Gendersida adalah upaya pembunuhan sistematis terhadap anggota gender tertentu.[1] Istilah ini terkait dengan konsep umum penyerangan dan pembunuhan terhadap korban karena jenis kelamin mereka. Gendersida sering kali melakukan kekerasan terhadap perempuan ataupun laki-laki dan hal ini menjadi masalah yang ditangani oleh hak asasi manusia. Gendercide memiliki persamaan dengan istilah 'genosida' dalam kasus pembunuhan massal. Namun perbedaannya, gendersida hanya menargetkan satu jenis kelamin, pria atau wanita.
Gendersida dilaporkan menjadi masalah yang meningkat di beberapa negara. Statistik sensus melaporkan bahwa di negara-negara seperti China dan India, rasio pria terhadap wanita adalah 120 pria berbanding 100 wanita .[2] Aborsi karena tidak menyukai jenis kelamin bayi yang akan lahir (biasanya untuk anak perempuan) merupakan bentuk gendersida. Begitu pula dengan pembunuhan bayi dan kekerasan mematikan terhadap gender tertentu pada setiap tahap kehidupan.
Asal-usul istilah
Istilah gendersida pertama kali diciptakan oleh feminis Amerika Mary Anne Warren pada tahun 1985 dalam bukunya berjudul Gendercide: The Implications of Sex Selection. Hal ini mengacu pada jenis kelamin-selektif pembunuhan massal. Hal ini mengacu pada pembunuhan massal selektif gender. Warren menarik sebuah analogi antara "konsep genosida" dan apa yang dia sebut sebagai "gendersida". Dalam bukunya, Warren menulis:
Dengan analogi tersebut, gendersida akan menjadi pemusnahan yang disengaja terhadap orang-orang dari jenis kelamin tertentu. Istilah lain, seperti "genosida" dan "femisida", telah digunakan untuk merujuk pada pembunuhan anak perempuan dan wanita yang salah. Tapi "gendersida" adalah istilah seks-netral, karena korbannya mungkin laki-laki atau perempuan. Ini membutuhkan istilah seks-netral semacam itu, karena pembunuhan yang diskriminatif secara seksual sama halnya ketika korban menjadi laki-laki. Istilah ini juga menyerukan perhatian pada fakta bahwa peran gender sering memiliki konsekuensi mematikan dan hal ini sejalan dengan konsekuensi mematikan dari prasangka rasial, agama, dan kelas.[1]
Holocaust
Istilah Holocaust mengacu pada pembunuhan tehadap etnis yahudi di Eropa selama Perang Dunia II. Pembunuhan ini merupakan program pembunuhan sistematis yang dilakukan oleh Nazi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler.[3] Holokaus termasuk dalam kategori genosida tetapi juga dapat dikategorikan sebagai gendersida. Dalam kasus ini, jumlah perempuan yang dieksekusi lebih banyak dibanding laki-laki. Begitu pula dengan jumlah perempuan yang dikirim ke kamp-kamp kerja paksa yang akhirnya dibunuh jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Selain itu, kategori zona perang termasuk gendersida terhadap laki-laki. Orang-orang yang dapat berpartisipasi dalam militer dianggap 'diasingkan' sedangkan para pemuda lainnya tidak termasuk dalam kelompok sipil karena pada masa itu kelompok sipil yang diakui hanyalah perempuan dan anak-anak.[4].Karena tidak dimasukkan ke dalam dua kelompok tersebut, baik kelompok militer maupun kelompok sipil, mereka menerima "perlakuan mematikan".[5] Bahkan wanita-wanita hamil juga ditargetkan untuk dibunuh dengan alasan akan melahirkan kelompok yang tidak menginginkan peperangan.[4] Pemusnahan para wanita dianggap sebagai pemutusan reproduksi.
Femisida
Femisida didefinisikan sebagai pembunuhan sistematis wanita karena berbagai alasan. Biasanya alasan tersebut adalah budaya. Hal ini terjadi pada tahun 1820-an.[6] Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, rasio gender secara biologis pada saat kelahiran berkisar antara 102 hingga 106 laki-laki berbanding 100 perempuan. Namun, rasio yang lebih tinggi hingga mencapai 130 pria berbanding 100 perempuan telah terjadi. Hal ini menyebabkan meningkatnya kekhawatiran di beberapa negara seperti di negara-negara Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tengah.[7] Perbedaan semacam itu hampir selalu mencerminkan keutamaan memiliki anak laki-laki sebagai akibat faktor sosial, budaya, politik dan ekonomi yang telah mengakar dalam kehidupan mereka.
Bentuk yang lebih luas dari femisida adalah dalam bentuk pembunuhan bayi selektif gender dalam budaya menanamkan bahwa keturunan laki-laki lebih utama seperti yang terjadi di China dan India. Menurut PBB, rasio laki-laki terhadap perempuan, yang biasanya berkisar antara 102-106 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan dalam keadaan normal, telah mengalami perubahan radikal.[7]
Rasio jenis kelamin pada saat lahir di Cina sejak tahun 1979 hingga 2005:[8]
106 anak laki-laki berbanding 100 perempuan tahun 1979
111 anak laki-laki berbanding 100 perempuan tahun 1988
117 anak laki-laki berbanding 100 perempuan tahun 2001
120 anak laki-laki berbanding 100 perempuan tahun 2005
Di India, anak laki-laki lebih diutamakan karena orang tua mencari ahli waris yang akan merawat mereka di masa tua mereka. Selain itu, biaya maskawin yang harganya yang harus dibayarkan keluarga untuk anak perempuan mereka ketika ingin menikah sangat tinggi di India. Di samping itu, pewaris laki-laki akan membawa maskawin ke keluarga dengan cara menikah. Menurut publikasi Inggris, The Independen, sensus 2011 menyatakan bahwa terdapat jurang perbedaan anak perempuan dengan anak laki-laki yang berusia di bawah tujuh tahun adalah 7,1 juta. Data tersebut naik dari 6 juta pada tahun 2001 dan pada tahun 1991 hanya 4,2 juta. Saat ini, rasio jenis kelamin pada anak-anak di India adalah 915 anak perempuan berbanding 1.000 anak laki-laki. data ini merupakan data terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1961[9]
Di negara lainnya, terjadi fenomena bunuh diri dan pembakaran diri yang dibiarkan oleh pemerintah Kurdi di Kurdistan, Irak termasuk dalam kategori "gendersida" oleh Mojab (2003).[10] Laporan femisida juga terjadi di Ciudad Juárez, Chihuahua, Meksiko[11] di wilayah ini terjadi kekerasan pada perempuan. Sebanyak 411 perempuan telah dibunuh akibat perbedaan gender, kekerasan dalam rumah tangga, feminisasi dan kebencian terhadap perempuan.[12] Tanggapan terhadap pembunuhan ini adalah bentuk kriminalisasi perempuan di negara ini.[13]
Gendersida berupa kekerasan seksual terhadap perempuan saat ini terjadi di negara Republik Demokratik Kongo dan Angola. Kedua negara ini juga merupakan pusat berkembangnya penyakit AIDS.[4] Tidak hanya berisiko karena tinggal di tempat di mana kasus pemerkosaan berskala besar saat ini terjadi di wilayah ini,[4] tetapi juga rentan untuk tertular HIV dan yang lebih mengkhawatirkan, para wanita tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai.[14] Rentang kehidupan perempuan menurun secara tajam dan berada dalam kisaran remaja hingga tiga puluhan karena kematian selama masa kehamilan melalui persalinan. Adam Jones, salah satu pendiri Gendercide Watch, sebuah platform penelitian online yang dibuat untuk menyebarkan kesadaran mengenai genderisda, memperkirakan bahwa penolakan perawatan kesehatan untuk wanita setara dengan jumlah korban genosida Rwanda tahun 1994 per tahun.[14]:
Lebih dari 200.000 orang meninggal karena pendarahan, melahirkan di bus atau gerobak sapi. Kurangnya pendidikan kesehatan dan skill para petugas kesehatan, terbatasnya pengetahuan dan fasilitas medis yang tidak ideal membuat berbagai pihak kesulitan dalam menawarkan bantuan. Selain itu, tingkat korban dari aborsi diperkirakan sekitar 75.000 jiwa. Eklampsia, suatu kondisi yang mungkin terjadi sebelum dan pasca persalinan, ditandai dengan kejang karena tekanan darah tinggi telah membunuh 75.000 jiwa lainnya melalui kerusakan pada otak dan ginjal. Selain itu, 100.000 ornag meninggal karena sepsis. Infeksi rahim (kanker vagina) yang tidak diobati dan sisa plasenta yang meracuni aliran darah juga menambah jumlah korban perempuan menjadi 400.000 jiwa.
Adam Jones merancang solusi yang memungkinkan untuk membantu krisis kemanusiaan di Afrika. Dia menyimpulkan bahwa harus memberikan pelatihan pada sekitar 850.000 petugas kesehatan. Menurut laporan UNICEF dan WHO, krisis tersebut membutuhkan fasilitas mumpuni dan obat-obatan. Total biaya bantuan tersebut diperkirakan US $ 200 juta, atau setara dengan harga enam jet tempur[14]
Androsida
Androsida adalah pembunuhan sistematis terhadap pria atau anak laki-laki karena berbagai alasan. Biasanya alasan budaya. Seringkali hal ini terjadi selama perang yang tujuannya untuk mengurangi potensi pasukan musuh. Salah satu contohnya adalah Kampanye Al-Anfal tahun 1988 yaitu kampanye genosida melawan suku Kurdi dan suku-suku non-Arab lainnya oleh Presiden Saddam Husein di Kurdistan, Irak.[15][16] Pada saat itu banyak pemuda Kurdi yang ditangkap dan diproses di kamp konsentrasi hingga akhirnya meninggal dunia. Operasi militer ini dipimpin oleh sepupu saddam Husein, Ali Hassan al-Majid, yang menggunakan gas mustard, sarin, dan gas saraf VX. Dia kemudian dijuluki Chemical Ali. Diperkirakan lebih dari 180.000 orang Kurdi tewas. Ali Hassan al-Majid ditangkap oleh militer Amerika Serikat dan dieksekusi karena kejahatan perang. Ini merupakan contoh terburuk dari gendersida terjadi pada akhir kampanye (25 agustus – September 6, 1988).[17][18]
Insiden lain dari androsida adalah pembantaian Srebrenica yaitu pembantaian lebih dari 8.000 pria dan remaja etnis MuslimBosniak pada 12 Juli 1995 di daerah Srebrenica, Bosnia oleh pasukan Republik Serbia yang dipimpin oleh JenderalRatko Mladić. Tindakan ini dikatakan sebagai tindakan genosida oleh Mahkamah Internasional.[19][20] Pembantaian mulai direncanakan pada 12 Juli 1995. Saat itu pasukan Serbia mulai memisahkan laki-laki berumur 12 hingga 77 tahun untuk "diinterogasi". Sehari kemudian, pembantaian pertama terjadi di gudang dekat desa Kravica. Pembantaian itu terjadi hingga tanggl 16 Juli 1995 hingga menelan korban lebih dari 8.000 jiwa.[21][22][23]
Gendersida dalam fiksi
Pada tahun 2003 dirilis film Matrubhoomi: A Nation Without Women, sebuah film India yang disutradarai oleh Manish Jha, menampilkan situasi dunia pada tahun 2050 yang diramalkan tanpa wanita. Hal ini merupakan akumulasi kekerasan terhadap wanita selama bertahun-tahun. Dikisahkan dalam film tersebut, seorang pria kaya di suatu desa menemukan seorang wanita muda yang tidak terlalu jauh dari rumahnya dan dia membeli wanita itu sebagai budak seks pemuas nafsu seksnya dan anak-anaknya. Film ini mendapat pujian karena telah berani secara jujur menggambarkan kebrutalan yang terjadi di India. Hal ini merupakan bentuk sikap kritis terhadap maraknya pemerkosaan dan isu-isu hak asasi manusia di India.[24]
Sebelumnya, buku berjudul The Handmaid's Tale yang terbit tahun 1985 menggambarkan sebuah cerita tentang sebuah kediktatoran militer fasis yang dikendalikan oleh sekelompok ideologi teokratis. Dengan populasi laki-laki dan perempuan yang semakin menurun, jumlah wanita subur dan wanita tidak subur semakin tidak sehat. Wanita subur hanya mendapatkan sedikit haknya. Wanita tidak bisa membaca dan melakukan aktivitas-aktivitas normal lainnya. Penulis Kanada, Margaret Atwood menciptakan karya tersebut sebagai peringatan tentang totalitarianisme dan penindasan wanita di zaman modern. Kisah ini diilhami ketika dia mengunjungi Kota Berlin yang terbagi dua pada awal 1980-an dan mengunjungi daerah-daerah di negara bekas Uni Soviet. Margaret Atwood menyaksikan keputusasaan oleh khalayak umum di wilayah itu.[25][26][27]
^ abcdAdam Jones (2000) Gendercide and genocide, Journal of Genocide Research, 2:2, 185-211, DOI: 10.1080/713677599
^Due to not being placed into the two dominant groups, being the militarized category and civilian group, the male non-combatant group was targeted for gendercide and received “"particularly lethal treatment
^"Feminicidio". INEGI. Encuentro Internacional de Estadística de Género. Archived from the original on 28 March 2010. Diakses tanggal 19 September 2017.Pemeliharaan CS1: BOT: status url asli tidak diketahui (link) CS1 maint: BOT: original-url status unknown (link)
Russell, Diana E.H., ed.; Roberta A. Harmes (2001). Femicide in Global Perspective. Teachers College Press. ISBN0-8077-4047-0.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
Sanford, Victoria (2008). Guatemala : Del Genocidio Al Feminicidio/From Genocide to Femicide. F&G Editores. ISBN99922-61-88-9.
Shahrzad Mojab. (2003). Perempuan kurdi di Zona Genosida dan Gendercide. Al-Raida 21(103): 20-25.