Abu Hanifah
Abū Ḥanīfah an-Nuʿmān bin Tsābit bin Zūṭā bin Marzubān at-Taymī al-Kūfī (bahasa Arab: أَبُو حَنِيفَة ٱلنُّعْمَان بْن ثَابِت بْن زُوطَا بْن مَرْزُبَان ٱلتَّيْمِيّ ٱلْكُوفِيّ); juga dikenal sebagai Abu Hanifah (bahasa Arab: أَبُو حَنِيفَة, translit. Abū Ḥanīfah; September 699 M – 767 M)[5][6] adalah seorang cendekiawan Muslim, ahli hukum, teolog, zahid,[7] dan eponim dari mazhab Hanafi dalam yurisprudensi Sunni, yang masih paling banyak dipraktikkan hingga saat ini.[7] Mazhabnya mendominasi di Asia Tengah dan Selatan, Turki, Afrika, Balkan, Rusia, dan beberapa bagian dunia Arab.[8][9] Sumber-sumber berbeda pendapat tentang di mana tepatnya dia dilahirkan, apakah di Kufah (yang dipegang oleh mayoritas),[5] Kabul, Anbar, Nasa atau Termez.[7][5] Abu Hanifah melakukan perjalanan ke wilayah Hijaz di Arabia pada masa mudanya, di mana dia belajar di kota-kota suci Islam Makkah dan Madinah.[7] Dia disebut oleh adz-Dzahabi sebagai "salah satu jenius putra Adam" yang "menggabungkan yurisprudensi, ibadah, ketelitian, dan kemurahan hati".[10] Seiring dengan berkembangnya kariernya sebagai ahli hukum dan teolog, ia dikenal karena mendukung penggunaan akal dalam putusan-putusan yurisprudensinya, dan bahkan dalam teologinya.[7] Mazhabnya berkembang setelah kematiannya, dan mayoritas pengikutnya pada akhirnya juga mengikuti mazhab teologi Maturidiyah.[7] Ia meninggalkan dua murid utamanya, Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani, yang kemudian menjadi ahli hukum ternama dengan hak mereka sendiri. BiografiKelahiranPara sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya, meskipun mereka sepakat bahwa ia lahir pada masa Kekhalifahan Umayyah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai tahunnya: 699 M / 80 H (dianggap oleh mayoritas ulama Muslim klasik),[5][11][12] 696 M / 77 H,[13] 689 M / 70 H,[14] atau 680 M / 61 H.[15] Banyak sejarawan memilih tanggal terakhir, 699 M / 80 H; namun, Muhammad Zahid al-Kautsari percaya bahwa tanggal 689 M / 70 H didukung oleh dua pertimbangan:[butuh rujukan]
Latar belakang keluargaAbu Hanifah diduga memiliki keturunan Persia.[16][17] Namun, ia juga disebutkan sebagai keturunan Zutt, orang-orang Jat yang bermigrasi ke Irak selama Zaman Kejayaan Islam.[18][19][20] Kakeknya, Zuta, mungkin telah ditangkap oleh pasukan Muslim di Kabul dan dijual sebagai budak di Kufah, di mana ia dibeli dan dibebaskan oleh seorang anggota suku Arab dari Taimullah, cabang dari Bani Bakar. Zuta dan keturunannya setelah itu akan menjadi klien Taimullah, oleh karena itu ada referensi sporadis kepada Abu Hanifah sebagai "at-Taymī".[21] Namun, menurut cucunya Isma'il, garis keturunannya kembali ke orang Persia bebas yang tidak pernah ditahan sebagai budak. Ia menyebut kakek buyut Abu Hanifah dengan sebutan "Marzuban", yang merupakan bentuk Arab dari jabatan militer Sasaniyah marzban, yang dipegang oleh gubernur provinsi-provinsi perbatasan wilayah Sasaniyah.[6] Pandangan lain diambil dari sejarawan Irak Naji Ma'ruf, salah satu tokoh terkemuka di bidang keilmuan dan sastra Irak, yang menulis buku yang menetapkan asal-usul dan leluhur Abu Hanifah melalui dokumentasi sejarah, dan membantah semua klaim sebelumnya tentang asal-usulnya yang bukan berasal dari Arab. Dalam karyanya yang berharga (Asal Usul Imam Abu Hanifah al-Nu'man dari Arab; bahasa Arab: عروبة الإمام أبي حنيفة النعمان), dan berdasarkan prinsip bahwa 'orang-orang Makkah paling mengetahui lembah-lembahnya,' sumber-sumber Hanafi menegaskan bahwa ia berasal dari keturunan Arab, dan bahwa Tsabit bin an-Nu'man bin al-Mirzban berasal dari Bani Yahya bin Zaid bin Asad, dari suku Arab al-Azad yang bermigrasi dari Yaman dan menetap di wilayah Irak setelah runtuhnya Bendungan Marib akibat Banjir Besar, menjadi bagian dari suku Nabath di Irak.[22] Di kalangan orientalis, seorang cendekiawan terkemuka Carl Brockelmann mengungkapkan keheranannya dalam penelitiannya yang diterbitkan di Jurnal Orientalis Jerman mengenai bagaimana sejarawan Irak mengabaikan identitas Irak Abu Hanifah, yang merupakan salah satu orang Arab kuno di al-Hirah, dan bagaimana mereka mengaitkannya dengan orang-orang selain bangsanya sendiri, meskipun ia merupakan simbol nasional Bagdad. Dari kalangan Hanafi India, Syah Waliullah Dehlawi menegaskan bahwa Imam Besar itu berasal dari Arab dan bukan yang lain, dan ia mengecam keras siapa pun yang mengaitkannya dengan hal lain.[23] Penolakan sebagai hakimKhalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini." Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu di antara mereka oleh Amirul Mukminin." Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beriktikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya. Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara. Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang." Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya. Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah. Akhir hayatSelang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada." Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian. Referensi
Bahan bacaan
|