Konflik Mataram–Belanda adalah sebuah konflik militer dan politik antara Mataram dengan Belanda. Pada awalnya konflik ini didasari oleh persaingan perdagangan dan seiring waktu mulai mencapai persaingan takhta dan politik di Mataram.
Latar belakang
Konflik dimulai ketika Kompeni Belanda datang dan mengirimkan duta untuk berdagang dan mendirikan loji dan benteng di Pantai Utara Mataram namun hal ini ditolak oleh Sultan Agung.[3]
Namun pada saat Kampanye militer di Surabaya Sultan Agung memanfaatkan VOC untuk membantu nya memerangi Surabaya dan aliansinya. Setelah selesai menaklukkan Surabaya, sultan mengirimkan dutanya ke Batavia untuk berdamai dengan syarat-syarat tertentu namun ditolak oleh VOC.[4]
Untung Suropati berhasil melarikan diri dari perbudakan dan kemudian bergabung dengan pasukan pemberontak. Dia menjadi terkenal karena kemampuannya dalam berperang dan keberaniannya melawan VOC. Pada tahun 1686, VOC mengirim Kapten Francois Tack untuk menangkap Untung Suropati, yang saat itu dianggap sebagai ancaman besar bagi stabilitas kekuasaan VOC di Jawa.
Pada saat Pemberontakan Orang Madura terjadi, ibukota Mataram yaitu Plered, hancur karena pemberontakan tersebut. Akhirnya mereka berpindah Ibukota ke Kartasura. Amangkurat II (anak dari Amangkurat I dan cucu dari Sultan Agung) membujuk kakak tirinya,Pangeran Puger untuk ikut bersamanya di Kartasura, lalu Pangeran Puger menolak dan terjadilah konflik.[5] Pangeran Puger kalah lalu menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II dan akhirnya Pangeran Puger mengakui kedaulatan Amangkurat II sebagai Sultan dan penguasa Mataram.[6]
Pada awalnya, mereka akan pergi ke Banten. Tetapi, pasukan Kesultanan Banten yang berjumlah 3,000 datang dan menghadang rombongan tersebut. Dan akhirnya para korban yang selamat pergi ke Semarang dan membentuk persekutuan antara orang Tionghoa dan orang Jawa.[9][10]
Usai Pemberontakan Tionghoa–Jawa, Mataram mengalami banyak kerugian seperti kehilangan kota-kota penting yaitu Demak dan Semarang, dan juga kehilangan banyak wilayah serta kerugian finansial yang tinggi. Perang Takhta kembali berkecamuk akibat perlakuan buruk Gubernur Jendral kepada Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I), yang membuat Pangeran memberontak kepada Belanda.[11][12]
Pada serangan pertama, Armada milik Tumenggung Bahureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan 12.000 karung beras untuk pengalihan kepada Belanda. Namun, Belanda menyadarinya dan membuat baris pertahanan. Setelah banyak kapal menepi, akhirnya mereka menyerbu Batavia dan mereka dibantu oleh pasukan kedua pada bulan Oktober yang dipimpin Pangeran Mandurareja. Namun, semua serangan ini gagal. Dan pada akhirnya, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja dieksekusi di Batavia oleh algojo yang dikirim oleh Sultan Agung pada Desember 1628.[13]
Serangan kedua dilakukan pada Mei 1629, pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur dan pasukan kedua dipimpin oleh Adipati Juminah. Kali ini, Mataram menyiapkan perbekalan beras di Karawang dan Cirebon. Pada saat serangan dilaksanakan mereka berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung yang membuat Jan Pieterszoon Coen meninggal akibat wabah Kolera. Tetapi, Belanda menggunakan mata-mata untuk mengetahui perbekalan Mataram dan menghancurkannya sehingga pasukan Mataram kurang perbekalan dan dikalahkan.[14]
Pada 1686, VOC mengirim Kapten Tack ke Kartasura untuk meyakinkan Pangeran Amangkurat II untuk mengantarkan Surapati kepadanya. Sesampainya di sana, Tack mengatakan bahwa dirinya adalah prajurit dari Amangkurat yang menyerang kediaman Untung Surapati.
Bahkan, serangan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena Amangkurat tidak berniat melepaskan Surapati.
Surapati dianggap sebagai sekutu yang berharga. Tack dan 74 orang lainnya pun akhirnya dibunuh oleh pasukan Surapati. Sisa pasukan VOC mundur ke garnisun atau pasukan Belanda di Kartasura. Surapati kemudian meninggalkan Kartasura dan pergi ke Pasuruan.
Penyerangan ke Pasuruan
Pada tahun 1690, Amangkurat II berpura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Pada tahun 1703, Amangkurat II meninggal dan digantikan oleh anaknya Amangkurat III sementara. Pamannya, Pangeran Puger, lari dari Kartasura ke Semarang untuk mencari dukungan ke VOC, dan setelah mendapat dukungan dan mengakui Pangeran Puger sebagai raja, Puger berperang melawan keponakannya. Ia melancarkan kampanye militer hingga membuat Amangkurat III kewalahan dan meninggalkan banyak tempat.[15]
Akhirnya setelah beberapa pertempuran, Amangkurat III terpaksa menyerah dan berunding dengan VOC. Ia menyerahkan status Sultan kepada Pangeran Puger dan VOC membuang nya ke Ceylon. Dan juga Belanda membuat kontrak dengan Mataram dan juga harus mengakui bahwa Cirebon adalah proktetorat milik Belanda.[16][17]
Pertempuran Demak (1704)
Pada akhir 1704, pasukan Pangeran Puger dengan bantuan dari VOC mampu merebut dan menaklukkan Demak dari tangan Amangkurat III. Ini menjadi kekalahan pertama dari Amangkurat III.[15]
Pertempuran Kartasura (1705)
Pada awal 1705, pasukan Pangeran Puger yang dibantu prajurit bayaran dari Ambon, Banda, Makassar, Madura, dan Melayu menyerang Kartasura. Ini menjadi kekalahan yang besar bagi Amangkurat III dan para pasukan menjarah Kartasura, disana Pangeran Puger memasuki istana dan menjadi Sultan.[15]
Pada Oktober 1706, pasukan Pangeran Puger kembali menyerang Amangkurat III, Kali ini di Pasuruan. Mereka berhasil mengalahkan pasukan Amangkurat dan juga pemimpin pasukan yaitu Untung Surapati mati dikarenakan Pertempuran ini[18]
Peperangan ini bermula pada saat terjadinya kerusuhan di Batavia dan para korban yang selamat pergi ke Semarang. Disana mereka membentuk persekutuan dengan orang Jawa dan juga merencanakan Pemberontakan kepada Belanda.[19]
Konflik dimulai pada saat aksi di Pati (1741) lalu para pemberontak kembali menyerang pos-pos dan rumah para tentara Belanda di Rembang, Juwana, Demak, dan Jepara. Ini membuat komandan VOC pada saat itu mengalami mental yang tidak stabil dan digantikan oleh komandan yang baru.[10][20][21][22]
Lalu para pemberontak segera menyerang dan mengepung Semarang dan ini membuat Belanda terdesak dan juga banyaknya korban jiwa di pihak Belanda. Dalam situasi ini, Belanda hampir putus asa namun pasukan bantuan datang dan menyerang pemberontak sehingga pemberontak kocar-kacir dan Pakubuwana II meninggalkan pemberontak lalu memilih untuk bergabung dengan Belanda.[23][22][20][24]
Dan pada akhirnya Pakubuwana II dianggap pengkhianat oleh pemberontak Tionghoa–Jawa lalu mereka melancarkan serangan ke Kartasura. Serangan itu sukses dan membuat pasukan Belanda dan juga keluarga Pakubuwana II mundur dari Kartasura akibat serangan ini. Namun, kemenangan ini tidak lama. Pada akhirnya, Belanda menyerang pos-pos pemberontak di Demak dan Kudus dan membuat Pemberontak kalah.[25][26][27]
Penjarahan di Pati (1741)
Pada tahun 1741 kelompok pemberontak yang berjumlah 37 orang menyerang rumah seorang Kopral Belanda di Pati mereka membunuh sang Kopral dan menjarah rumah tersebut termasuk persenjataan.[28]
Pertempuran Juwana (1741)
Pada 23 Mei 1741, 1,000 pasukan pemberontak menyerang pos Juwana yang berada di Rembang. Mereka berhasil mengalahkan pasukan Belanda di sana dan menjarah semua harta yang ada di pos tersebut.[20]
Pertempuran Rembang (1741)
Setelah mereka merebut dan menyerbu pos Juwana dari tangan Belanda, para pemberontak menyerang pos-pos dan kantor yang berada di Rembang. Disana mereka berhasil menangkap dokumen penting, persenjataan, dan perbekalan. [29]
Pertempuran Demak (1741)
Usai merebut pos-pos dan kantor yang berada di Rembang, selanjutnya para pemberontak menyerang Demak. Disana komandan VOC melakukan kesalahan besar dan juga semakin menguatnya serangan para pemberontak menyebabkan Demak berhasil direbut dan para komandan VOC mundur.[20][29]
Pertempuran Jepara (1741)
Setelah semua wilayah yang dimiliki VOC direbut akhirnya komandan dan pasukan VOC tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti dan mereka semakin terdesak dan pada akhirnya Jepara jatuh ke tangan pemberontak.[22]
Pengepungan Semarang (1741)
Pasukan pemberontak melancarkan serangan ke kota terpenting VOC, yaitu Semarang. Disana mereka mengirimkan banyak ekspedisi agar Semarang jatuh ke dalam tangan pemberontak dan ini sukses membuat pemberontak dekat dengan benteng VOC yang berada di Semarang.[24][20]
Dan datanglah bala bantuan dari Cakraningrat IV dan juga pasukan Bantuan VOC untuk membalas serangan ini. Mereka akhirnya bisa mendapatkan kembali wilayah Semarang yang direbut pemberontak sekaligus membunuh banyak pemberontak. Situasi ini membuat Pakubuwana II panik dan pada akhirnya ia membelot dari pemberontak ke pihak VOC.[30][31]
Kejatuhan Kartasura (1742)
Pakubuwana II meninggalkan pemberontak dan dianggap sebagai pengkhianat bagi para pemberontak mereka pada akhirnya melanjutkan pemberontakan ini. [32][33]
Khe Pandjang, pemimpin pemberontak Tionghoa melakukan penyerangan ke Kartasura dan serangan ini adalah kemenangan terbesar bagi pemberontak karena dapat merebut ibukota Mataram dan istana disana.[25]
Pasukan Pakubuwana II yang berjumlah 2,000 orang tetap mempertahankan kota itu dari tangan pemberontak. Sementara itu, Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dan menyebrang ke sungai Bengawan Solo dan pada akhirnya kota Kartasura jatuh ke dalam tangan pemberontak. [26]
Pertempuran Salatiga (1742)
Pasukan VOC dan pasukan Pakubuwana II membersihkan area atau tempat yang dianggap sarang pemberontak, mereka akhirnya terjebak di Salatiga dan diserang oleh pemberontak dan akhirnya mereka kalah. Semua prajurit ditangkap dan dieksekusi.[34]
Pertempuran Demak dan Kudus (1742)
Pada akhirnya kekuasaan VOC kembali dan akhirnya mereka mampu memukul mundur dan mengalahkan pemberontak. Mereka menyerang Demak dan Kudus yang akhirnya kembali ke tangan VOC dan juga mengakhiri pemberontakan.[35]
Pertempuran Surakarta (1747)
Pada tahun 1747, pasukan yang dipimpin Pangeran Mangkubumi menyerang Surakarta dengan 13,000 prajurit. Mereka berhasil mengalahkan VOC dan mendapatkan Surakarta, pada saat itu VOC dalam situasi terburuk.[11]
Perang ini disebabkan karena perlakuan buruk Belanda terhadap Pangeran Mangkubumi dan akhirnya ia memberontak lalu menyerang VOC. Pergerakan ini juga didukung oleh Pangeran Sambernyawa, sepupunya yang seorang prajurit yang brilian.[11]
Setelah pengangkatan Raden Mas Suryadi menjadi Pakubuwana III, terjadilah perpecahan yang menyebabkan perang Takhta berlangsung, kampanye militer dilancarkan di Surakarta dan Demak. [11]
Dan ini menyebabkan perpecahan berat di Mataram dan pada akhirnya perang ini diakhiri dengan Perjanjian Giyanti, yaitu perjanjian untuk memisahkan wilayah Mataram.[36]
Pertempuran Surakarta (1750)
Pangeran Mangkubumi kembali menyerang Surakarta pada tahun 1750, mereka menyerang VOC dan juga berhasil merebut beberapa pos disana membuat banyak korban jiwa di pihak VOC.[12]
Pertempuran Grobogan (1750)
Pada tahun 1750, pasukan Pangeran Mangkubumi kembali menyerang Grobogan. Kali ini, korban jiwa berjatuhan kepada VOC dan membuat VOC kalah dengan memalukan.[12]
Pertempuran Demak (1750)
Pasukan Sambernyawa kembali menyerang VOC di Demak Akhirnya, VOC di kalahkan dan membuat korban lebih banyak di pihak VOC
[12].
Pertempuran Bogowonto (1750)
Pasukan Mangkubumi dan Sambernyawa menyerang VOC di sungai Bogowonto dan serangan tersebut berhasil yang menyebabkan VOC kalah dan banyaknya korban jiwa[12]
Pada akhirnya Mataram kalah dari semua perang yang mereka lakoni melawan VOC dan semua perang ini menyebabkan banyak wilayah jatuh kedalam tangan VOC.[16][17]
Dan juga konflik ini membuat Mataram runtuh dan mengalami kerugian besar dalam perjanjian yang mereka buat dengan VOC dan perang ini menunjukan supremasi kekuatan VOC di Nusantara.[36]
Referensi
^Montanus, A. "Oud en nieuw Oost-Indien", hal. 358
^Drs R., Soekmono (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 61. ISBN9794132918.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Drs R., Soekmono (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 61. ISBN9794132918.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Romain, Betrand (2011). L'Histoire à parts etalase, Récits ďune rencontre Orient-Occident. Paris: Seuil. hlm. 420–430. ISBN9782021057393.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Romain, Betrand (2011). L'Histoire à parts etalase, Récits ďune rencontre Orient-Occident. Paris: Seuil. hlm. 430–436. ISBN9782021057393.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Hingga akhir tahun 1741; saat Perang Jawa (1741–1743). Pakubuwono II memutuskan untuk menyerah dan beralih membantu Belanda setelah pengepungan Semarang oleh Pakubuwana II berhasil dikalahkan.
Ricklefs, M.C (2008). A History of Modern Indonesia since c.1200. New York: Palgrave Macmilan. ISBN978-0-230-54686-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ricklefs, Merle Calvin (1983). "The crisis of 1740-1 in Java:the Javanese,Chinese, Madurese,and Dutch,and the Fall of the Court of Kartasura". 139 (2/3). doi:10.1163/2213479-90003445.