"Dewaraja" adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara.[1] Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Konsep ini terkait dengan gagasan India mengenai raja jagat cakrawartin. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi.
Istilah
Dalam bahasa Sanskerta istilah dewa-raja dapat bermakna "raja para dewa" atau "raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat dewa Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya Indra. Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan bayangan kerajaan fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa yang hidup di muka bumi.
Tujuan
Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi dan agama. Dalam aspek politik, memperkuat hak raja dan wangsa yang berkuasa sebagai penguasa negeri yang sah. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan maksimal rakyatnya dan pengabdian umatnya. Memperkenalkan sistem kasta India juga mendefinisikan kelas sosial, pekerjaan, serta cara hidup rakyat mereka.
Kepercayaan dewaraja juga memungkinkan raja untuk mengerahkan rakyatnya untuk melakukan pekerjaan umum berskala besar dan proyek-proyek raksasa, misalnya menciptakan dan memelihara sistem pengairan hidrolik yang rumit untuk mendukung pertanian padi dalam skala besar, atau untuk membangun monumen agung, membangun candi-candi untuk menghormati raja yang telah wafat. Contoh dari proyek-proyek pembangunan besar misalnya pembangunan candi Borobudur, Prambanan, juga kompleks percandian dan baray di Angkor.
Jawa
Pemujaan dewaraja adalah pranata resmi kerajaan Kamboja yang didukung sistem agama mereka, sesungguhnya konsep ini mungkin berasal dari Jawa.[1] Di Jawa kuno, sejak masa wangsa Sailendra, atau mungkin lebih tua sejak kerajaan Tarumanagara, pranata negara memandang raja sebagai titisan dewa di bumi. Prasasti Ciaruteun dari abad ke-5, mengukirkan telapak kaki Raja Purnawarman laksana telapak kaki Wishnu. Prasasti Kebon Kopi I atau batu "Telapak Gajah", mengukirkan telapak kaki gajah tunggangan raja sebagai telapak kaki Airawata (gajah tunggangan dewa Indra), maka raja juga dikaitkan dengan dewa Indra.
Di kerajaan Medang, adalah kebiasaan untuk membangun candi untuk memuliakan arwah raja yang meninggal dunia. Arca dewa di ruangan utama candi sering kali merupakan arca perwujudan anumerta sang raja yang digambarkan sebagai dewa tertentu yang arwahnya akhirnya bersatu dengan dewa yang dipuja dan naik ke swargaloka. Disebutkan bahwa gagasan ini merupakan paduan antara Hinduisme dengan pemujaan nenek moyang bangsa Austronesia.[2] Di Jawa, tradisi memuliakan raja sebagai titisan dewa terus berlanjut pada masa kerajaan Kediri, Singhasari, hingga Majapahit pada abad ke-15 M.
Kamboja
Dalam konteks Kamboja, istilah ini merujuk kepada raja yang juga dianggap dewa, muncul di prasasti K. 235 dari Sdok Kak Thom / Sdok Kăk Thoṃ (kini Thailand) bertarikh 8 Februari 1053 M, menyebutkan gelar Khmer kamrateṅ jagat ta rāja ("ratu/penguasa jagat yang adalah raja") menggambarkan dewa agung pelindung kerajaan Khmer yang merujuk kepada tokoh raja Jayawarman II. Dewa Khmer lainnya, juga disebutkan dalam prasasti sebelum K. 682, dari Chok Gargyar (Kòḥ Ker) bertarikh 921/22M.[3]
^Drs. R. Soekmono, (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. 5th reprint edition in 1988. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 83.
^Claude Jacques, “The Kamrateṅ Jagat in ancient Cambodia”, Indus Valley to Mekong Delta. Explorations in Epigraphy; ed. by Noboru Karashima, Madras: New Era Publications, 1985, pp. 269-286