Primbon adalah kitab warisan leluhur Jawa yang berorientasi pada relasi antara kehidupan manusia dan alam semesta. Primbon berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan sikap dalam suatu tindakan dalam kehidupan. [1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, primbon didefinisikan sebagai kitab yang berisikan ramalan, buku yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib, sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur, dan mengurus segala macam kegiatan yang penting.[2]
Primbon atau paririmbon berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Primbon secara harfiah berasal dari kata "rimbu" yang berarti simpanan dari bermacam-macam catatan oleh orang jawa pada zaman dahulu yang kemudian diturunkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya.[3] Ada pula yang berpendapat nama primbon berasal dari kata "mbon" atau "mpon" dalam yang dalam bahasa Jawa berarti induk yang ditambah awalan pri untuk meluaskan kata dasar.[4]
Catatan-catatan yang memuat pengetahuan penting itu lalu di kumpulkan menjadi sebuah buku primbon yang menjadi sumber rujukan orang-orang dari Suku Jawa sejak zaman dahulu. Primbon digunakan sebagai pedoman atau arahan dalam rangka mencapai keselamatan dan kesejahteraan lahir-batin.[4] Meski lebih menggejala di kalangan masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok. Kenyataannya primbon juga bisa ditemukan di kebudayaan suku bangsa Nusantara lain. Di Pulau Kalimantan misalnya Alfani Daud pernah menemukan adanya tradisi perhitungan waktu primbon di kalangan masyarakat penganut agama Islam di Banjar.[5]
Seperti bogor
Isi primbon jawa sebagian besar berisi bahasan mengenai perhitungan, perkiraan, peramalan nasib, meramal watak manusia, dan yang lainnya. Perhitungan serta ramalan yang beragama itu menggunakan penanggalan atau kalender sebagai dasarnya yang terdiri dari gabungan sedemikian rupa dari hari dan weton. Sejak zaman dahulu, perhitungan waktu dengan menggunakan kalender Jawa sudah digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menentukan waktu bercocok tanam atau acara peringatan.[6]
Saat ini, sejumlah kitab primbon masih disimpan oleh pemerintah Indonesia dengan pengelolaan koleksi melalui Perpustakaan Nasional. Jenis primbon yang dikoleksi oleh perpustakaan nasional di antaranya Kitab Ta’bir, Primbon Padhukunan Pal-Palan, Mantra Siwastra Raja, dan Lontarak Bola.[7]
Sejarah dan Perkembangan
Keberadaan primbon beserta kelahiran dan perkembangannya tidak lepas dari pengaruh Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa di mana ada banyak nilai-nilai Islam yang diadopsi dan bersanding dengan unsur Hindu dan Buddha. Awalnya, primbon hanya berupa catatan-catatan pribadi yang diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keraton yang terdiri dari keluarga kerajaan dan abdi dalem. Saat memasuki abad ke-20 barulah naskah primbon mulai dicetak dan dipublikasikan secara bebas. Meski demikian, saat itu belum terbit naskah primbon dalam bentuk buku yang sistematis.[8]
Asal-usul primbon Jawa disebut terkait dengan kehidupan manusia pada masa lampau yang begitu tergantung pada proses mendalami, mencermati, dan memperlajari fenomena-fenomena alam demi menjauhkan diri dari hal buruk berupa kegagalan maupun musibah. Setiap kejadian yang terjadi dicatat di daun tal atau siwalan yang menjadi media tulis sebelum adanya pensil dan kertas seperti pada era modern. Catatan pada daun itu kemudian disebut dengan daun lontar, yang berasal dari kata "ron" yang dalam bahasa Jawa berarti daun dan tal.[9]
Catatan-catatan yang ada kemudian ditata dan disusun dan dikembangkan hingga membentuk sistem penanggalan, musim, dan rasi bintang, serta tanda-tanda alam seperi letak tahi lalat, tafsir mimpi, ilmu kesaktian dan yang lainnya. Sebagai rangkuman, catatan-catatan tersebut dihimpun ke dalam naskah induk yang disebut dengan primbon. Dari sini, bisa dipahami bahwa primbon berarti induk dari kumpulan catatan mengenai pemikiran orang Jawa kuno. Primbon kemudian dianggap penting dan dijadikan rujukan bagi orang Jawa sejak dahulu sebagai panduan kehidupan.[9]
Berdasarkan catatan sejarah, primbon dan perubahan yang menyertainya menjadi saksi masuknya Islam ke tanah Jawa. Saat itu para tokoh utama penyebar Islam di Jawa alias wali songo berinisiatif untuk menghimpun catatan-catatan kuno yang sarat pengaruh Hindu dan Buddha untuk diubah menjadi bernuansia Islami. Saat itu, primbon sebagai catatan kumpulan ilmu gaib Jawa kuno memang sangat kental dengan mistitisme dari ajaran animisme dan dinamisme yang sebelumnya eksis. Kalimat-kalimat berisi pemujaan kepada para dewa dan makhluk gaib kemudian diganti dengan ayat-ayat Al-Quran. Inilah yang membuat adanya percampuran bahasa Jawa dan Arab dalam mantra primbon.[10]
Dimasukannya nuansa Islami juga terdapat pada sistem penanggalan dari yang tadinya menggunakan tahun Saka menjadi penangalan Hijriyah. Adalah Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo yang menerapkan perubahan sistem penanggalan ini dengan tujuan membuat umat Islam bersatu untuk melawan VOC Belanda sekaligus mencegah pengaruh agama Kristen atau Katolik yang dibawa dari Eropa.[10]
Sultan Agung menerapkan perhitungan Jawa sebagai kebijakannya setelah melihat kehidupan dua kelompok masyarakat dari kaum santri dan abangan di Jawa. Sultan Agung ingin mendamaikan dua kelompok tersebut yang masing-masing memiliki sistem penanggalannya sendiri-sendiri. Kaum santri menggunakan perhitungan hijriyah sementara kaum abangan menggunakan saka. Ditetapkanlah suatu perhitungan Jawa yang menggunakan perhitungan bulan dari kalender hijriyah namun dimulai dari tahun saka dan digunakannya nama-nama pasaran Jawa.[11]
Naskah primbon cetakan tertua tercatat bertahun 1906 dan diterbitkan oleh De Bliksem. Setelah pada tahun 1930, diterbitkanlah primbon dalam bentuk buku yang sistematis. Naskah itu mengajarkan bahwa hari baik adalah langkah dasar dari setiap manusia. Di dalam hari baik itu, diyakini ada pengaruh dari kekuatan alam. Alasan itu pula yang menyebabkan setiap orang punya hari baik yang berbeda-beda pula.[8]
Seperti diuraikan oleh Bay Aji Yusuf, primbon belum ada pada masa Hindu Buddha di Jawa. Jangka atau ramalan jayabaya bahkan baru ditulis oleh Ranggawarsita pada masa Mataram Islam sehingga dipastikan unsur sufisme Persia seperti pehitungan dalam ilmu hikmah dan ilmu falaq turut memberikan pengaruh terhadap kemunculan primbon.[12]
Pengaruh ilmu hikmah dan ilmu falaq dari Persia terhadap primbon tampak dari kentalnya konsep makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang dalam bahasa Jawa diistilahkan dengan jagat gedhe dan jagat cilik. Konsep ini di dalam ilmu hikmah disebut dengan 'Alam Al 'Ulya dan 'Alam Al Adna di mana gerakan makrokosmos akan memengaruhi nasib mikrokosmos. Hal yang lain yang menunjukkan pengaruh ini adalah penggunaan huruf. Seperti diketahui, huruf dalam abjad Jawa maupun hijaiyah memiliki nilai numeriknya dan bukannya sesuatu yang tidak bermakna apa-apa.[12]
Kepercayaan
Orang Jawa memegang ajaran pendahulunya dalam melakukan perhitungan-perhitungan waktu khusus karena didasari oleh kepercayaan terhadap takdir. Dalam gagasan Jawa, diyakini takdir adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, namun manusia tetap harus berusaha karena takdir ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu Takdir Mubram dan Takdir Muallaq.[13]
Takdir Mubram adalah takdir Allah yang tidak dapat diubah, dipilih oleh manusia. Contoh dari Takdir Mubram adalah bagaimana tata surya bekerja dengan pergerakan planet dan benda-benda langit. Maka dari itu, diketahui ada dua hukum dalam Takdir Mubram, yaitu hukum alam dan hukum kemasyarakatan. Sementara itu, Takdir Mullaq adalah takdir yang dikaitkan dengan sesuatu yang lain dan dapat diubah serta dipilih oleh manusia. Ada dua hal yang menjadi penentu dari Takdir Muallaq, yaitu kesungguhan dalam berusaha atau iktiar serta doa.[13]
Menurut R. Gunasasmita, perhitungan dalam primbon yang menggunakan kalender Jawa di mana setiap hari, hari pasaran, bulan, dan tahun memiliki perhitungannya sendiri-sendiri dan digunakan untuk melakukan identifikasi terhadap kejadian yang bisa saja terjadi pada kemudian hari. Di sini primbon dianggap bisa dijadikan alat untuk selalu waspada dan berhati-hati. Sementara itu jika perhitungan primbon menunjukkan hal yang positif, maka itu dapat menjadi suntikan semangat dan motivasi bagi seseorag dalam kehidupannya.[14]
Dalam primbon, terdapat kepercayaan akan empat sifat dari hari yang buruk, keempatnya adalah Hari taliwangke (hari sengkala), samparwangke (hari sengkala), kunarpawarsa (tahun bencana), dan sangarwarsa (tahun bencana). Sementara itu sifat dari hari baik ada tiga, yaitu ) bulan rahayu (bulan baik), bulan sarju (bulan sedang), dan Anggara Kasih.[15]
Jika masing-masing hari memiliki sifatnya masing-masing, maka setiap pasaran mengandung unsur cahaya dan elemen tertentu yang ada di bumi. Pasaran-pasaran tersebut ada lima, yaitu pethakan atau legi (cahaya putih dengan unsur udara), abritan atau paing (cahaya merah dengan unsur api), jene'an atau pon (cahaya kuning dengan unsur cahaya), cemengan atau wage (cahaya hitam berunsur tanah), dan yang terakhir adalah gesang atau kliwon (cahaya hijau berunsur air atau hidrogen).[16]
Sementara itu hari dan pasaran diyakini memiliki angkanya masing-masing. Gabungan dari hari dan pasaran yang disebut nah neptu weton kemudian menjadi acuan untuk mencari hari baik hingga meramal. Adapun hari Minggu memiliki angka 5, Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, sedangkan Sabtu 9.[8]
Ajaran-ajaran
Suwardi Endraswara menguraikan pembagian primbon menjadi sebelas macam ajaran. Kesebelas ajaran tersebut adalah pranata mangsa, petungan, pawukon, pengobatan, wirid, aji-aji, kidung, ramalan, tata cata slametan, donga, dan ngalamat atau sasmita gaib. Berikut uraian singkat mengenai kesebelas ajaran tersebut.[17]
Pranata mangsa merupakan acara membaca alam semesta. Ajaran kini kerap dipakai oleh masyarakat pedesaan yang berprofesi petani dan nelayan untuk melakukan perhitungan waktu tandur atau menanam padi dan melaut. Petungan adalah hitung-hitungan neptu atau nilai numerik yang biasa untuk mencocok-cocokkan sesuatu seperti menentukan jodoh yang tepat bagi seseorang berdasarkan hitungan nama sesuai abjad Jawa yang dibagi tujuh.
Pawukon adalah perhitungan waktu baik itu hari pasaran, bulan, maupun tahun. Pawukon sebenarnya tidak berbeda dengan metode hitungan astrologi lainnya di mana hari kelahiran seseorang dibagi berdasarkan tanggal dan tahun kelahiran.[18]
Pengobatan, adapun yang dimaksud dalam hal ini adalah pengobatan tradisional yang digunakan untuk menangani suatu penyakit tertentu. Salah satu contoh primbon pengobatan tercantum dalam Primbon Mangkuprajan berupa mantra untuk mengobati sakit gigi. Untuk menggumakannya, mantra itu ditulis pad kertas untuk kemudian dibakar dan abunya diusapkan ke gigi yang sakit.[19]
Wirid yang biasanya berupa sastra wedha merupakan pesan-pesan, sugesti, atau larangan yang dianggap perlu untuk diikuti demi terciptanya keharmonisan antara manusia, alam, semesta, dan tuhan selaku sang pencipta.
Aji-aji mencerminkan sisi supranatural dalam kehidupan orang Jawa. Dipercaya bahwa kekuatan supranatural yang luar biasa terkandung dalam suatu mantra apabila itu benar-benar diyakini.
Kidung adalah syair-syair. Isinya biasanya berisi wejangan-wejangan atau sejenisnya.
Ramalan atau jangka sebenarnya tidak berbeda jauh dengan petungan. Perbedaannya adalah ramalan memiliki lingkup yang lebih luas. Ramalan tidak hanya mengurusi masalah individu seperti jodoh namun juga masyarakat, contohnya adalah Jangka Jayabaya.
Tata cara slametan berisi panduan mengenai pelaksanaan ritual orang Jawa dengan berbagai tujuan di dalamnya, contohnya pengungkapan rasa syukur dan penolakan bala.
Donga atau mantra masih serupa dengan wirid dan aji-aji. Namun dalam donga terdapat penggunaan ayat-ayat Al-quran yang ejaannya dijawakan.
Ngalamat atau Sasmita Gaib biasanya adalah fenomena aneh di alam semesta yang dianggap sebagai keganjilan. Fenomena itu kemudian diartikal sebagai pertanda atas sesuatu.
Pandangan dari Perspektif Agama
Keberadaan primbon sebagai salah satu pengetahuan lokal Nusantara tidak luput dari sorotan dari agama Samawi, khususnya Islam sebagai agama yang paling banyak dianut masyarakat Jawa. Meski ada pengaruh Islam yang diadopsi dan bercampur dengan unsur kepercayaan Hindu-Buddha, pertanyaan mengenai pandangan Islam terhadap primbon kerap dibahas. Terlebih, Islam tidak mengenal adanya hari-hari baik atau buruk seperti yang ada di dalam primbon.[8]
Mengenai apakah primbon bertentangan dengan ajaran Islam, ada pendapat yang berbeda. Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Ishomuddin, misalnya berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara primbon dan Islam. Dalam penuturannya kepada media Merdeka.com, ia berpendapat bahwa primbon merupakan sebuah budaya yang disertai pertimbangan logika sehingga jika ada masyarakat yang menggunakan primbon sebagai rujukan untuk mencari hal yang baik maka itu tidak masalah. KH Ahmad Ishomuddin juga mengingatkan soal prinsip Islam yang menghormati budaya selama itu tidak berlawanan dengan akidah agama.[8]
Nahdlatul Ulama melalui situs resminya juga memberikan penjelasan mengenai hal ini di mana disebutkan bahwa Imam Syafi'i juga membolehkan perhitungan baik dan buruk meski dengan batasan tertentu. Dalam penjelasannya yang dinukil Syekh Burhanuddin bin Firkah, disebutkan bahwa adalah hal yang diperbolehkan apabila ahli nujum menyakini tidak ada yang bisa memberi pengaruh baik dan buruk selain Allah SWT, namun Allah menjadikan kebiasaan bahwa hal tertentu terjadi pada waktu tertentu sementara yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata.[20]
Ada pula ulama yang mengharamkan perhitungan waktu baik dan buruk secara mutlak. Salah satu ulama yang mengharamkannya adalah Syekh Kamaluddin bin Zamlakani yang menilai hal semacam ini sepintas menuju ke arah kesyirikan alias praktik penyekutuan terhadap tuhan. Di sisi lain, pendapat Syekh Kamaluddin bin Zamlakani juga pernah ditanggapi berbeda oleh ulama lain seperti Imam as-Subki yang tidak membaca uraian Imam Syafi'i. Laman NU sendiri di lamannya menulis bahwa harus diakui "praktik semacam ini memang berisiko tergelinciran dalam hal akidah" dan "secara garis besar, tindakan semacam ini sebaiknya dijauhi."[20]
Masih dalam situs NU, terdapat penjelasan bahwa astrologi bukan hal yang sama sekali asing bagi dunia Islam karena terdapat sejumlah kitab astrologi yang ditulis oleh para ilmuwan muslim yang hidup pada zaman Abbasiyah seperti Abu Ma’syar Al-Falaki yang menulis kitab dengan judul yang sama dengan namanya. Dalam kitab yang dulu banyak beredar di pesantren-pesantren salaf itu terdapat penjelasan mengenai waktu-waktu tertentu dan watak manusia yang lahir di waktu tertentu layaknya zodiak.[21]
Sementara itu primbon dalam sudut pandang Katolik juga diuraikan oleh situs katolisitas.org yang menjelaskan bahwa umat Katolik sudah seharusnya mengetahui konteks tata kultural masyarakat serta tujuan dasarnya untuk kemudian menjadi acuan dalam mengambil sikap. Diyakini ada hal-hal dalam primbon yang tidak masuk akal dan hanya menimbulkan ketakutan karena sifatnya yang menjadi "kepercayaan membabi-buta." Maka dari itu, primbon sebaiknya dihargai sewajarnya sebagai hasil peradaban pada zamannya namun tidak perlu dipercaya.[22]
Primbon Dewasa Ini
Seiring perkembangan zaman, primbon tidak luput dari dinamika yang menyertainya. Primbon kerap kali ditanggapi dengan pandangan negatif oleh masyarakat. Seseorang yang menggunakan primbon sebagai rujukan untu keperluan menggelar hajat misalnya kerap mendapat cap mustik, klenik, dan kuno. Selain itu, primbon juga dianggap tidak seluruhnya relevan untuk diterapkan pada masa kini karena situasi yang sudah banyak berubah. Misalnya kepercayaan bahwa bertengger dan bercuitnya nya burung prenjak di depan rumah adalah pertanda akan adanya tamu yang datang berkunjung. Dengan kondisi di mana populasi burung prenjak yang sudah semakin berkurang dan rumah yang tidak selalu ada pohonnya membuat ramalan itu tidak bisa lagi menjadi rujukan.[23]
Tidak memungkinkannya lagi bagi primbon untuk selalu menjadi rujukan juga diamini oleh pengamat budaya Jawa, Mulyono. Dalam wawancaranya dengan Merdeka.com, ia menguraikan bahwa khusus untuk hari baik maka itu masih sangat relevan karena setiap orang lahir pada waktu yang berbeda sehingga hari baik dan tidak baiknya juga bisa jadi berbeda. Terlepas dari itu, ia juga mengakui bahwa percaya atau tidaknya terhadap ajaran primbon adalah hal yang tergantung kepada diri masing-masing individu.[23]
Sementara itu, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger dari Keraton Surakarta menilai primbon adalah hal yang sebetulnya bisa dirasionalkan meski dianggap kuno. Namun, ia juga mengakui sejauh ini upaya untuk merasionalkan primbon terbilang sangat minim. Pengetahuan yang tidak mendalam ini juga yang menurutnya membuat primbon semakin ditinggalkan.[24]
Figur publik dari kalangan selebritis juga pernah secara terbuka mengakui bahwa mereka memiliki kedekatan dengan primbon. Salah satunya aktor Rio Reifan. Sebelum melangsungkan pernikahannya dengan Henny Mona, Rio mengutarakan dirinya menggunakan primbin untuk mencari tanggal yang pas untuk melangsungkan acara resepsi lantaran ia dan pasangannya dilanda kebingungan dalam mengambil keputusan.
Seperti dibeberkan Henny, adapun alasan ia dan Rio menggunakan primbon untuk menentukan tanggal yang dirasa pas untuk menggelar acara resepsi pernikahannya adalah keluarga. "Tanggal mau nyari di primbon. Jadi gini untuk tanggal kita masih tentatif, jadi kita cari yang terbaik, karena nyangkut kesibukan keluarga orang terdekat juga. Soalnya kita masih bingung mau satu tapi mau yang satu tanggalnya. Dua-duanya sudah kita booking, tempatnya sudah di-booking yang sama tanggalnya tinggal pilih tempat tergantung Mas Rio," demikian komentarnya yang dilansir oleh detikCom.
Paranormal merangkap selebritis yang kerap tampil di media infotainment, Mbah Mijan, juga beberapa kali berbicara mengenai primbon. Menurut Mbah Mijan, primbon merupakan warisan budaya leluhur yang ajarannya bukan hal yang negatif melainkan sebaliknya. Ia menyebut banyak kajian positif yang sifatnya kewaspadaan, kehati-hatian, hingga ketelitian.[25] Ia bahkan tidak sekadar membicarakannya dalam konteks kehidupan dunia artis, namun juga isu lain seperti hukum. Hal ini tampak saat kasus korupsi kartu tanda penduduk atau e-KTP yang melibatkan politikus Setya Novanto sedang menjadi buah bibir masyarakat.[26]
Pada Kamis 16 November 2017 saat keberadaan Setya Novanto masih menjadi tanda tanya, Mbah Mijan melalui akun Twitter pribadinya dengan yakin bahwa Setya Novanto akan segera menyerahkan diri. Mbah Mijan mengklaim telah mencari informasi mengenai Setya Novanto dan malam Jumat Legi itu bertepatan dengan hari apesnya.[26] Malam Kamis malam harinya setelah Mbah Mijan menuliskan cuitan perihal prediksinya, Setya Novanto mengalami kecelakaan mobil di kawasan Pertama Hijau Jakarta. Mbah Mijan pun kembali berkomentar dengan menyebut Setya Novanto lahir pada 12 November dengan weton Jumat kliwon, maka dari itu ia memiliki hari nahas pada Jumat legi sementara hari baiknya ada pada Jumat Legi, waktu yang sudah masuk saat Setya Novanto mengalami kecelakaan.[25]
Sementara itu penyanyi kelahiran Yogyakarta, Kunto Aji, pernah mengatakan dirinya suka membaca primbon. Ia bahkan tidak menutup kemungkinan buku primbon yang ia baca bisa menjadi album selanjutnya yang ia garap. Berlawanan dengan adanya anggapan di masa kini yang menilai primbon sebagai hal yang sudah tak relevan dan kerap ditinggalkan orang-orang, Kunto Aji justru memandang primbon sebagai karya pemikiran manusia yang bertahan ratusan tahun dan sudah sepatutnya dilestarikan. Baginya, primbon mengandung nilai-nilai yang bagus bagi manusia modern.[27]
Dari cerita yang diutarakannya sendiri, diketahui Aji mengenal primbon dari sang kakek yang dulunya adalah tabib Keraton Yogyakarta. Saat menginjak dewasa, ia kemudian mulai menaruh perhatian terhadap upaya pelestarian primbon.[27]
Untuk itu tidak sedikit yang menggunakan primbon untuk mencari hari baik, seperti hari baik buka usaha[28], hari baik mencari rezeki[29], maupun untuk aktifitas lainnya.
^Aji Yusuf (2019), hlm. 3: "Primbon sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi tampaknya lebih menggejala pada masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok....."
^Primbon Jawa Arti Nama Lengkap : "Sebagian besar isi Primbon Jawa berisi tentang perhitungan, perkiraan, ramalan nasib, meramal watak seseorang dan sebagainya....."
^Aji Yusuf (2019), hlm. 26: "Di Perpustakaan Nasional terdapat banyak jenis primbon seperti Kitab Ta’bir, Primbon Padhukunan Pal-Palan, Mantra Siwastra Raja, Lontarak Bola dan lain-lain....."
^ abIqsan (2015), hlm.2: "Sedang perhitungan penanggalannya diubah dari tahun Saka kemudian disesuaikan dengan penanggalan Hijriyah tahun Islam....."
^Aji Yusuf (2019), hlm. 11: "Perhitungan Jawa yang digunakan dalam primbon baru ditetapkan oleh Sultan Agung setelah melihat dua masyarakat yang hidup di Jawa, yang oleh Clifford Geertz disebut, Santri dan Abangan....."
^ abAji Yusuf (2019), hlm. 24-25: "Dari sini dapat disimpulkan bahwa primbon belum muncul pada masa Hindu-Buddha. Bahkan jangka (ramalan) Jayabaya baru dituliskan Ranggawarsita pada masa Mataram Islam....."
^ abIqsan (2015), hlm 6-7: "Terutama dalam bidang pernikahan, meskipun pada era yang sudah modern seperti saat ini pun masih banyak orang yang memegang teguh....."
^Gunasasmita (2009), hlm.3: "Perhitungan dalam primbon menggunakan kalender Jawa yang menggunakan perhitungan peredaran bulan. Setiap hari, hari pasaran, bulan, dan tahun memiliki perhitungan....."
^Iqsan (2015), hlm 9: "Dalam menentukan hari pernikahan harus melihat sifat hari, pekan, bulan dan tahun. Dalam primbon telah dijelaskan secara rinci....."
^Aji Yusuf (2019), hlm. 8-10: "Suwardi Endraswara menyebutkan bahwa primbon merupakan gudang ilmu pengetahuan. Mistikus Jawa disebut juga primbonis....."
Aji Yusuf, Bay (2019). Konsep Ruang dan Waktu dalam Primbon serta Aplikasinya pada Masyarakat Jawa. Jakarta: Skripsi Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Gunasasmita, R. (2009). Kitab Primbon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Narasi.
Iqsan, Moh. Abid (2015). Primbon: Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam. Tulungagung: Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung.
Primbon.web.id (2018) Tentang ramalan kepribadian dan pekerjaan.