Bendera Aceh
Bendera provinsi Aceh, juga dikenal sebagai Alam Acèh (Jawoë :علم اچيه; pelafalan [alam atʃɛh]; Bendera Aceh), diadopsi pada tanggal 10 Desember 2007,[1] berupa sebuah lambang provinsi di tengah bidang berwarna hijau, Lambangnya berupa sebuah segi lima yang berbentuk seperti kopiah, di dalamnya terdapat timbangan di tengah yang di atasnya terdapat dua buah rencong, di bawahnya terdapat setangkai padi dan kapas yang menyerupai kubah masjid, dan juga dua cerobong pabrik di bawahnya, di antaranya terdapat sebuah pena kalam yang menunjuk ke sebuah buku, dengan semboyan daerah di bawahnya dalam bahasa Sansekerta, yang berbunyi: Pancacita ('Lima Cita-Cita') [2] Topik mengenai pengajuan bendera baru untuk Aceh telah menjadi sebuah isu yang tabu dan kontroversial. Pengajuan bendera unik untuk Aceh sering dikaitkan dengan Gerakan Aceh Merdeka, sebuah organisasi yang bertuju untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dinyatakan oleh hukum, Lambang atau bendera provinsi yang pada pokoknya atau keseluruhannya mempunyai persamaan terhadap desain simbol organisasi terlarang itu dilarang.[3] Makna benderaLambang tersebut memiliki semboyan Pancacita ('Lima Cita-Cita') dibawahnya, yang berupa: Keadilan, kepahlawanan, kesejahteraan, kerukunan, dan kesejahteraan. Simbolisme semboyan Pancacita juga dapat ditemukan pada simbol-simbol yang ada di dalam lambang tersebut:[4]
Kubah masjid, buku, dan pena kalam juga melambangkan ilmu pengetahuan dan juga spiritualitas dan keagamaan Aceh, khususnya Islam.[5] Warna dari lambang tersebut juga memiliki arti sebagai berikut:
SejarahAlam Peudeuëng (abad ke-15/16 – 1904)Alam Peudeuëng (Jawoë :علم ڤدڠ pelafalan [alam pɯdɯəŋ]; Bendera Pedang) adalah bendera Kesultanan Aceh. Ia terdiri dari bulan sabit dan bintang berwarna putih di tengah di atas pedang putih yang menunjuk ke kanan pada bidang berwarna merah. [6] Sebelum adanya Alam Peudeuëng, Kesultanan Aceh sebelumnya menggunakan bendera Kesultanan Utsmaniyah.[7] Seiring berjalannya waktu, Aceh mengembangkan bendera tersendiri untuk membedakannya dari Utsmaniyah. Ia mengambil pengaruh dari motif Utsmaniyah, khususnya motif bulan sabit dan bintang, yang kemudian berkembang menjadi Alam Peudeuëng. Alam Peudeuëng ini telah digunakan sejak abad ke-16, ada juga yang mengatakan bahwa penggunaannya dimulai pada tahun 1412 dengan penyatuan beberapa negeri-negeri di wilayah Aceh. Ia juga digunakan secara luas oleh masyarakat Aceh.[8] Bendera ini menjadi bendera resmi Kesultanan Aceh sampai aneksasinya ke dalam Hindia Belanda sehabis usainya Perang Aceh.[9]
Bintang Buleuën (1976–2005, 2013–2016)
Alam Bintang Buleuën (Jawoë: علم بينتڠ بولن pelafalan [alam bintaŋ bulɯən]; Bendera Bintang Bulan), juga dikenal sebagai Pusaka Nanggroë (Jawoë: ڤوساک نڠڬرو pelafalan [pusaka naŋɡrɔə]; Pusaka Negara) adalah bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebuah organisasi yang berupaya untuk mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Ia terdiri dari bulan sabit dan bintang putih di tengahnya, di antara enam garis horizontal, berselang-seling antara dua garis tipis putih dan satu garis tebal hitam, di atas bidang berwarna merah. Bendera Bintang Buleuën digunakan sebagai bendera resmi Gerakan Aceh Merdeka sampai pembubarannya dengan penandatanganan Nota Kesepahaman di kota Helsinki pada tahun 2005. Pada tahun 2013, bendera Bintang Buleuën dengan lambang GAM secara resmi ditetapkan sebagai lambang baru provinsi Aceh, yang dinyatakan dalam hukum bahwa lambang tersebut sudah lepas dari separatisme, dinyatakan sebagai lambang budaya dan pemersatu Aceh yang tidak berkaitan dengan separatisme.[10][11] ![]() Dengan pengesahannya bendera sebagai bendera Aceh, instruksi resmi bendera juga dikeluarkan. Pembuatan bendera adalah sebagai berikut:[12]
Bendera ini merupakan bendera de facto Aceh hingga 12 Mei 2016, dimana bendera ini ditolak melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34-4791 Tahun 2016, karena Qanun tersebut dianggap melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007.[1] Anggota DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky berpendapat bahwa keputusan tersebut tidak sah, ia menyatakan, berdasarkan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peraturan daerah dapat ditolak oleh sang presiden paling lama 60 hari,[13] dan apabila tidak ada pertentangan mengenai peraturan itu, maka peraturan daerah tersebut menjadi sah.[1] Usulan bendera baruWalau Provinsi Aceh secara resmi menggunakan bendera bidang dengan warna polos dengan lambang provinsi di tengahnya seperti provinsi-provinsi lain di Indonesia sebagaimana telah ditetapkan oleh undang-undang,[3] banyak yang menganggap bendera resmi ini tidak sepenuhnya mewakili identitas Aceh. Akibatnya, ada beberapa upaya dari masyakarat yang mendukung untuk bendera yang lebih mencerminkan budaya dan sejarah Aceh. Sebagian besar masyarakat Aceh lebih memilih untuk menggunakan bendera Bintang Buleuën atau Alam Peudeuëng untuk mewakili Aceh.[14][15] Walaupun bendera Bintang Buleuën mempunyai status resmi sebagai bendera Aceh dari tahun 2013 sampai 2016, ia telah menjadi topik kontroversi karena hubungannya dengan GAM. Karena itu, Alam Peudeuëng menjadi populer sebagai alternatif, dengan sebagian besar masyarakat Aceh memandangnya sebagai simbol yang lebih cocok untuk mewakili sejarah dan budaya provinsi tersebut.[16] Usulan bendera yang lainSetelah penolakan bendera Bintang Buleuën pada tanggal 16 Mei 2016, Fakhrurrazi, Yudhistira Maulana, dan Hamdani merancang dan mengusulkan sebuah bendera dan lambang provinsi Aceh baru sebagai sebuah pengujian yudisial kepada Mahkamah Agung Indonesia. Benderanya berupa Alam Peudeuëng, tetapi warnanya diganti dengan warna hijau dan kuning, Pengujian yudisial itu ditolak oleh Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Yulius pada tanggal 14 Februari 2017.[17][18] Bendera historis
Bendera lainnya
Lihat jugaReferensi
Bibliografi
|