Beberapa Buddhis mengalami penindasan dari non-Buddhis atau Buddhis lainnya sepanjang sejarah agama Buddha. Penindasan dapat merujuk kepada penangkapan tak bersalah, penahanan, penikaman, penyiksaan, atau eksekusi. Ini juga merujuk kepada pengrusakan atau penghancuran barang, atau pernyataan kebencian terhadap Buddhis.
Para biksu Buddha dipaksa kembali menjadi awam, properti Buddhis dirusak, lembaga-lembaga Buddha ditutup, dan sekolah-sekolah Buddha dirombak di bawah kontrol negara dalam rangka modernisasi Jepang pada awal Zaman Meiji.[1] Kontrol negara terhadap Buddhisme menjadi bagian dari kebijakan Kekaisaran Jepang di dalam dan di luar Korea dan kawasan yang diduduki lainnya.[2]
Penindasan di Myanmar
Pemerintah Myanmar berupaya untuk mengkontrol lembaga-lembaga Buddha melalui tindakan-tindakan koersif, yang meliputi intimidasi, penyiksaan, dan pembunuhan para biksu.[3] Setelah para biksu memainkan peran aktif dalam gerakan protes melawan kediktatoran militer pada 2007, negara kembali mengayomi biara dan biksu Buddha.[4]
Beberapa Buddhis Korea Selatan menentang apa yang mereka pandang sebagai tindakan-tindakan diskriminatori melawan mereka dan agama mereka oleh pemerintahan Presiden Lee Myung-bak, yang mereka kaitkan dengan hubungan Lee dengan Gereja Presbiterian Somang di Seoul.[5]
Ordo Jogye Buddhis menuduh pemerintah Lee mendiskriminasi Buddhis dan menganakemaskan Kristen dengan menghiraukan kuil-kuil Buddha tertentu disamping mencantumkan gereja-gereja Kristen dalam dokumen-dokumen publik tertentu.[5] Pada 2006, menurut Asia Times, "Lee juga mengirim sebuah video pesan doa kepada sebuah pawai Kristen yang diadakan di selatan kota Busan dimana pemimpin ibadahnya berdoa dengan berkata: 'Allah, runtuhkanlah kuil-kuil Buddha di negara ini!'"[6] Selain itu, menurut sebuah artikel dalam Buddhist-Christian Studies: "Sepanjang dekade terakhir [1990an], sejumlah besar kuil Buddha di Korea Selatan dihancurkan atau dirusak oleh api yang dinyalakan para fundamentalis Kristen. Pada saat ini, patung-patung Buddha dianggap sebagai berhala, dan diserang dan dipancung atas nama Yesus. Penangkapan sulit dilakukan, karena para penyerang dan perusak melakukannya pada malam hari." Sebuah insiden tahun 2008 dimana kepolisian menyelidiki para pemprotes yang memberikan penghormatan di kuil Jogye di Soeul dan pencarian sebuah mobil yang dikendarai oleh Jigwan, kepala eksekutif ordo Jogye, berujung pada unjuk rasa oleh para Buddhis yang mengklaim polisi telah mencap Jigwan sebagai seorang penjahat.[5]
Pada Maret 2009, dalam upaya meredam umat Buddhis akibat peristiwa-peristiwa terkini, Presiden dan Ibu Negara ikut dalam sebuah konferensi Buddhis Korea dimana ia dan istrinya terlihat ikut serta dalam doa bersama dengan para partisipan.[7] Ketidaknyamanan umat Buddhis secara bertahap berangsur-angsur meredam sejak itu.[8][9]
Sri Lanka
Di bawah kekuasaan Inggris, umat Kristen secara terbuka dianakemaskan dalam hal pekerjaan dan promosi.[10]Robert Inglis, seorang Konservatif Inggris abad ke-19, menganggap Buddhisme sebagai "pemberhalaan" saat debat parlementer atas hubungannya antara "para pendeta Buddha" dengan pemerintah kolonial Inggris, pada 1852.[11] Pada Perang Saudara Sri Lanka, umat Buddhis terkena beberapa serangan teroris dari Harimau Pembebasan Tamil Eelam (bahasa Inggris: Liberation Tigers of Tamil Eelam, LTTE).[12] Pada periode ini, Kuil Gigi, dimana relik gigi keramat dari Sang Buddha disimpan dan disembahyangi, diserang oleh LTTE. Pohon keramat Bo yang berkaitan dengan pohon Bodhi, dimana sang Buddha meraih pencerahan, juga diserang oleh kelompok teroris yang dikatakan tersebut, menewaskan sektiar tiga ratus peziarah.[12]
Pada awal 1953, beredar rumor bahwa Buddhis menghadapi diskriminasi di Vietnam. Tuduhan tersebut menyatakan bahwa tentara Katolik Vietnam yang dipersenjatai oleh Prancis telah menyerbu desa-desa. Pada 1961, penguncian pagoda-pagoda dikabarkan dalam media Australia dan Amerika.[13]
Setelah KatolikNgô Đình Diệm berkuasa di Vietnam Selatan, atas bekingan Amerika Serikat, ia menganakemaskan para kerabatnya dan orang-orang seagamanya ketimbang Buddhis. Meskipun Buddhis meliputi 80% dari populasi Vietnam, orang-orang Katolik lebih diberi jabatan-jabatan tinggi dalam ketentaraan dan layanan sipil. Setengah dari 123 anggota Majelis Nasional adalah Katolik. Buddhis juga disyaratkan meminta ijin khusus kepada pemerintah untuk mengadakan pertemuan besar, sebuah tindakan yang umumnya dibuat untuk pertemuan serikat dagang.[14] Pada Mei 1963, pemerintah melarang pengibaran bendera-bendera Buddha saat Waisak. Setelah para pengunjuk rasa Buddhis bentrok dengan pasukan pemerintah, sembilan orang tewas.[14] Dalam protes, biksu Buddhis Thích Quảng Đức membakar dirinya sendiri sampai mati di Saigon.[15] Pada 21 Agustus, penyerbuan Pagoda Xá Lợi berujung pada kematian sekitar ratusan orang.
Referensi
^James Edward Ketelaar, Of Heretics and Martyrs in Meiji Japan; ISBN0-691-02481-2
O'Brien, Sharon (2004). "The Chittagong Hill Tracts". Dalam Dinah Shelton. Encyclopedia of Genocide and Crimes against Humanity. Macmillan Library Reference. hlm. 176–177.
Mey, Wolfgang, ed. (1984). Genocide in the Chittagong Hill Tracts, Bangladesh. Copenhagen: International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA).Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
Moshin, A. (2003). The Chittagong Hill Tracts, Bangladesh: On the Difficult Road to Peace. Boulder, Col.: Lynne Rienner Publishers.
Al-Biladhuri: Kitãb Futûh Al-Buldãn, translated into English by F.C. Murgotte, New York, 1924.
Dudink, Adrian (2000). "Nangong Shudu (1620), Poxie Ji (1640), and Western Reports on the Nanjing Persecution (1616/1617)". Monumenta Serica. Maney Publishing. 48: 133–265. JSTOR40727263.