rutin.[46]

Patofisiologi

Gambar virus campak menempel pada sel epitel trakea
Foto mikrografi dari spesimen jaringan paru-paru, yang menunjukkan perubahan histopatologi pada kasus pneumonia campak. Di sini, dapat terlihat sejumlah sel leukositdan sebuah multinucleated giant cell. Sitoarsitektur alveolus normal sudah tidak terlihat lagi.[47]

Setelah virus campak kontak dengan mukosa yang melapisi saluran pernapasan, virus tersebut berikatan dengan SLAM (signaling lymphocyte activation molecule, juga dikenal sebagai CD150) pada permukaan makrofag dan sel dendritik. Sel-sel ini kemudian memakan virus tersebut. Proses ini dimediasi oleh protein hemaglutinin (H) pada permukaan virus yag berikatan dengan SLAM dan menyebabkan fusi protein di kapsul virus (F) berubah bentuk, memungkinkan selubung virus untuk berfusi dengan RNA virus dan protein virus masuk. Protein L, sebuah RNA-dependent RNA polymerase, kemudian mentranskripsikan genom sense negatif virus menjadi mRNA sense positif, yang ditranslasi oleh ribosom sel asal menjadi protein virus. Sel-sel imun ini mengantarkan virus ke kelompok sel-sel imun lainnya, termasuk sel B, sel T, timosit, dan sel punca hematopoietik, yang menyebarkan virus ke organ-organ lain selama masa inkubasi.[5][40]

Periode awal infeksi campak di paru-paru berlangsung selama dua sampai tiga hari, dan berakhir dengan periode pertama viremia. Lima sampai tujuh hari setelah dimulainya infeksi, terjadilah viremia kedua, dan virus menginfeksi sel-sel epitel.[5] Virus menyebar di sepanjang sel-sel epitel, awalnya di trakeobronkial melalui rongga-rongga antarsel, dan kemudian di lapisan organ lain dan trakeobronkial melalui reseptor nectin-4. Hal ini menyebabkan munculnya gejala klinis batuk, yang kemudian mengaerolisasi virus dan memungkinkan virus untuk menyebar.[5][6]

Diagnosis

Umumnya, diagnosis klinis dimulai dengan onset demam dan malaise sekitar 10 hari setelah paparan terhadap virus campak, diikuti dengan munculnya batuk, coryza, dan konjungtivitis yang memberat dalam 4 hari sejak timbulnya gejala.[48] Didapatinya bercak Koplik saat pemeriksaan juga membantu penegakan diagnosis.[49] Penyakit-penyakit lain yang mungkin mirip dengan campak meliputi demam dengue, rubella, eritema infeksiosum (juga dikenal dengan nama fifth disease, disebabkan oleh parvovirus B19), dan roseola (juga disebut sebagai eksantema subitum atau sixth disease, disebabkan oleh HHV6).[6] Maka dari itu, konfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium sangatlah direkomendasikan, khususnya di wilayah non-endemik.[5]

Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis laboratoris campak dapat dilakukan dengan konfirmasi positif antibodi IgM campak atau deteksi RNA virus campak dari tenggorokan, hidung, atau spesimen urin menggunakan pemeriksaan reaksi berantai polimerase transkripsi-balik.[50][51] Metode ini secara khusus berguna untuk mengonfirmasi kasus-kasus di mana pemeriksaan antibodi IgM menunjukkan hasil inkonklusif.[50] Untuk orang-orang yang tidak bisa diambil sampel darahnya, dapat dilakukan pengambilan sampel saliva untuk pemeriksaan IgA spesifik campak.[51] Pemeriksaan saliva untuk diagnosis campak melibatkan pengambilan sampel saliva dan pemeriksaan adanya antibodi terhadap campak.[52][53] Metode ini tidaklah ideal, karena saliva mengandung banyak cairan dan protein lain yang dapat menyulitkan pengambilan sampel dan deteksi antibodi campak.[52][53] Saliva juga mengandung antibodi 800 kali lebih sedikit dibandingkan sampel darah. Adanya riwayat kontak dengan orang lain yang menderita campak juga menambah nilai bukti penegakan diagnosis.[52]

Pemeriksaan biopsi dan histopatologi umumnya tidak digunakan untuk diagnosis campak, namun sel-sel Warthin–Finkeldey, sel-sel berukuran besar dengan beberapa nukleus dan badan inklusi eosinofilik, sering terlihat di jaringan limfatik namun bukanlah hal khas dari campak.[1][54] Epitel yang terdampak infeksi mungkin memiliki sel-sel berukuran besar dengan badan-badan inklusi virus atau badan Cowdry.[54]

Pengobatan

Tidak ada terapi antivirus spesifik untuk campak.[35] Obat-obatan yang diberikan umumnya ditujukan untuk mengatasi superinfeksi, mempertahankan status hidrasi yang baik dengan pemberian cairan yang cukup, dan meringankan nyeri.[35] Terapi suportif dapat meliputi ibuprofen atau parasetamol (asetaminofen) untuk mengurangi demam dan nyeri, dan bila dibutuhkan, obat untuk melebarkan jalan napas kerja cepat untuk batuk.[55]

Beberapa kelompok, seperti anak-anak kecil dan anak-anak dengan malnutrisi berat, juga diberikan vitamin A sesuai resep dokter. Vitamin A bekerja sebagai imunomodulator yang meningkatkan respon antibodi terhadap virus campak dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi yang serius.[35][41][56] Meskipun pemberian vitamin A tidak menyembuhkan pasien atau menurunkan mortalitas di seluruh kelompok usia,[57] dua dosis (200,000 IU) vitamin A terbukti menurunkan mortalitas pada anak-anak berusia di bawah dua tahun.[41][58] Pada wabah campak di AS tahun 2025, anak-anak yang dibawa ke rumah sakit datang dengan campak dan kelebihan vitamin A karena orang tua mereka memberikan berbagai asupan yang mengandung vitamin A (suplemen atau minyak hati bakalau) sebagai usaha mereka untuk melindungi anak mereka sebelum sang anak jatuh sakit akibat campak.[59][60]

Suplemen zinc untuk anak dengan campak belum cukup diteliti.[61] Tidak ada bukti penelitian klinis acak yang mendukung atau bertentangan dengan ide apakah terapi ramuan obat Cina merupakan terapi efektif untuk campak.[62]

Pencegahan

Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/ Mumps, Measles, Rubela), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas.

Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12–15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4–6 tahun.

Selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.

Terdapat juga vaksin MMRV, suatu kombinasi vaksin MMR dan vaksin cacar air (varicella). Dengan adanya kombinasi ini, maka tata laksana vaksinasi lebih sederhana, karena jumlah penyuntikan lebih sedikit dan lebih murah.[63] Tetapi untuk anak-anak berusia 2 tahun atau kurang, vaksin MMRV lebih memiliki efek samping dibandingkan pemberian vaksin MMR dan vaksin cacar air secara terpisah dalam satu hari.[64] Terjadi penambahan kejadian febrile seizures yang terjadi 7 hingga 10 hari setelah vaksinasi, penambahan kejadian demam ringan dan penambahan kejadian gatal-gatal seperti kena campak. Tetapi vaksinasi MMRV pada usia 4 sampai 6 tahun tidak ada bukti penambahan kejadian febrile seizure dibandingkan pemberian vaksin MMR dan vaksin cacar air secara terpisah.[65][66]

Waktu inkubasi

Waktu terpapar sampai kena penyakit: Kira-kira 10 sampai 12 hari sehingga gejala pertama, dan 14 hari sehingga ruam muncul. Imunisasi (MMR) pada usia 12 bulan dan 4 tahun. Orang yang dekat dan tidak mempunyai kekebalan seharusnya tidak menghadiri sekolah atau bekerja selama 14 hari.

Waktu pengasingan yang disarankan

Disarankan selama sekurang-kurangnya 4 hari setelah ruam muncul.

Referensi

  1. ^ a b c Milner, Danny A. (2015). Diagnostic Pathology: Infectious Diseases E-Book. Elsevier Health Sciences. hlm. 24. ISBN 978-0-323-40037-4. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 8 September 2017.
  2. ^ Stanley, Jacqueline (2002). Essentials of Immunology & Serology. Cengage Learning. hlm. 323. ISBN 978-0-7668-1064-8. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 8 September 2017.
  3. ^ a b c d e f g h i Tesini, Brenda L. (July 2023). "Measles". Merck Manual Professional. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 8 April 2025. Diakses tanggal 10 April 2025.
  4. ^ a b c d "Measles (Rubeola) Signs and Symptoms". U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 3 November 2014. Diarsipkan dari asli tanggal 2 Februari 2015. Diakses tanggal 5 Februari 2015.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t "Chapter 13: Measles". Pink Book Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 24 April 2024. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 19 Juli 2024. Diakses tanggal 9 April 2025.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l Rota PA, Moss WJ, Takeda M, de Swart RL, Thompson KM, Goodson JL (Juli 2016). "Measles". Nature Reviews. Disease Primers. 2 16049. doi:10.1038/nrdp.2016.49. PMID 27411684.
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s "Measles Fact Sheet". World Health Organization (WHO). 14 November 2024. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 28 November 2022. Diakses tanggal 10 April 2025.
  8. ^ a b c Bope, Edward T.; Kellerman, Rick D. (2014). Conn's Current Therapy 2015. Elsevier Health Sciences. hlm. 153. ISBN 978-0-323-31956-0. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 8 September 2017.
  9. ^ "More than 140,000 die from measles as cases surge worldwide". World Health Organization (WHO) (Press release). 5 December 2019. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 6 August 2020. Diakses tanggal 4 September 2020.
  10. ^ "Global Measles Outbreaks". U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 17 August 2020. Diarsipkan dari asli tanggal 7 September 2020. Diakses tanggal 4 September 2020.
  11. ^ a b "KLB Campak Meningkat, Kemenkes Ingatkan Pentingnya Imunisasi Lengkap". Kemenkes. 27 Agustus 2025. Diakses tanggal 27 Agustus 2025.
  12. ^ Douglas Harper (n.d.). "measles (n.)". Online Etymology Dictionary. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 14 September 2024. Diakses tanggal 14 September 2024.
  13. ^ "measles". Oxford English Dictionary. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 20 September 2023. Diakses tanggal 10 April 2025.
  14. ^ Guerra, Fiona M.; Bolotin, Shelly; Lim, Gillian; Heffernan, Jane; Deeks, Shelley L.; Li, Ye; Crowcroft, Natasha S. (Desember 2017). "The basic reproduction number (R0) of measles: a systematic review". The Lancet. Infectious Diseases. 17 (12): e420 – e428. doi:10.1016/S1473-3099(17)30307-9. ISSN 1474-4457. PMID 28757186.
  15. ^ Delamater, P. L.; Street, E. J.; Leslie, T. F.; Yang, Y. T.; Jacobsen, K. H. (2019). "Complexity of the Basic Reproduction Number (R0)". Emerging Infectious Diseases. 25 (1). NIH website: 1–4. doi:10.3201/eid2501.171901. PMC 6302597. PMID 30560777. [a] review in 2017 identified feasible measles R0 values of 3.7–203.3
  16. ^ a b c d e f g h i Selina, SP; Chen, MD (6 Juni 2019). Measles (Report). Medscape. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 25 September 2011.
  17. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama WHO Measles fact sheet
  18. ^ Russell, SJ; Babovic-Vuksanovic, D; Bexon, A; Cattaneo, R; Dingli, D; Dispenzieri, A; Deyle, DR; Federspiel, MJ; Fielding, A; Galanis, E (September 2019). "Oncolytic Measles Virotherapy and Opposition to Measles Vaccination". Mayo Clinic Proceedings. 94 (9): 1834–39. doi:10.1016/j.mayocp.2019.05.006. PMC 6800178. PMID 31235278.
  19. ^ Ludlow M, McQuaid S, Milner D, de Swart RL, Duprex WP (January 2015). "Pathological consequences of systemic measles virus infection". The Journal of Pathology. 235 (2): 253–65. doi:10.1002/path.4457. PMID 25294240.
  20. ^ Kabra SK, Lodha R (Agustus 2013). "Antibiotics for preventing complications in children with measles". The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2013 (8): CD001477. doi:10.1002/14651858.CD001477.pub4. PMC 7055587. PMID 23943263.
  21. ^ "Despite the availability of a safe, effective and inexpensive vaccine for more than 40 years, measles remains a leading vaccine-preventable cause of childhood deaths" (PDF). Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 12 Desember 2019. Diakses tanggal 16 Februari 2019.
  22. ^ GBD 2015 Mortality and Causes of Death Collaborators (Oktober 2016). "Global, regional, and national life expectancy, all-cause mortality, and cause-specific mortality for 249 causes of death, 1980-2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2015". Lancet. 388 (10053): 1459–1544. doi:10.1016/S0140-6736(16)31012-1. PMC 5388903. PMID 27733281.
  23. ^ GBD 2013 Mortality Causes of Death Collaborators (Januari 2015). "Global, regional, and national age-sex specific all-cause and cause-specific mortality for 240 causes of death, 1990-2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013". Lancet. 385 (9963): 117–71. doi:10.1016/S0140-6736(14)61682-2. PMC 4340604. PMID 25530442.
  24. ^ "Measles cases spike globally due to gaps in vaccination coverage". World Health Organization (WHO). 29 November 2018. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 24 Desember 2018. Diakses tanggal 21 December 2018.
  25. ^ "U.S. measles cases surge nearly 20 percent in early April, CDC says". Reuters. 16 April 2019. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 15 April 2019. Diakses tanggal 16 April 2019.
  26. ^ "Measles – European Region". World Health Organization (WHO). Diarsipkan dari asli tanggal 8 May 2019. Diakses tanggal 8 Mei 2019.
  27. ^ Biesbroeck L, Sidbury R (November 2013). "Viral exanthems: an update". Dermatologic Therapy. 26 (6): 433–8. doi:10.1111/dth.12107. PMID 24552405. S2CID 10496269.
  28. ^ Griffin DE (Juli 2010). "Measles virus-induced suppression of immune responses". Immunological Reviews. 236: 176–89. doi:10.1111/j.1600-065X.2010.00925.x. PMC 2908915. PMID 20636817.
  29. ^ a b Griffin, Ashley Hagen (18 Mei 2019). "Measles and Immune Amnesia". asm.org. American Society for Microbiology. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 Januari 2020. Diakses tanggal 18 Januari 2020.
  30. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Mina 2019
  31. ^ Guglielmi, Giorgia (31 Oktober 2019). "Measles erases immune 'memory' for other diseases". Nature. doi:10.1038/d41586-019-03324-7. PMID 33122832. S2CID 208489179. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2 November 2019. Diakses tanggal 3 November 2019.
  32. ^ Fisher DL, Defres S, Solomon T (March 2015). "Measles-induced encephalitis". QJM. 108 (3): 177–82. doi:10.1093/qjmed/hcu113. PMID 24865261.
  33. ^ Semba RD, Bloem MW (March 2004). "Measles blindness". Survey of Ophthalmology. 49 (2): 243–55. doi:10.1016/j.survophthal.2003.12.005. PMID 14998696.
  34. ^ Ellison JB (February 1931). "Pneumonia in Measles". Archives of Disease in Childhood. 6 (31): 37–52. doi:10.1136/adc.6.31.37. PMC 1975146. PMID 21031836.
  35. ^ a b c d e f g h "Measles". U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 23 Oktober 2016. Diakses tanggal 22 Oktober 2016.
  36. ^ National Institutes of Health Office of Dietary Supplements (2013). "Vitamin A". U.S. Department of Health & Human Services. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 11 March 2015. Diakses tanggal 11 Maret 2015.
  37. ^ Sabella C (Maret 2010). "Measles: not just a childhood rash". Cleveland Clinic Journal of Medicine. 77 (3): 207–13. doi:10.3949/ccjm.77a.09123. PMID 20200172. S2CID 4743168.
  38. ^ a b Perry RT, Halsey NA (May 2004). "The clinical significance of measles: a review". The Journal of Infectious Diseases. 189 Suppl 1 (S1): S4-16. doi:10.1086/377712. PMID 15106083.
  39. ^ Sension MG, Quinn TC, Markowitz LE, Linnan MJ, Jones TS, Francis HL, Nzilambi N, Duma MN, Ryder RW (Desember 1988). "Measles in hospitalized African children with human immunodeficiency virus". American Journal of Diseases of Children. 142 (12): 1271–2. doi:10.1001/archpedi.1988.02150120025021. PMID 3195521.
  40. ^ a b c d Hübschen, Judith M.; Gouandjika-Vasilache, Ionela; Dina, Julia (12 Februari 2022). "Measles". Lancet. 399 (10325): 678–690. doi:10.1016/S0140-6736(21)02004-3. ISSN 1474-547X. PMID 35093206.
  41. ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Bester2016
  42. ^ Banerjee E, Griffith J, Kenyon C, Christianson B, Strain A, Martin K, et al. (2020). "Containing a measles outbreak in Minnesota, 2017: methods and challenges". Perspect Public Health. 140 (3): 162–171. doi:10.1177/1757913919871072. PMID 31480896. S2CID 201829328.
  43. ^ Spelman LH, Gilardi KV, Lukasik-Braum M, Kinani JF, Nyirakaragire E, Lowenstine LJ, et al. (2013). "Respiratory disease in mountain gorillas (Gorilla beringei beringei) in Rwanda, 1990-2010: outbreaks, clinical course, and medical management". J Zoo Wildl Med. 44 (4): 1027–35. doi:10.1638/2013-0014R.1. PMID 24450064.
  44. ^ Gowda VK, Sukanya V (November 2012). "Acquired immunodeficiency syndrome with subacute sclerosing panencephalitis". Pediatric Neurology. 47 (5): 379–81. doi:10.1016/j.pediatrneurol.2012.06.020. PMID 23044024.
  45. ^ Waggoner JJ, Soda EA, Deresinski S (Oktober 2013). "Rare and emerging viral infections in transplant recipients". Clinical Infectious Diseases. 57 (8): 1182–8. doi:10.1093/cid/cit456. PMC 7107977. PMID 23839998.
  46. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Leuridan2012
  47. ^ Ewing Jr., Edwin P. (1972). "This photomicrograph of a lung tissue specimen, reveals the histopathologic changes encountered in a case of measles pneumonia. Included in this view, are numerous leukocytes, and a multinucleated giant cell. Normal alveolar cytoarchitecture has been obliterated". CDC, Public Health Image Library. U.S. Government. 859. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 10 Desember 2023. Diakses tanggal 16 Januari 2024.
  48. ^ Rainwater-Lovett, Kaitlin; Moss, William J. (2018), Jameson, J. Larry; Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L.; Hauser, Stephen L. (ed.), "Measles (Rubeola)", Harrison's Principles of Internal Medicine (Edisi 20), New York, NY: McGraw-Hill Education, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 24 September 2020, diakses tanggal 7 Desember 2020
  49. ^ Baxby D (Juli 1997). "The diagnosis of the invasion of measles from a study of the exanthema as it appears on the buccal mucous membraneBy Henry Koplik, M.D. Reproduced from Arch. Paed. 13, 918-922 (1886)". Reviews in Medical Virology. 7 (2): 71–74. doi:10.1002/(SICI)1099-1654(199707)7:2<71::AID-RMV185>3.0.CO;2-S. PMID 10398471. S2CID 42670134.
  50. ^ a b "Surveillance Manual | Measles | Vaccine Preventable Diseases". U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 23 Mei 2019. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 4 Agustus 2020. Diakses tanggal 25 November 2019.
  51. ^ a b Friedman M, Hadari I, Goldstein V, Sarov I (Oktober 1983). "Virus-specific secretory IgA antibodies as a means of rapid diagnosis of measles and mumps infection". Israel Journal of Medical Sciences. 19 (10): 881–4. PMID 6662670.
  52. ^ a b c Dimech, Wayne; Mulders, Mick N. (Juli 2016). "A review of testing used in seroprevalence studies on measles and rubella". Vaccine. 34 (35): 4119–4122. doi:10.1016/j.vaccine.2016.06.006. PMID 27340096.
  53. ^ a b Simon, Jakub K.; Ramirez, Karina; Cuberos, Lilian; Campbell, James D.; Viret, Jean F.; Muñoz, Alma; Lagos, Rosanna; Levine, Myron M.; Pasetti, Marcela F. (Maret 2011). "Mucosal IgA Responses in Healthy Adult Volunteers following Intranasal Spray Delivery of a Live Attenuated Measles Vaccine". Clinical and Vaccine Immunology. 18 (3): 355–361. doi:10.1128/CVI.00354-10. PMC 3067370. PMID 21228137.
  54. ^ a b Weisenberg, Elliot (9 Agustus 2022). "Measles". PathologyOutlines.com. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 30 Juni 2024. Diakses tanggal 9 April 2025.
  55. ^ Rezaie, Salim R. "Measles: The Sequel". Emergency Physicians Monthly. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 7 Juni 2019. Diakses tanggal 7 Juni 2019.
  56. ^ World Health Organization (April 2017). "Measles vaccines: WHO position paper – April 2017". Weekly Epidemiological Record. 92 (17): 205–27. hdl:10665/255377. PMID 28459148.
  57. ^ "Frequently Asked Questions about Measles". Washington State Department of Health. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 5 Agustus 2019. Diakses tanggal 10 Februari 2019. [Vitamin A] cannot prevent or cure the measles
  58. ^ Huiming Y, Chaomin W, Meng M (Oktober 2005). Yang H (ed.). "Vitamin A for treating measles in children". The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2005 (4): CD001479. doi:10.1002/14651858.CD001479.pub3. PMC 7076287. PMID 16235283.
  59. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama NYTimes
  60. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Davies2025
  61. ^ Awotiwon AA, Oduwole O, Sinha A, Okwundu CI (Juni 2017). "Zinc supplementation for the treatment of measles in children". The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2017 (6): CD011177. doi:10.1002/14651858.CD011177.pub3. PMC 6481361. PMID 28631310.
  62. ^ Chen, Shou; Wu, Taixiang; Kong, Xiangyu; Yuan, Hao (9 November 2011). "Chinese medicinal herbs for measles". The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2011 (11): CD005531. doi:10.1002/14651858.CD005531.pub4. ISSN 1469-493X. PMC 7265114. PMID 22071825.
  63. ^ Vesikari T, Sadzot-Delvaux C, Rentier B, Gershon A (2007). "Increasing coverage and efficiency of measles, mumps, and rubella vaccine and introducing universal varicella vaccination in Europe: a role for the combined vaccine". Pediatr Infect Dis J. 26 (7): 632–8. doi:10.1097/INF.0b013e3180616c8f. PMID 17596807. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  64. ^ CDC: Possible Side-effects from Vaccines
  65. ^ Klein NP, Fireman B, Yih WK; et al. (July 2010). "Measles-mumps-rubella-varicella combination vaccine and the risk of febrile seizures". Pediatrics. 126 (1): e1–8. doi:10.1542/peds.2010-0665. PMID 20587679. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  66. ^ FDA: CBER clinical review of studies submitted in support of licensure of ProQuad
Kembali kehalaman sebelumnya