Sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa ke wilayah Sulawesi Selatan, daerah-daerah di Sulawesi Selatan masih berbentuk kerajaan-kerajaan lokal. Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi perintis pendirian kerajan dengan kelompok etnis Suku Makassar. Kemudian, terbentuk pula kerajaan-kerajaan kecil lain di sekitarnya termasuk Kerajaan Bangkala di wilayah Kabupaten Jeneponto.[1]
Dalam peta-peta buatan negara-negara Eropa, wilayah pesisir selatan Makassar disebut sebagai Turatea. Lalu pada abad ke-19 M, wilayah Bangkala dikenali pada masa kolonial Hindia Belanda bersama dengan wilayah Binamu. Kedua wilayah ini berbentuk kerajaan dan telah masuk dalam toponimi wilayah Kabupaten Jeneponto. Wilayah Kerajaan Bangkala telah diartikan sebagai wilayah yang berada di bagian barat Kabupaten Jeneponto. Sedangkan wilayah Kerajaan Binamu berarti wilayah yang berada di bagian barat Kabupaten Jeneponto.[2]
Pada bulan November 1863, Kerajaan Binamu bersama dengan Kerajaan Bangkala menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Kedua kerajaan ini menyatakan pemisahan diri dengan Kerajaan Laikang.[3]
Kondisi alam
Daerah aliran sungai
Kecamatan Bangkala merupakan salah satu dari tiga kecamatan yang wilayahnya menjadi daerah aliran sungai Kabupaten Jeneponto. Luas daerah aliran sungai ini adalah 13.058 ha. Kecamatan Bangkala memiliki daerah aliran sungai terluas dibandingkan dua kecamatan lainnya karena luasnya adalah 12.181 ha.[4]
Kecamatan Bangkala merupakan salah satu pusat pembuatan garam di Kabupaten Jeneponto.[5] Beberapa desa di Kecamatan Bangkala menjadikan kegiatan produksi garam sebagai mata pencaharian utama. Pada musim kemarau, penduduk di Kecamatan Bangkala akan membuat garam dalam skala besar. Mereka hanya menyediakan lahan tambak untuk air asin yang tersedia di wilayah mereka.[6] Sementara penduduk di Desa Pallantikang bekerja sebagai petani. Mereka bercocok tanam di kebun maupun sawah.[7] Penanaman padi di Keamatan Bangkala dapat dilakukan pada lahan basah atau sawah jenis tadah hujan.[8]