Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa Indonesia
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara gamblang duet pemimpin Dwitunggal, Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia Merdeka sebagai sebuah negara yang demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah “atas nama bangsa Indonesia”, bila dikaitkan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh rakyat Indonesia. Jadi kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukkan bagi rakyat Indonesia sendiri.
Meskipun telah mencapai konsensus kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, tetapi setiap tokoh pergerakan dan pelopor kemerdekaan Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya masing-masing, kebanyakan dari mereka berusaha menengahi dualisme penafsiran demokrasi dari Negara Barat yang liberalis dan kapitalis dengan Negara Timur yang komunis, terutama dalam merumuskan tentang kebebasan politik yang diadopsi dari demokrasi Barat dan kemerataan ekonomi yang ditiru dari demokrasi Timur. Namun, terkadang beberapa tokoh kemudian memiliki kecenderungan masing-masing, entah itu kecenderungan pada Barat ataupun Timur, yang kemudian menjadi ciri khas dari perkembangan demokrasi di Indonesia.
Dalam pandangan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan, itu artinya adalah demokrasi Indonesia menurut Soekarno meletakan embrionya pada perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme, hal itu ditulis oleh Soekarno dalam bukunya, Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi, yang secara eksplisit terinspirasi oleh pergerakan kemerdekaan yang dilakukan di pelbagai belahan dunia, dari perjuangan seorang Muhammad, Yesus Kristus, William de Oranje, Mahatma Gandhi, Mustafa Kemal Attaturk, dan tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[1]
Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih lanjut lagi, bagi Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakayat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang diinginkan dan dikonsepsikan oleh Soekarno tidak ingin meniru demokrasi modern yang lahir dari Revolusi Prancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis, demokrasi yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.[2] Oleh karena itu, kemudian Soekarno mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok untuk Indonesia.
Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam konsep pemikirannya, yaitu marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan buah pikir Soekarno ketika masih belajar sebagai mahasiswa di Bandung. Marhaenisme pada hakekatnya sering menjadi pisau analisis sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga pokok atau yang disebut sebagai “Trisila”, yaitu:[3][4]
Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno adalah nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme yang chauvinis.
Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno adalah bukan semata-mata demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.
Ketuhanan yang berkebudayaan, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan rakyat Indonesia ber-Tuhan dengan tiada "egoisme-agama". Tanpa sektarianisme, hormat-menghormati satu sama lain. Bukan untuk menerapkan hukum tuhan atau suatu rumusan sistem keagamaan dibidang hukum publik.[5]
Di antara ketiga sila itu, pemikiran dan konsepsi Soekarno mengenai demokrasi ada di sila kedua dalam TrisilaMarhaenisme, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi menurut Soekarno adalah suatu sistem demokrasi yang mengakar pada nilai-nilai kemasyarakatan. Sosio-demokrasi yang diinginkan oleh Soekarno adalah saat demokrasi itu sendiri mendasari nilai-nilainya pada seluruh masyarakat, bukan hanya kepada sebagian masyarakat, dalam hal ini Soekarno mengkritik demokrasi Prancis dan demokrasi Amerika Serikat yang menurut Soekarno hanya mementingkan sebagian kelompok orang saja, yaitu kelompok borjuis, atau sederhananya, Soekarno ingin demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.[6]
Masih dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno kemudian menjabarkan lebih jauh tentang konsep sosio-demokrasinya itu, yaitu dengan mengkonsepsikan nilai-nilai demokrasi politik dan juga demokrasi ekonomi. Demokrasi politik menurut Soekarno adalah demokrasi yang berlaku di Eropa pasca-Revolusi Prancis, yaitu demokrasi yang didalamnya adalah suatu sistem demokrasi keterwakilan dalam sebuah lembaga parlemen, - Soekarno menyebutnya parlementaire democratie dan politieke democratie - Soekarno melihat bahwa nilai-nilai demokrasi itu memang diterapkan saat pemilihan anggota parlemen, namun bagi Soekarno demokrasi politik Eropa itu hanya berhenti sampai di parlemen saja, sementera dalam bidang ekonomi tidak ada nilai-nilai demokrasinya, yang menyebabkan banyaknya kemiskinan - dan untuk permasalahan ekonomi itu Soekarno menyalahkan demokrasi politik yang justru mendukung berkembangnya kapitalisme.[7]
Soekarno kemudian membuat suatu rumusan, agar demokrasi menjadi lebih seimbang, artinya demokrasi yang Soekarno inginkan bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi itu menurut Soekarno adalah demokrasi yang menghendaki adanya pemberian hak-hak ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercipta suatu kemerataan. Kemerataan yang dimaksudkan oleh Soekarno itu bukan kemerataan ekonomi dalam sistem komunisme yang menghilangkan hak milik pribadi,[8] tetapi suatu kemerataan dimana semua hak kepemilikan pribadi - Soekarno menyeburnya sebagai privaatbezit - seluruh rakyat dijamin oleh negara, dalam hal ini parlemen yang merupakan hasil dari demokrasi politik berperan untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak kepemilikan pribadi semua orang melalui suatu pembuatan peraturan atau hukum yang adil bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, baik dari kelas borjuis ataupun proletar - termasuk juga kelas masyarakat yang memiliki harta benda sedikit atau yang disebut Soekarno sebagai marhaen.[9]
Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, terutama saat perumusan dasar negara Indonesia yang dilaksanakan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno menawarkan konsepsi dasar negara bagi Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila – meskipun Soekarno sendiri menolak disebut sebagai penemu Pancasila, oleh karen itu Soekarno lebih suka disebut sebagai “penggali Pancasila”. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 itu, Soekarno berkata mengenai konsespsi demokrasi yang Soekarno tawarkan adalah sebagai berikut:[10]
"Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi; prinsipnya San Min Chu ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng (yang artinya): Nationalism, Democracy, Socialism. Maka prinsip kita harus (berdasarkan apa?): Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup member sandang – pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-Saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demokratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?"[11]
Pada sila ini secara eksplisit Soekarno menginingkan sebuah sistem politik demokrasi yang tidak hanya politiknya saja yang mengalami demokratisasi, tetapi juga ekonominya, dengan cara menjadikan “kerakyatan” sebagai fondasi utamanya dan dijalankan dengan prinsip-prinsip “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Seokarno tidak ingin Indonesia menjadi negara demokrasi liberal seperti di Barat, yang masyarakatnya kapitalistik, Soekarno ingin Indonesia menjadi negara demokrasi yang masyarakatnya sosialistik, artinya bahwa demokrasi bukan hanya pada kebebasan dalam politik, seperti bebas berbicara, bebas memilih, dan bebas berserikat dalam organisasi apapun, tetapi juga demokrasi yang mampu mengalokasikan seluruh sumber daya ekonomi kepada seluruh rakyat atau sederhadanya kekuasaan rakyat atas ekonomi dan perlawanan terhadap kemiskinan.[12]
Soekarno juga memiliki suatu konsepsi tentang demokrasi yang dikemukakan pada 21 Februari 1957. Konsepsi itu berisi penolakannya terhadap sistem demokrasi parlementer yang saat itu diterapkan di Indonesia, karena Soekarno menganggap demokrasi parlementer sebagai demokrasi Barat yang mengecewakan. Selain itu, konsepsi Soekarno tentang demokrasi itu kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Gotong Royong dengan kepemimpinan yang terpusat dan integralistik.[13]
Seperti Soekarno, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga merupakan salah satu tokoh pergerakan yang menjadi pengeritik utama demokrasi liberal Barat. Kritik Hatta terhadap demokrasi Barat yang dimaksud, bukanlah demokrasi Barat dalam arti politik, yaitu demokrasi dalam kehidupan politik, atau liberalisme secara umum. Dalam pamflet yang berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka, Hatta mengemukakan sebagai berikut:[14]
"Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Prancis tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi."[14]
Demokrasi Barat yang bersendikan pada liberalisme memiliki sisi politik dan ekonomi, yaitu demokrasi politik dan sistem kapitalisme dalam ekonominya. Secara spesifik dalam pandangan Hatta, sistem ekonomi kapitalis lahir terlebih dulu (oleh kaum kelas borjuis yang menguasai parlemen pada masa itu) dan kemudian kelas borjuis yang kapitalis mendirikan sebuah sistem demokrasi politik yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan sistem kapitalisme itu sendiri. Hatta mengakui bahwa demokrasi Barat memang menjamin kedaulatan rakyat di bidang politik, akan tetapi karena kehidupan politik berkaitan dengan kehidupan ekonomi, sementara kehidupan ekonomi dalam demokrasi Barat tidak mengandung kedaulatan rakyat, maka bagi Hatta demokrasi politik dalam demokrasi Barat menjadi manipulatif, yaitu “memutar satu asas yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi perkakas pemakan rakyat”.[15]
Demokrasi politik di Barat – seperti apa yang dikemukakan oleh William Ebenstein dan Edwin Fogelman – bertumpu kepada “pementingan individu"[16] dalam kehidupan politik. Maksudnya, individu dengan segenap hak-hak dasarnya merupakan unit utama dalam kehidupan politik. Negara dan kelompok-kelompok lain diadakan semata-mata untuk melayani kepentingan individu-individu ini. Hatta berpendapat, semangat individualisme Barat dalam politik harus ditolak. Sebaliknya, Hatta menginginkan sebuah sistem demokrasi yang berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan yang mencerminkan tradisi kehidupan bangsa Indonesia secara turun menurun.[17]
Hatta menganggap individualisme sebagai penyakit, sehingga individualism adalah sesuatu yang harus dihindari, Hatta selanjutnya berbicara tentang demokrasi yang lebih sempurna bagi Indonesia – seperti Soekarno – yaitu demokrasi di bidang politik dan ekonomi yang tidak mengandung paham individualisme. Hatta bahkan amat yakin, demokrasi yang dibayangkannya itu akan bisa terwujud karena kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat Indonesia, yaitu kebersamaan dan kekeluargaan.
Sifat demokratis masyarakat asli Indonesia ini bersumber dari semangat kebersamaan atau kolektivisme. Kolektivisme ini mewujud dalam sikap saling tolong menolong, gotong royong, dan sebagainya. Kolektivisme dalam masyarakat asli Indonesia juga berarti pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem demokrasi Barat yang individualistis.
Menurut Hatta, kebersamaan harus berarti, kepemilikan bersama atas suatu alat produksi (tanah) tidak bisa dijalankan dengan pembagian, melainkan harus diusahakan secara bersama-sama pula. Dengan kata lain, usaha individual dengan bantuan orang lain yang mencirikan kebersamaan masyarakat asli Indonesia masa kini, harus diganti dengan milik bersama yang diusahakan secara bersama-sama pula. Inilah yang dimaksud oleh Hatta dengan collectivisme baroe, yang seharusnya mewarnai kehidupan ekonomi Indonesia merdeka. Pengertian inilah yang kemudian melekat pada koperasi sebagai wujud kolektivisme baru.
Sejak masa pergerakan Indonesia, Hatta dalam pidatonya yang berjudul Koperasi: Jembatan ke Demokrasi Ekonomi terus menyerukan koperasi sebagai satu-satunya organisasi ekonomi yang bisa berhasil meletakkan sendi yang kuat untuk membangun kembali ekonomi yang roboh. Hatta meyakininya karena koperasi berupaya berjalan dengan semangat self-help dan oto-activity. Artinya koperasi berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dan tolong menolong antar masyarakat sebagai pemandu kemauan yang kuat. Semangat itulah yang sudah lama muncul yang sebetulnya membarengi berkembangnya demokrasi sosial, politik dan ekonomi. Hal ini dapat dengan mudah dikatakan karena bangunan demokrasi yang sangat kuat sebagian besar dipupuk dengan semangat koperasi. Demokrasi dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa tanggung jawab pada rakyat. Dasar koperasi adalah menghidupkan rasa tanggung jawab itu, sebab koperasi selain membela keperluan bersama, membangun dalam jiwa tiap-tiap anggotanya manusia merdeka, sadar akan harga dirinya.[18]
Hatta melihat, demokrasi Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno, lebih tepatnya setelah Dwitunggal bubar dan Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada Juli 1959 telah bergeser menjadi demokrasi yang meniru kediktatoran komunisme di Timur, demokrasi yang menurut Hatta hanya dijadikan alat oleh negara untuk melanggengkan kekuasaan semata. Oleh karena itu, Hatta menyebut periode Orde Lama sebagai periode “krisis demokrasi”. Pada 1966, tepatnya ketika rezim Soekarno mulai berubah menjadi otoritarian dan Dwitunggal telah pecah, Hatta mulai mengoreksi, bahkan mengkritik “demokrasi terpimpin” ataupun “demokrasi gotong royong” yang digagas Soekarno. Hatta mengkritik demokrasi yang diterapkan oleh Soekarno itu dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Kita yang dimuat dalam majalah Pandji Masjarakat pada 1966 yang sempat dibredel oleh pemerintah Orde Lama.[19]
Seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia, Soetan Sjahrir juga memiliki konsepsi sendiri tentang demokrasi, namun yang membedakannya adalah Sjahrir tidak mengutuk habis-habisan demokrasi Barat seperti yang dilakukan Soekarno dan Hatta. Sjahrir lebih membenci fasisme dan ketimbang kapitalismeBarat, oleh karena itu tak mengherankan bila Sjahrir lebih suka melakukan dialog dengan pihak Sekutu Barat, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Belanda.
Selain fasisme, Sjahrir pun juga menyerang komunisme dan sistem demokrasinya sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan, seperti Joseph Stalin dan Mao Tse Tung. Karena serangan Sjahrir ke kaum komunis, maka para penentangnya yang berasal dari spektrum kiri jauh mengejeknya dengan sebutan “soka” – yang merujuk pada nama bunga – atau akronim dari sosialis kanan, karena keterpukauan Sjahrir kepada segala hal yang berbau Barat.[20]
Kebencian Sjahrir pada fasisme dan komunisme turut mempengaruhi konsepsinya mengenai demokrasi dan pemerintahan di Indonesia Merdeka. Pemikiran Sjahrir tentang demokrasi dan pemerintahan di Indonesia tertuang dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Kita yang terbit pasca Indonesia Merdeka, dan duet Soekarno-Hatta atau Dwitunggal menjadi pemimpin Indonesia. Bagi Sjahrir, pemerintahan Indonesia yang baru merdeka, adalah pemerintahan yang dipimpin oleh kolaborator fasis (dalam hal ini kolaborator Kekaisaran Jepang), sehingga pemerintahan perlu “didemokratisir”.[21]
“Secepat mungkin seluruh pemerintahan harus didemokratiseer, sehingga rakyat banyak masuk tersusun di dalam lingkungan pemerintahan. Ini mudah dikerjakan dengan menghidupkan dan di mana perlu membangunkan dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa hingga ke puncak pemerintahan."[21]
Seorang aktivis sekaligus simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Rahman Tolleng menyebut ideologi Sjahrir sebagai republikan-sosialis, “karena dia (Sjahrir) menekankan pada partisipasi rakyat,” kata Tolleng. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi di kemudian hari Sjahrir mengubah sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal.[20]
Dalam pemikirannya, Sjahrir sangat jelas memiliki banyak perbedaan dengan Soekarno dan Hatta mengenai konsepsi demokrasi. Bila Soekarno dan Hatta melihat individualisme sebagai hal yang harus dihindari, maka Sjahrir justru menganggap individualisme menjadi elemen yang penting dalam negara dan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah perpaduan antara tradisi sosial-demokrat dengan liberalisme. Sosial-demokrat Sjahrir, misalnya, terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan liberalisme muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.[22]
Sikap politik Sjahrir yang seorang sosialis tetapi mengakui ide-ide demokrasi Barat dan liberalism tidak hanya membuat Sjahrir bermusuhan dengan fasisme, tetapi juga dengan kelompok komunis. Bagi Sjahrir demokrasi dan sosialisme bisa tercapai dengan azas akal, bukan melalui jalur revolusi terus-menerus – dalam hal ini Sjahir bertolak belakang dengan Soekarno yang mengatakan “revolusi belum selesai”, tetapi ia sejalan dengan Hatta yang mengatakan “revolusi telah selesai”.
Konsepsi Sjahrir mengenai demokrasi dan sosialisme yang bisa dicapai melalui jalur diplomasi bukan revolusi kekerasan diungkapkan pada Kongres Sosialis Asia II di Bombay (sekarang Mumbai), India pada 6 November 1956. Dalam Kongres itu Sjahrir berkata:[23]
“Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai kesabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas, mereka menghancurkan dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.”[23]
Dalam pidato itu jelas Sjahrir menolah sistem demokrasi a’la Bolshevik dan Komunis Internasional yang menindas dan mengabaikan kedaulatan rakyat dengan sistem yang hirarkis, otoriter, dan totaliter dalam politbiroPartai Komunis. Menurut Sjahrir, pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia secara individu membuat sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal ala Barat, namun dengan satu perbedaan, yaitu tidak adanya pengakuan terhadap sistem ekonomi kapitalis – dalam hal ini Sjahrir sejalan dengan Soekarno dan Hatta.[24]
PNI ini berbeda dengan PNI yang dibentuk Soekarno pada 1927 di Bandung, meskipun PNI ini tetap mewarisi pemikiran PNI 1927. PNI pimpinan Joyosukarto ini adalah gabungan dari tiga partai politik lainnya, yaitu: PRI (Partai Rakyat Indonesia), GRI (Gerakan Republik Indonesia), dan SRI (Serikat Rakyat Indonesia).
Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945. Dengan demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu bukan lagi presidensial, tetapi menjadi parlementer.[28]
Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November 1945 sampai 12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama Indonesia, Soetan Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[29] Langkah mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari presidensil ke parlementer dianggap sebagai suatu langkah politik ideologi Sjahrir yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem demokrasi Barat yang parlemennya kuat.[20]
Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 itu menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet pemerintahan itu kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai di parlemen, namun sering kali koalisi antar partai itu mengalami keretakan dan menggoyahkan kabinet pemerintahan. Akhirnya karena seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan pada masa demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai yang menjadi oposisi sering kali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif partai penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu belum dewasa.[25]
Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok, karena persatuan dan kesatuan diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi kendor dan sulit untuk dikendalikan. Selain itu demokrasi parlementer di Indonesia menurut Miriam telah melahirkan dominasi partai politik dan lembaga legistalif yang justru mendorong politik nasional menjadi tidak tidak stabil.[25]
Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer disebabkan karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan, hal ini bukan hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional pada saat itu. Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat melaksanakan program kerjanya dan ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar hingga pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan sebagainya.[30]
Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer juga membuat seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden Soekarno hanya sebagai seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang stempel” atau “rubberstamp”. Selain itu, pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan karena merasa bahwa militer lahir dari semangat revolusi kemerdekaan yang berhak untuk terlibat dalam politik.[13][30]
Puncak dari ketidakstabilan politik pada era demokrasi parlementer adalah gagalnya anggota Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia. Kegagalan Konstituante itu disebabkan karena para anggota Konstituante yang terdiri dari partai-partai politik dalam parlemen tidak pernah bekerjasama untuk mencapai konsensus membentuk undang-undang dasar yang baru. Kegagalan Konstituante itu yang kemudian akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengemukakan apa yang disebut sebagai “Konsepsi Presiden” pada 21 Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno mengatakan bahwa demokrasi parlemeter adalah demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak dari kekisruhan politik saat itu berakhir saat, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa konstitusi Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sekaligus menyudahi kabinet parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo atau yang disebut sebagai Kabinet Ali II dan seluruh sistem demokrasi parlementer di Indonesia.[30][31]
Demokrasi Terpimpin
Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi lainnya, yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden diumumkan, demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan adanya pembentukan sebuah kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi dominan partai di palemenen, maka sering kali Kabinet Djuanda disebut juga sebagai Kabinet Ekstra Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959.[32]
Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah mengemukakan keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di Bandung. Gagasan Soekarno itu yang diawali dengan mengungkapkan keinginannya untuk kembali bisa mencampuri urusan pemerintahan meskipun Konstituante belum selesai membentuk undang-undang dasar yang baru. Kelanjutan dari pendapatnya itu, kemudian Soekarno mengumpulkan para pemimpin partai politik untuk membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan Nasional.[33]
Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21 Februari 1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:[34]
Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai penasehat Presiden.
Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan oleh Soekarno intinya adalah; 1) mengganti sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial, 2) berusaha merangkul semua kekuatan politik yang ada, terutama empat partai pemenang pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU, dan PKI, dan juga merangkul pihak militer dalam pembentukan Dewan Nasional.
Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad Natsir dari Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil anggota PNI (yang nantinya akan menjadi PNI Osa-Usep). Puncaknya adalah pada 2 Maret 1957, lima partai yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-satunya yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu dan sebagian besar anggota PNI (yang nantinya akan menjadi PNI Ali-Soerachman).[35]
Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap menjalankan konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI dan PNI. Pada 14 Maret 1957, keluar undang-undang tentang keadaan darurat dan juga dibentuk sebuah kabinet transisi dibawah kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat Soekarno kemudian mencetuskan konsepsinya itu dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengawali era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi daripada Dekrit Presiden itu antara lain:[36]
Menetapkan pembubaran Konstituante
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik yang ada dan menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden Soekarno kemudian berusaha menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan demokrasi terpimpin. Pada periode ini pula kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad Hatta memilih untuk berada diluar pemerintahan dan menjadi tokoh yang mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan menganggap Soekarno telah berubah menjadi seorang diktator sejak 1956.[37]
Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri dari era demokrasi terpimpin adalah dominasi presiden yang menguat, berkembangnya pengaruh komunisme, dan masuknya militer sebagai unsur sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik nasional, karena dapat mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima tahun, namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi pada era demokrasi terpimpin.[38]
Penyalahgunaan lainnya yang dilakukan oleh Soekarno selama era demokrasi terpimpin adalah pada 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tak lain adalah lembaga legislatif, padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan kewenangan itu kepada seroang presiden. Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR, Presiden Soekarno membentuk lembaga legislatif, yang seharusnya anggota legislatif dipilih oleh rakyat, bukan presiden. Badan legislatif yang dibentuk Soekarno itu kemudian disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Praktis, karena DPR-GR adalah bentukan presiden, maka fungsi kontrol dari lembaga legislatif terhadap eksekutif dihilangkan. Selain itu, jabatan Ketua DPR-GR dijadikan menteri oleh Presiden Soekarno, itu artinya legislatif berada dibawah eksekutif, hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden No. 14/1960.[39]
Selain lembaga legislatif, lembaga yudikatif juga mendapatkan intervensi dari Presiden Soekarno, salah satunya adalah presiden memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan dalam badan yudikatif yaitu Mahkamah Agung. Intervensi Presiden Soekarno terhadap lambaga yudikatif itu semakin diperkuat dengan Undang-Undang No.19/1964, itu artinya presiden sah apabila mencampuri putusan apapun yang dibuat oleh lembaga yudikatif.[39]
Selain dalam hal pemerintahan, kecenderungan pada komunisme juga terjadi pada era demokrasi terpimpin, salah satunya adalah Presiden Soekarno membentuk sebuah lembaga ekstra konstitusional, yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front Nasional adalah bagian dari strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk sebuah negara yang berdasarkan poda “demokrasi rakyat”. Jadi Front Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno itu kemudian menjadi lahan berpolitik bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tak bisa diutak-atik karena posisinya yang berada diluar konstitusi tetapi dilindungi oleh presiden.[39]
Demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan penyelewengan dan justru menjauhi konsep dan nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya karena intervensi penuh pada lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga pembredelan terhadap partai politik yang dianggap melawan Presiden Soekarno, seperti Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan dan Soetan Sjahrir kemudian dibuang ke Swiss sampai wafat pada 1966, begitupula dengan pers dan lembaga seni yang bertentangan dengan Presiden Soekarno ataupun yang berkonflik dengan PKI, seperti Harian Pandji Masjarakat dan para aktivis kebudayaan yang tergabung dalam Manikebu juga dibredel. Selain itu pula Presiden Soekarno lebih mengutamakan kepada kebijakan politik luar negeri yang disebut sebagai “Politik Mercusuar”, hal ini berimbas pada terabaikannya sektor ekonomi nasional yang menyebabkan inflasi besar dan kemiskinan.[39]
Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi Bangsa Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI. Jumlah korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1 perwira Angkatan Darat Indonesia saja, tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir diseluruh wilayah Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga mengawali suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militerOrde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto atau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.[39][40]
Demokrasi Pancasila
Era demokrasi Pancasila diawali dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam bagi Indonesia, yaitu Gerakan 30 September (G30S) atau yang sering juga disebut dengan G30S/PKI. Pemberontakan G30S terjadi pada antara 30 September dan juga 1 Oktober 1965, Soekarno lebih suka menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) semenatara Soeharto lebih suka menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tigapuluh). Peristiwa ini menelan korban kurang lebih tiga juta orang - menurut Sarwo Edhie Wibowo, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus genosida terbesar keempat di dunia setelah Jerman Nazi, Kamboja Demokratik, dan Rwanda.[41] Namun, terlepas dari peristiwa kemanusiaan yang mengikutinya, G30S juga membawa satu angin perubahan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia.
Sistem demokrasi terpimpin yang justru dijadikan landasan untuk berdirinya sebuah pemerintahan diktator oleh Soekarno setelah keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959 ternyata tidak bertahan lama. Di bawah kepemimpinan tunggal Presiden Soekarno, yang berdasarkan pada konsep Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) dengan tujuan menyatukan seluruh elemen kekuatan sosial-politik di Indonesia ternyata tidak berhasil, karena kecenderungan Soekarno pada kelompok komunis dan membredel kelompok-kelompok kanan, justru menimbulkan suatu potensi konflik politik baru yang membuat politik di Indonesia menjadi tidak stabil. Di tambah lagi dengan krisis ekonomi dan konflik politik antara Partai Komunis Indonesia dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat membuat rezim Orde Lama itu akhirnya tumbang dan Indonesia digantikan oleh sebuah rezim baru yang disebut sebagai Orde Baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.[42]
Setelah mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto kemudian menjadi suksesor Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua dan secara resmi periode Orde Baru atau era demokrasi Pancasila dimulai. Menurut Haniah Hanafie dan Suryani, dalam menjalankan pemerintahan, Presiden Soeharto mendasarinya pada kerangka organisasi yang disebut sebagai "Jalur ABG" (singkatan dari ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Melalui jalur ABG itu negara menentukan kebijakan-kebijakan politiknya, hal ini menjadikan Indonesia - seperti yang disebut oleh Karl D. Jackson sebagai Bureaucratic Policy atau "Masyarakat Politik Birokratis",[43] yang artinya bahwa setiap keputusan diambil oleh pihak junta militer melalui struktur dan sistem birokrasi.[44]
Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan kembali cita-cita demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah kekuasaan Presiden Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu yang dilakukan untuk menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan Ketetapan MPRS No. III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan jabatan presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif (dipilih secara berkala) selama satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali terhadap produk-produk legislatif pada masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu, Undang-Undang No.19/1964 diganti dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isisnya mengmabalikan independensi lembaga yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) juga dikembalikan hak dan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi seorang menteri dibawah Presiden, tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain itu hak Presiden untuk mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para tokoh partai-partai politik yang dahulu pada masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan dibebaskan,[45] salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum sempat kembali ke Indonesia.[46]
Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi nasional yang terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi asing sebesar-besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Salah satunya adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada 1967 untuk mengeksplorasi sumber daya emas di Papua (saat itu Irian Jaya).[47]
Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan dengan keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang merupakan tekad awal Orde Baru untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun setelah Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun setelah dilantik sebagai Pejabat Presiden pada 1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[48]
Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah tercipta sebuah pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan mengekang kebebasan masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah organisasi politik yang dominan dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden Soeharto secara terang-terangan berubah menjadi sebuah rezim yang otoriter namun kali ini bukan otoritarianismesayap kiri seperti pada era Soekarno, tetapi lebih kepada kediktatoran junta militer, karena militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, yang seharusnya dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di dalamnya.
Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam penyelenggaraan pemilu yang diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang menjadikan semua kelompok nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan seluruh golongan Islamis digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementara Golongan Karya tetap menjadi satu organisasi politik non-partai pada saat itu. Kedudukan Golkar yang non-partai ternyata dijadikan kelebihan bagi Orde Baru, karena hanya Golkar saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke tingkat desa dan kelurahan, selain itu pemerintah juga menerapkan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk mewajibkan mereka memilih Golkar dalam setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang disebut oleh Miriam Budiardjo sebagai ketidakadilan dalam sistem politik pada masa demokrasi Pancasila.[49]
Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto semakin menguat, terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi menuntut agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena terus menerus diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang sekaligus menandai akhir dari era demokrasi Pancasila.[50]
Era Reformasi
Proses Reformasi politik di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 telah membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Proses Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:
Transisi Demokrasi
Sebenarnya fase transisi ini adalah fase yang paling singkat, namun paling menentukan, karena ketidakberhasilan suatu negara dalam proses demokratisasi-nya tergantung pada proses transisi demokrasi. Menurut Richard Gunther, transisi itu adalah:
"Begins with the breakdown of the former authoritarian regime and ends with the establishment of a relatively stable configuration of political institutions within a democratic regime"[51]
yang artinya adalah:
"Dimulai dengan hancurnya bekas rezim otoriter dan diakhiri dengan pembentukan konfigurasi institusi politik yang relatif stabil dalam sebuah rezim demokratis"
Proses transisi demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia dimulai ketika terjadinya perpindahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B. J. Habibie pada 21 Mei 1998. Disebut "transisi" karena pada fase inilah Indonesia mengalami peralihan atau transisi sistem politik dari otoritarian menuju demokrasi, transisi dari supremasi militer kepada supremasi sipil, transisi dari sentralisasi ke desentralisasi, dan seterusnya, yang maknanya adalah Indonesia telah beranjak meninggalkan sistem diktator dan sedang menuju perubahan sebagai negara yang demokratis.
Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan proses demokratisasi di Indonesia. Pengalaman pada masa Orde Baru juga telah membuat Indonesia menyadari bahwa demokrasi penting bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat, oleh karenanya seluruh rakyat Indonesia pasca-1998 menaruh harapan bahwa proses demokratisasi dibawah kepemimpinan Presiden Habibie dan Kabinet Reformasi Pembangunan dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi lagi mengalami anomali transisi demokrasi seperti dari Orde Lama ke Orde Baru.[52]
Presiden Habibie memikul tanggungjawab besar untuk memulai langkah-langkah demokratisasi dan meletakan fondasi-fondasi utama bagi sistem demokrasi di Indonesia, seperti mempersiapkan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis dan membuat peraturan-peraturan, termasuk juga membebaskan para tahanan politik Orde Baru. Di era transisi demokrasi ini terbentuk beberapa undang-undang baru, misalkan seperti Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan juga Undang-Undang tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara juga mengalami perubahan.[52]
Konsolidasi Demokrasi
Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi atau pemantapan sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi menjadi penting karena sering kali beberapa negara yang berusaha melakukan proses demokratisasi justru gagal ditengah jalan karena proses transisinya yang tidak selesai atau gagal dalam proses konsolidasi sebuah sistem yang demokratis, sehingga negara itu kembali kepada sistem otoriter dan diperintah kembali oleh seorang diktator.[53]
Konsep utama dari proses konsolidasi demokrasi menurut Andreas Schedler adalah manakala ada suatu negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya bahwa konsolidasi ditentukan oleh seberapa stabilnya rezim, dalam hal ini adalah bagaimana konsolidasi demorkrasi menjadi berhasil bila stabilitas rezim yang demokratis itu juga dapat terjaga. Menurut Guillermo O'Donnell, bila konsolidasi rezim itu sudah tercapai, maka sudah kemungkinan besar stabilitas rezim juga akan dapat berkelangsungan.[53]
Dalam kasus proses konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi, rezim baru dalam hal ini Presiden Habibie dan kelompok Reformis lainnya terutama para elit politik yang tergabung dalam Kelompok Ciganjur (Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Gus Dur) perlu mencapai sebuah konsensus atau kesepakatan bersama, Presiden Habibie sebagai suksesor atau pengganti Soeharto kemudian bertindak mewakili rezim lama, dan juga unsur-unsur yang meliputinya, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Birokrat, dan Golongan Karya untuk dapat berdamai dengan unsur-unsur kekuatan politik baru hasil reformasi, seperti mahasiswa dan tokoh-tokoh politik yang menjadi oposan atau lawan dari unsur kekuatan politik lama. Bila proses konsolidasi tidak melibatkan unsur-unsur kekuatan politik lama, terutama dari kalangan militer, maka yang mungkin terjadi adalah militer akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan reformis dan berusaha kembali mendirikan sebuah sistem junta militer, seperti yang dilakukan oleh para perwira loyalis Franco di Spanyol yang dikenal dengan Gerakan F-23.[54]
Namun beruntung bagi Indonesia - tidak seperti yang terjadi di Spanyol - karena pihak militer yang saat itu dipimpin oleh Panglima Wiranto menerima proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia, hampir seluruh loyalisPresiden Soeharto yang duduk di posisi-posisi penting setuju untuk melakukan konsolidasi demokrasi dengan kelompok reformis, salah satu hasilnya adalah dihapusnya Dwifungsi ABRI (tentara sebagai alat pertahanan sekaligus sosial-politik) dan dipecahnya Kepolisian Republik Indonesia dari ABRI, dan ABRI sendiri kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).[52]
Tantangan Demokrasi
Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik pasca reformasi setidaknya dalam ekonomi makro, seperti pertumbuhan investasi, kerjasama perdagangan luar negeri, dan sebagainya. Tetapi yang menjadi tantangan adalah kebangkitan ekonomi makro di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi mikro, perekonomian rakyat dari kalangan menengah ke bawah belum cukup terasa. Selain itu menurut Fuad Bawazier, perekonomian Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh hutang luar negeri, ditambah lagi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan sebagainya.[55]
Bila demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu menemui tantangan politik, salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka pada era reformasi ini, sektor ekonomi yang menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,[56] sekaligus menentukan kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, apakah seperti yang akan dicita-citakan oleh para founding fathers Bangsa Indonesia atau mungkin kearah lainnya?
Referensi
^Mubyarto (ed.), Ir. Soekarno: Indonesia Menggugat, (Yogyakarta: Aditya Media dan PUSTEP UGM, 2005) hal. 73 - 74
^Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, Cetakan ke 5, 2005) hal. 169 - 171
^Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, Cetakan ke 5, 2005) hal. 173 - 174
^Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, Cetakan ke 5, 2005) hal. 583
^Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, Cetakan ke 5, 2005) hal. 173
^Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, Cetakan ke 5, 2005) hal. 590 - 591
^Agnes Sri Poerbasari dan Paulus Ishak Londo (ed.), Gagasan-Gagasan Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Dalam Lingkaran Diskusi Persatuan Alumni GMNI, (Jakarta: Persatuan Alumni GMNI, 2015) hal. 36 dan 79
^Agnes Sri Poerbasari dan Paulus Ishak Londo (ed.), Gagasan-Gagasan Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Dalam Lingkaran Diskusi Persatuan Alumni GMNI, (Jakarta: Persatuan Alumni GMNI, 2015) hal. 79 - 80
^Agnes Sri Poerbasari dan Paulus Ishak Londo (ed.), Gagasan-Gagasan Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Dalam Lingkaran Diskusi Persatuan Alumni GMNI, (Jakarta: Persatuan Alumni GMNI, 2015) hal. 36 dan 79 - 80
^ abHaniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 44
^ abZulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Jakarta: KOMPAS, 2010), hlm. 143
^Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Jakarta: KOMPAS, 2010), hlm. 145
^William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme, diterjemahkan dari judul asli Today Isms: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism, (Yogyakarta: Narasi, 2014) hal. 170 dan 214
^Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Jakarta: KOMPAS, 2010), hlm. 169
^Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1971) hal. 35
^Nina Pane (ed.), Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), (Jakarta: KOMPAS, 2015) hal. 267 - 270
^ abcArif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) hal. 105
^ abSjahrir, Perjuangan Kita, (Jakarta: GUNTUR 49, 1994 Reproduksi dari Terbitan Asli 1945) hal. 16
^Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) hal. 106
^ abArif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) hal. 208
^Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) hal. 208 - 209
^ abcMiriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 128
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 17
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 18
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 18 - 19
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 19
^ abcMiriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 129
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 44 - 45
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 47
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 48 - 49
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 49
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 50 - 51
^Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 51 - 54
^Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 129 - 130
^ abcdefMiriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
^Jules Archer, Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis, dan Tiran, diterjemahkan dari judul asli The Dictators Fascist, Communist, Despots dan Tyrants - The Biographies of "The Great Dictators" of the Modern World, (Yogyakarta: Narasi, Cetakan ke 16 2014) hal. 232 - 234
^Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 132
^Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 132 - 133
^Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 133
^Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 334 - 335
^ abcMiriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 134
^ abKacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 335
^(Skripsi) Gilang Syawal Ajiputra, Etnonasionalisme di Spanyol: Studi Tentang Konflik Separatisme Etnis Basque dan Catalan, (Jakarta: FISIP UIN Jakarta, 2017) hal. 66
^Fuad Bawazier, Republik Keluh Kesah, (Jakarta: RMBOOKS, Cetakan ke II 2008) hal. 137 - 151 dan 231 - 232
^Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 340 - 341