Baluse adalah perisai tradisional Suku Nias yang terbuat dari kayu keras atau besi. Baluse di Nias Utara berukuran lebih kecil dari pada perisai di daerah lain di Nias.[1] Penggunaan baluse sejalan dengan perkembangan tolögu, gari, toho bulusa dan öroba uli mbuaya yang menjadi pelengkapan perang di Nias masa lalu.[2][3]
Fungsi dan kedudukan baluse sangat penting mengingat perang dalam masyarakat Nias berarti memburu kepala musuhnya. Bagian tubuh musuh yang dipenggal menurut kebiasaan berperang di Nias ialah bagian di antara leher dan bahu terpenggal hingga ketiak bawah. Potongan ini menyisakan kepala dan sebuah tangan musuh. Potongan ini biasanya terpenggal ketika musuh lengah menggunakan baluse. Oleh sebab itu, baluse yang tidak lebih besar dari tubuh ini berfungsi sebagai perisai pelindung tubuh dari kepala hingga betis. Baluse dari pelat besi (seng) disebutkan mulai dikenal seiring dengan kontak orang Nias dengan pendatang. Perkembangan baluse dari pelat besi meski jarang dan tidak begitu dikenal ini dapat disebut sezaman dengan öröba si'öli atau baju perang Nias dari pelat besi.
Baluse dibuat dari kayu keras, diwarnai dengan warna tanah cokelat kehitaman dan bentuknya menyerupai sehelai daun pisang utuh. Bagian yang menyerupai pangkal daun pisang menjadi bagian atas perisai, melebar pada bagian tengah dan mengecil pada bagian bawah. Sebuah garis vertikal yang membagi dua bagian kiri-kanan sehingga tampak simetris menguatkan kesan bentuk perisai ini menyerupai daun pisang. Bagian terluar dengan motif garis-garis yang dihiasi atau dilapisi dengan kawat besi atau kuningan atau tali yang dibuat dari serat tumbuhan dibuat agak cembung di bagian terluar. Bagian ini dianalogikan dengan punggung buaya. Bagian dalam yang cekung menjadi bagian tempat pegangan perisai ini. Pegangan perisai terdapat pada bagian berbentuk bulatan yang paling menonjol di bagian luar. Dalam peperangan atau pertunjukan, pegangan pada perisai baluse ini menjadi titik kontrolnya, dapat dibolak-balik ke kiri dan kanan. Motif garis-garis yang dipahatkan pada baluse ini dinamai aweta. Baluse masih dibuat untuk keperluan pertunjukan tari perang Nias yang juga dinamai tari baluse.[4]
Referensi
^Suzuki, P. (1959). The religious system and culture of Nias, Indonesia. 's-Gravenhage, Excelsior.