Mandurareja

Tumenggung Mandurareja adalah Bupati Pekalongan (1622-1628) pertama dan menjadi panglima perang Mataram pada Penyerbuan di Batavia 1628. Pelantikannya pada tanggal 25 Agustus 1622 menjadi tonggak berdirinya Kabupaten Pekalongan.[1] Nama Mandurareja pun diabadikan sebagai nama taman, ruas jalan di alun-alun dan Rumah Dinas Bupati Pekalongan.

Silsilah

Tumenggung Mandurareja adalah putra dari Pangeran Mandura. Ayahnya adalah putra pertama dari Ki Juru Martani.[2] Tumenggung Mandurareja juga memiliki adik laki-laki bernama Tumenggung Upasanta yang kemudian menjadi Bupati Batang.[2] Salah satu putri Pangeran Upasanta diperistri oleh Sultan Agung dan diangkat sebagai permaisuri bergelar Ratu Wetan menggantikan Ratu Kulon dari Cirebon.[2] Kelak Sultan Agung dan Ratu Wetan menurunkan Raden Mas Sayyidin yang kemudian naik takhta bergelar Amangkurat I.[2]

Sejarah

Menjadi bupati

Sultan Agung pada mulanya menugaskan Bahureksa putra Ki Ageng Cempaluk untuk membuka sebuah hutan yang berada di pesisir utara Jawa bernama Alas Gambiran. Berdasarkan sejarahnya hutan tersebut menjadi wilayah awal mula berdirinya Kabupaten Pekalongan.[3] Meski Bahureksa merupakan orang pertama yang membuka Alas Gambiran, namun Sultan Agung menugaskan orang lain untuk menjabat sebagai bupati pertama di daerah tersebut.[3][4]

Bupati pertama yang diangkat adalah Tumenggung Mandurareja putra dari Pangeran Mandura. Ia juga merupakan cucu dari Ki Juru Martani, seorang tokoh yang cukup berjasa dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam.[2] Ki Juru Martani dikenal sebagai orang kepercayaan dari Panembahan Senapati.[2] Dilantiknya Tumenggung Mandurareja sebagai Bupati Pekalongan yang pertama kemudian dijadikan tonggak berdirinya Kabupaten Pekalongan.[1]

Selain menjadi bupati Pekalongan, Tumenggung Mandurareja juga diangkat sebagai panglima perang Mataram pada tahun 1628 bersama Tumenggung Bahureksa untuk memimpin prajurit Mataram menyerbu VOC di Batavia.

Menyerbu Batavia

Pertempuran pada 21 Oktober 1628 di Batavia menewaskan Tumenggung Bahureksa beserta kedua putranya. Tumenggung Sura Agul-agul ditugaskan untuk menggantikan posisi Tumenggung Bahureksa. Tumenggung Sura Agul-agul didampingi oleh Bupati Pekalongan yaitu Tumenggung Mandurareja.

Pasukan kedua dikirim ke Batavia tiba pada bulan Oktober 1628 dipimpin oleh Pangeran Mandurareja. Diperkirakan total pasukan Mataram sekitar 10.000 orang prajurit pada saat itu. Mereka datang dengan harapan besar bahwa Batavia telah ditaklukan sehingga tinggal mengumpulkan harta rampasan perang. Mereka tercengang melihat keadaan yang sebenarnya.[5]

Karena tidak mungkin merebut Batavia dengan penyerangan mendadak, Tumenggung Mandurareja menggunakan teknik bertempur ketika Mataram berhasil menaklukkan Surabaya, yaitu dengan cara membendung sungai. Ribuan prajurit dikerahkan, namun bala tentara VOC telah mengantisipasinya sehingga cara itu gagal.[6]

Pasukan Mataram kemudian melakukan usaha terakhir untuk merebut benteng Hollandia pada malam 28 November 1628. Namun, serangan 100–300 prajurit itu tepergok serdadu VOC. Beberapa prajurit ditembak mati, sisanya melarikan diri.[6]

Akhir hayat

Menurut H.J. de Graaf, pada 1 Desember 1628, Tumenggung Sura Agul-agul memerintahkan mengikat Tumenggung Mandurareja beserta pengikutnya. Melalui pengadilan dan atas perintah raja Mataram, ia menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Mandurareja karena tidak bertempur mati-matian saat merebut benteng Hollandia.[6]

Eksekusi Tumenggung Mandurareja menimbulkan kontroversi di istana Mataram. Pasalnya, panglima tersebut adalah cucu dari Ki Juru Martani yang menjadi patih pertama Mataram pada zaman Panembahan Senapati, kakek dari Sultan Agung. Tumenggung Sura Agul-agul pun harus menebus kekeliruan yang fatal itu dengan dijatuhi hukuman mati.[6]

Referensi

  1. ^ a b Waluyo, Eddy (2021), "Hari Jadi Kabupaten Pekalongan", Cendekia, 1 (3): 141–148, doi:10.51878/cendekia.v1i3.331 
  2. ^ a b c d e f Ricklefs, M. C. (1991), Sejarah Indonesia Modern, (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, ISBN 9794201871 
  3. ^ a b Notosusanto, Nugroho (1984), Sejarah Nasional Indonesia III–IV, Jakarta: Balai Pustaka
  4. ^ Tim Sejarah Kabupaten Pekalongan (2001), Hari Jadi Kabupaten Pekalongan
  5. ^ Darmawan, Joko (2017), Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara, Yogyakarta: Deepublish, ISBN 9786024533373 
  6. ^ a b c d de Graaf, H. J. (1986), Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, (terj.), Jakarta: Pustaka Grafitipers, ISBN 9794440906