Abstinensi

Abstinensi atau berpantang[1] berarti tidak melakukan hal tertentu (makan, minum, berhubungan seksual, mencari kesenangan, dan sebagainya) dalam kehidupan, baik untuk jangka pendek ataupun jangka panjang. Hal ini dilakukan karena alasan kesehatan, kebiasaan ataupun keyakinan tertentu.

Kesehatan

Orang yang menderita penyakit tertentu, atau yang ingin menghindari akibat-akibat yang tidak diinginkan atas kesehatannya, sering kali melakukan praktik abstinensi atau berpantang. Dalam konteks tersebut, abstinensi atau berpantang adalah awal pemulihan, bukan akhir atau tujuan pemulihan.[2] Abstinensi itu merupakan berhenti dari sebuah kecanduan yang sering dilakukan atau menjadi sebuah kebiasaan, yaitu kebiasaan melakukan seks, bekerja, makan dan kegiatan-kegiatan lain dengan tujuan mengubah suasana hati atau melarikan diri dari persoalan.[2] Misalnya, seseorang yang menderita diabetes sering memilih atau dianjurkan untuk berpantang gula ataupun makanan yang terlalu banyak mengandung karbohidrat. Orang yang menderita tekanan darah tinggi (hipertensi) dianjurkan menghindari garam. Untuk menghindarkan penyakit kanker dokter sangat menganjurkan orang untuk menghentikan merokok atau menghindari tempat-tempat di mana banyak orang yang merokok.

Dalam konteks penggunaan narkoba, abstenensi dilakukan agar pecandu berhenti memakai narkoba dan pulih, tetapi jika tetap melanjutkan kesenangan dan kegiatan memakai narkoba berarti pemakai tersebut tetap memelihara rasa rindu terhadap narkoba sehingga terjadinya relaps atau kambuh tidak dapat dihindarkan. Jika seorang pecandu belum siap berhenti memakai narkoba, pemulihan itu akan sia-sia baginya. Tujuan pemulihan adalah mengubah secara mendasar perilaku adiktif pecandu. Dalam hal kecanduan lain selain narkoba, seorang tidak mungkin mengentikan kegiatan seksual, bekerja, makan, dan kegiatan-kegiatan lain.[2]

Dalam kasus keluarga berencana (KB) alami maka yang pertama dilakukan yaitu abstinensi atau selibat, senggama terputus, dan masa aman, yaitu menghitung sendiri tanda-tanda tertentu sebagai bantuan untuk menentukan ovulasi, waktu dan kapan pembuahan paling mungkin.[3] Abstinensi berarti pasangan tidak melakukan kegiatan seksual kecuali atau hingga mereka memutuskan untuk mempunyai bayi.[3]

Keyakinan

Agama-agama atau keyakinan tertentu mengajarkan pemeluknya untuk berpantang atau menghindari makanan tertentu.

Di daerah pantai selatan pulau Jawa ada keyakinan bahwa laki-laki tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hijau. Bila pantangan ini dilarang, orang tersebut dapat ditelan ombak; menurut keyakinan masyarakat setempat, orang itu diambil menjadi suami Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan.

Agama Hindu melarang pengikutnya memakan daging sapi, karena sapi (Nandi) adalah kendaraan dewa Siwa.

Agama Yahudi menuntut berbagai pantangan dari para pengikutnya: menaati hari Sabat, memakan makanan yang kosyer, dll.

Dalam agama Islam, pemeluknya berpantang memakan makanan yang haram, mengenakan atau mengambil riba, memperlihatkan aurat kepada seseorang yang bukan muhrimnya, dll.

Umat Katolik mempraktikkan pantang sebagai kombinasi dengan puasa yang dilakukan pada masa Lenten (pra-Paskah, yaitu 40 hari sebelum Hari Raya Paskah). Dalam melakukan pantang, seseorang dapat memilih kegiatan atau makanan yang akan dihindari selama masa pra-Paskah itu. Misalnya, seorang memilih untuk berpantang merokok selama 40 hari. Sangat dianjurkan hal yang dihindari adalah hal yang amat disukai pada masa biasa.

Umat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh berpantang memakan daging babi, binatang laut yang tidak bersisik (mis. ikan hiu, udang, kepiting, kerang, dll.), meminum minuman keras atau bahkan juga kopi,teh dan tembakau.

Banyak orang sekarang memilih untuk berpantang memakan daging dan hidup sebagai vegetarian karena keyakinannya bahwa membunuh binatang itu salah, atau keyakinan bahwa sayur-sayuran lebih menyehatkan tubuh daripada daging. Jainisme adalah salah satu agama yang secara ketat menuntut pemeluknya menjalani kehidupan sebagai vegetarian.

Rujukan

  1. ^ Bahasa Dan Sastra Indonesia. Ciracas Jakarta: Erlangga. 
  2. ^ a b c Lydia Hartono Martono. 16 Modul Latihan Pemulihan Pecandu. PT Balai Pustaka. hlm. 44. ISBN 9796903261. 
  3. ^ a b Suraj Gupte. Panduan Perawatan Anak. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 3. ISBN 9794614939.