Batara Lubis (Hutagodang, 2 Februari 1927[1] – 1 Desember 1986[2]) adalah seorang pelukis yang berasal dari Kota Medan.[3] Ciri khas lukisan yang dibuatnya ialah mempunyai karakter dengan corak warna yang kontras. Ia hijrah dari Medan dan menetap di Yogyakarta belajar ilmu Seni Lukis. Ia adalah anak kedua dari mantan Gubernur Sumatera Utara yaitu Raja Junjungan Lubis.[4]
Pendidikan
Bata Lubis kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta mulai tahun 1952.[5] Pada tahun 1953 sampai tahun 1959, Batara Lubis belajar melukis.[6] Ia belajar melukis kepada Hendra Gunawan dan Affandi.[7]
Batara Lubis juga memperoleh pembinaan sebagai seniman oleh Trubus Soedarsono.[8] Pada awal masa belajarnya, gaya lukis spontan yang dimiliki Batara bertentangan dengan gaya lukis Trubus yang lebih realis. Walau sempat dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai Batara tetap terus belajar.[butuh rujukan] Batara Lubis bergabung di Sanggar Pelukis Rakyat (SPR).[9] Pendiri SPR ialah Hendra Gunawan dan beberapa seniman lainnya.[10] Di SPR Batara belajar melukis di tempat-tempat terbuka. Jadi, Batara harus banyak melakukan eksplorasi untuk mengenali situasi. Batara lebih banyak menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta, seperti di Pasar Ngasem, Beringharjo, hingga Pantai Parangtritis.[11]
Batar Lubis kuliah di ASRI Yogyakarta sampai tahun 1958.[12]
Pekerjaan
Batara Lubis merupakan salah satu seniman yang terlibat dalam pembuatan Tugu Muda di Kota Semarang.[13] Tugu ini didirikan pada tahun 1950.[14] Pada tahun 1955, Batara Lubis menjadi salah satu seniman yang mengerjakan pendirian Museum CPM di Kebon Sirih, Jakarta.[15]
Batara Lubis juga mengadakan pameran bersama di Hotel Ambarukmo.[16] Pameran ini diadakan di Kota Yogyakarta pada tahun 1976.[butuh rujukan] Sumber yang lain menyebutkan bahwa Batara Lubis bersama J. Soedhiono, Nyoman Gunarsa, Suparno, Mudjita, Harsono, M. Sondakh dan lainnya membuat mosaik ubin keramik di lantai 1 / Lobi hotel Ambarukmo dalam waktu sekitar empat bulan (1964 - 1965). Mosaik ubin keramik berukuran 300 x 1.000 cm. ini diberi judul 'Kehidupan Masyarakat Jawa Tengah'. Potongan-potongan ubin keramik yang didatangkan dari Jakarta dan Jepang membentuk mosaik yang mengisahkan kehidupan alami masyarakat di Jawa Tengah. Ada pasar tradisional, wanita mandi di sungai, pembajak sawah, dan Borobudur. Saat itu J. Soedhiono dan timnya juga mengerjakan mosaik “Kehidupan Masyarakat di Yogyakarta”. di lantai 8. Mosaik di lobi lebih berwarna pastel dan menggunakan lebih sedikit warna dibandingkan mosaik lantai 8 yang menggunakan 15 warna.[17]
Mengerjakan mozaik gedung kehutanan Banda Aceh (1980).[18]
Berkali-kali pameran di dalam dan luar negeri.[19]