Siping-siping

Relief pertempuran di candi induk pada kompleks Candi Penataran yang menampilkan prajurit berzirah sisik, tahun 1269 saka atau 1347 M.

Siping-siping, simping-simping, atau sisimping, adalah jenis baju zirah yang digunakan di Jawa. Ia adalah jaket pendek tanpa lengan yang terbuat dari pelat-pelat logam berbentuk sisik.[1]:1784

Deskripsi

Berbeda dengan kawaca yang hanya digunakan oleh prajurit berpangkat tinggi, pakaian perang ini kebanyakannya dipakai oleh prajurit infanteri. Ia biasanya diartikan sebagai zirah sisik, Suryo Supomo mengartikannya sebagai jaket berpelat logam.[2]:78 Orang-orang yang membuktikan diri dalam pertempuran disebutkan dalam Nawanatya (prosa panduan etiket istana yang disusun pada abad ke-14) memiliki jaket yang "dihiasi dengan cakram kerang".[2]:75, 79 Beberapa teks Jawa menunjukkan bahwa beberapa siping-siping terbuat dari kuningan.[2]:79-80

Karena sedikitnya peninggalan zirah logam dalam militer Jawa, Jiří Jákl berpendapat bahwa siping-siping mungkin terbuat dari kulit kerbau yang diperkuat dengan bagian-bagian logam.[2]:79 Kemungkinan lain ia dibuat dari kulit kerbau dan diperkuat dengan cakram kecil kerang yang disebut siping-siping.[3]:189

Pada awalnya kata siping-siping merujuk pada sejenis kerang laut beserta cangkangnya. Ia pertama kali muncul pada naskah masa Kadiri (1042–1222).[2]:79 Dalam bahasa Jawa modern, kata simping masih menunjuk pada sejenis cangkang tiram.[4]:681 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, simping adalah "kerang yang cangkangnya bundar, pipih dan tipis, satu cangkangnya berwarna merah dan lebih cembung daripada cangkang yang lain yang berwarna putih" atau Amusium pleuronectes.[5]

Museum Pitt River memiliki sebuah zirah sisik Jawa yang terbuat dari tanduk. Ia tidak berlengan dan dirancang menyerupai sisik tenggiling.[6]

Pasukan elit Sunda di bawah komando patih Anepaken pada saat tragedi Bubat (1357) dicatat mengenakan baju zirah (sisimping atau siping-siping). Sebagaimana ditulis dalam Kidung Sunda:

Jajakanirabagus kadi ring surat, saha watang jininjring, asisimping emas, alancingan bot sabrang, pantes olahe prajurit, wangsya amenak, tus ning Sunda sinaring.

Pengawalnya tampan, seperti dalam gambar; mereka memiliki tombak dari kayu jring, mengenakan zirah (sisimping) yang berwarna emas dan celana panjang (lancingan) dari bahan yang bagus. Mereka tahu bagaimana cara menunjukkan diri sebagai pendekar mulia dari keluarga yang baik, bunga pemuda Sunda.[7]:40, 109[8]:69

Begitu pula pihak Majapahit pada Kidung Sunda, prajurit Jawa dicatat menggunakan siping-siping berwarna emas.[7]:103

Relief yang sudah terkikis di kompleks candi Candi Penataran, menampilkan penunggang kuda berbaju zirah, prajurit berbaju zirah, dan kereta perang.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Zoetmulder, P. J. (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 9024761786. 
  2. ^ a b c d e Jákl, Jiří (2014). Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry (Tesis). The University of Queensland. 
  3. ^ Jákl, Jiří (2016). "The Loincloth, Trousers, and Horse-riders in Pre-Islamic Java: Notes on the Old Javanese Term Lañciṅan". Archipel (91): 185–202. doi:10.4000/archipel.312. ISSN 0044-8613. 
  4. ^ Robson, Stuart; Wibisono, Singgih (2002). Javanese-English Dictionary. Hongkong-Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. 
  5. ^ Lihat definisi simping di KBBI daring.
  6. ^ "Scale horn armour (1886.1.242.2)". Pitt River Museum Anthropology and World Archaeology. Diakses tanggal 2022-08-18. 
  7. ^ a b Berg, C. C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen, BKI LXXXIII : 1-161.
  8. ^ Wales, H. G. Quaritch (1952). Ancient South-East Asian Warfare. London: Bernard Quaritch.